KAIRO (Arrahmah.com) – Kelompok hak asasi Amnesti Internasional mengatakan rakyat Mesir menghadapi serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap kebebasan berekspresi, Al Jazeera melaporkan pada Jumat (25/1/2019).
Pemerintah Mesir menahan setidaknya 113 orang pada 2018 karena mengekspresikan pandangan mereka secara damai, Amnesti Internasional mengatakan dalam sebuah pernyataan, Kamis (24/1).
Ia menambahkan bahwa negara itu semakin berbahaya sepanjang sejarah baru-baru ini bagi siapa pun yang secara terbuka mengkritik pemerintah.
“Hari ini, lebih berbahaya untuk secara terbuka mengkritik pemerintah di Mesir daripada di waktu lain dalam sejarah negara baru-baru ini,” kata Najia Bounaim, Direktur Kampanye Afrika Utara Amnesti.
“Mereka yang hidup di bawah Presiden Abdel Fattah el-Sisi telah mengalami serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dimana mereka yang secara damai mengekspresikan pandangan mereka diperlakukan sebagai penjahat,” lanjut Bounaim.
Mereka yang ditahan, tambahnya, menghadapi dakwaan seperti “keanggotaan kelompok teroris” dan “menyebarkan berita palsu” dalam pengadilan yang “tidak adil”.
Kelompok hak asasi yang berbasis di London ini juga menyatakan mereka yang berani mengkritik pemerintah pada 2018 dikirim ke penjara, sering ditahan di sel isolasi atau menjadi sasaran penghilangan paksa.
Tidak ada tanggapan langsung dari pemerintah, yang secara konsisten meragukan tuduhan pelanggaran hak yang dilakukan oleh kelompok hak asasi.
Presiden Sisi menyangkal keberadaan tahanan politik di Mesir, dengan alasan bahwa setiap orang yang ditahan menghadapi proses hukum.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia secara rutin mengkritik pemerintah Sisi karena menindak para aktivis Islam, sekuler, dan sayap kiri. Dan dalam beberapa bulan terakhir, jumlah aktivis yang ditahan rezim semakin bertambah.
Negara ini juga telah meloloskan undang-undang yang memungkinkan pihak berwenang untuk memantau akun media sosial populer dan memblokirnya jika mereka diketahui mempublikasikan “berita palsu”.
Kelompok-kelompok hak asasi mengatakan bahwa undang-undang ini bertujuan untuk mengekang kebebasan berekspresi online, dimana internet menjadi salah satu forum untuk mengekspresikan penentangan terhadap rezim Sisi.
Sementara, Sisi membenarkan tindakannya sebagai dengan dalih menjaga stabilitas negara.
Pernyataan Amnesti tersebut muncul menjelang ulang tahun kedelapan dimulainya pemberontakan 2011, yang menarik jutaan orang Mesir ke jalan-jalan, dan kemudian berubah menjadi landmark yang banyak difitnah oleh media pro-pemerintah di bawah Sisi.
Sisi sendiri menggambarkan pemberontakan itu sebagai “obat yang salah untuk diagnosis yang keliru” dan telah bersumpah, meskipun secara tersirat, untuk tidak membiarkan pemberontakan lain terjadi, mengutip kekacauan di mana negara itu terperosok setelah pemberontakan 2011. (Althaf/arrahmah.com)