TANGERANG SELATAN (Arrahmah.com) – Amir Majelis Mujahidin Al Ustadz Muhammad Thalib Al Yamani menegaskan bahwa Indonesia milik umat Islam, bukan milik kaum liberal, bukan milik orang lain. Pernyataan ini berbasis pada sejarah Indonesia, dimana umat Islam lah dengan ajaran jihadnya yang berperang melawan kaum imperialis saat itu.
“Kita (kaum Muslimin-red) yang berdarah-darah tahun 1945, bukan orang Kristen, bukan orang liberal, bukan orang sekuler. Bukan mereka yang berdarah-darah,” tegas Ustadz Thalib bersemangat di Pamulang, Tangerang Selatan, Sabtu (9/8/2014).
Karena itu, sambung Ustadz Thalib, Indonesia tidak akan kita izinkan untuk dikuasai oleh liberal, sekuler, komunis. “Ini harus menjadikan keyakinan kita,” katanya.
“Majelis Mujahidin akan berada paling depan terhadap mereka yang memfitnah Islam siapapun orangnya. Sekalipun itu seorang Presiden,” pungkasnya.
Resolusi Jihad KH. Hasyim Asy’ari
Sejarah kemerdekaan nasional Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan sebuah rangkaian perjalanan panjang yang dipenuhi dengan aksi jihad para syuhada. Umat Islam sudah eksis membangun peradaban jauh sebelum para penjajah datang ke tanah air. Salah satu fragmen penting dari rangkaian perjalanan panjang tersebut adalah Resolusi Jihad KH. Hasyim Asy’ari, seperti ditulis Kartika Pemilia Lestari, Alumni Universitas Muhammadiyah Surakarta pada insistnet.com.
Ada tiga poin penting dalam kedua naskah Resolusi Jihad itu. Pertama, Hukum membela negaradan melawan penjajah adalah fardlu ‘ain bagi setiap mukallaf yang berada dalam radius masafat al-safar ; Kedua, perang melawan penjajah adalah jihad fi sabilillah, dan oleh karena itu umat Islam yang mati dalam peperangan itu adalah syahid, dan ; ketiga,mereka yang mengkhianati perjuangan umat Islam dengan memecah-belah persatuan dan menjadi kaki tangan penjajah, wajib hukumnya dibunuh.
Perlu diketahui, bahwa sebelum Resolusi Jihad ini keluar, “fatwa jihad” yang dikeluarkan sebelumnya oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Fatwa dimaksud disampaikan pada pertemuan terbatas para ulama di Pesantren Tebuireng pada tanggal 14 September 1945. Poin-poin dari fatwa ini sama dengan poin-poin dalam Resolusi Jihad.
Fatwa jihad yang kemudian dirumuskan secara tertulis dalam Resolusi Jihad tersebut keluar diawali dengan kegalauan Presiden Soekarno demi menghadapi kedatangan enam ribu tentara Inggris di bawah komando Brigadir Jenderal Mallaby, Panglima Brigade ke-49 (India) yang akan segera tiba di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Dan bahkan penjajah Belanda dengan tentara NICA-nya (Netherlands Indies Civil Administration) yang sudah terusir pun ikut membonceng tentara Sekutu tersebut. Kedatangan pasukan Sekutu dan Belanda tersebut hendak merongrong kemerdekaan NKRI.
Soekarno sadar, bahwa umat Islam yang menjadi mayoritas dalam tubuh NKRI merupakan kekuatan yang tidak bisa diremehkan, terlebih lagi KH. Hasyim Asy’ari merupakan figur yang sangat disegani oleh para kyai dan santri se-Jawa dan Madura. Beliau juga menjadi komandan spiritual laskar Hizbullah yang dikomandani oleh para kyai dan beranggotakan para santri.
Puluhan ribu kyai dan santri segera menyambut seruan Resolusi Jihad dari KH. Hasyim Asy’ari. Mereka adalah para kiai dan santrinya dari seantero Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Pertempuran 10 November 1945 merupakan momen kekalahan yang tidak pernah diduga sebelumnya oleh pasukan Sekutu. Pasalnya, pengalaman tempur mereka di Perang Dunia II yang dahsyat dirasa sudah lebih dari cukup untuk bisa memenangkan pertempuran 10 November 1945. (azm/arrahmah.com)