KAIRO (Arrahmah.com) – Amnesti Internasional mengatakan bahwa pasukan keamanan Mesir terus memberlakukan tindakan militer untuk membubarkan para demonstran anti-junta, serta menerapkan taktik brutal yang sama dengan yang diterapkan rezim Mubarak di hari-hari terakhirnya.
“Perilaku aparat keamanan dalam menangani unjuk rasa sayangnya sangat mengingatkan kita pada waktu rakyat Mesir banyak mengira mereka telah tertinggal setelah Revolusi ’25 Januari’,” kata Hassiba Hadj Sahraoui, Wakil Direktur Amnesti Internasional untuk Timur Tengah dan Afrika Utara.
Kelompok hak asasi manusia itu juga mengatakan pada hari Rabu (22/2/2012) bahwa dalam kekerasan terakhir, yang diikuti kematian 74 penggemar sepak bola, polisi anti huru hara menggunakan kekuatan yang berlebihan, termasuk senjata api, terhadap demonstran yang memprotes penguasa militer Mesir.
Bentrokan yang berujung kekerasan ini terjadi pada tanggal 1 Februari pada akhir pertandingan antara pendukung tim Port Said, al-Masry, dan klub terkemuka Kairo, Al-Ahly, dan meninggalkan 74 orang tewas dan lebih dari seribu orang luka-luka.
Banyak warga Mesir, termasuk beberapa anggota parlemen, menyalahkan polisi dan junta militer negara itu karena gagal mencegah kekerasan.
Hassiba Hadj Sahraoui juga mengatakan, “Janji-janji reformasi pasukan keamanan terus berdering kosong dalam menghadapi pembunuhan lebih dari seratus pengunjuk rasa dalam lima bulan terakhir.”
“Bukan hanya tidak memiiki pemerintah yang tidak mereformasi pasukan keamanan, tetapi bukti penggunaan senapan dan peluru tajam berkebalikan dengan penolakan dan tuduhan campur tangan asing oleh para pejabat Mesir.”
Putusan Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata (SCAF) untuk mengambil alih pemerintahan pasca penggulingan Mubarak. SCAF telah menjadi sasaran protes massa di negara itu karena penolakannya untuk memenuhi janjinya menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan sipil. (althaf/arrahmah.com)