JAKARTA (Arrahmah.id) – Aliansi Mahasiswa Islam (AMI) mengajak masyarakat dunia, khususnya Indonesia, untuk bergerak cepat menyelamatkan generasi muda Uighur dari upaya penghilangan jati diri dan kultur asli leluhur Uighur yang digencarkan Cina.
Ajakan tersebut digagas AMI setelah adanya laporan bahwa pemerintah Cina memisahkan secara paksa anak-anak Uighur dan minoritas Muslim lainnya dari keluarga dan komunitas mereka.
Laporan tersebut diungkapkan oleh tiga orang ahli dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yakni Fernand de Varennes, pelapor khusus mengenai isu-isu minoritas, Alexandra Xanthaki, pelapor khusus di bidang hak-hak budaya, dan Farida Shaheed, pelapor khusus bidang pendidikan.
Seperti dilansir dari Radio Free Asia (RFA), para ahli tersebut memaparkan bahwa pejabat Tiongkok di Xinjiang telah memperluas sistem sekolah berasrama yang dikelola pemerintah.
Para ahli juga khawatir bahwa sekolah berasrama hampir secara eksklusif mengajarkan bahasa Mandarin resmi Tiongkok dengan sedikit atau tanpa menggunakan bahasa Uighur sebagai bahasa pengantar, menurut sebuah pernyataan yang dirilis oleh kantor hak asasi manusia PBB pada hari Selasa.
“Pemisahan sebagian besar anak-anak Uighur dan anak-anak minoritas lainnya dari keluarga mereka, dapat menyebabkan mereka dipaksa melakukan asimilasi ke dalam bahasa Mandarin yang mayoritas dan adopsi praktik budaya Han,” kata para pakar PBB tersebut.
Oleh karena itu, AMI berharap agar masyarakat dunia dapat menyelamatkan anak-anak Uighur dari upaya genosida budaya yang gencar dilakukan otoritas Cina.
Peneliti sekaligus koordinator AMI, Andi Setya Negara menyebut langkah Cina memperluas sistem sekolah asrama bagi anak-anak Uighur yang sangat tertutup, dapat dipastikan menjadi sarana penghapusan jejak budaya Uighur di ingatan anak-anak etnis minoritas di Tiongkok tersebut.
“Yang kami dengar dari laporan sejumlah media massa, ketika ratusan ribu hingga jutaan orang dewasa Uighur ditahan di kamp-kamp raksasa oleh Cina, pada saat bersamaan berlangsung proyek besar-besaran untuk membangun sekolah-sekolah asrama bagi anak-anak Uighur,” kata Andi kepada wartawan, pada Rabu (4/10/2023).
Bersamaan dengan upaya untuk mengubah identitas orang dewasa Uighur di Xinjiang, lanjut Andi Setya Negara, banyak bukti yang menunjukkan bahwa ada upaya paralel secara sistematis memisahkan anak-anak Uighur dari orang tuanya untuk ‘dididik’ kultur budaya Tiongkok oleh Beijing.
Sementara Peneliti Uighur asal Jerman, Dr Adrian Zenz mengungkap fakta seutuhnya tentang penahanan massal orang-orang dewasa Muslim di Xinjiang oleh Beijing yang kemudian diikuti pembangunan asrama untuk anak-anak yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Andrian Zenz menduga, propaganda pemerintah dengan menyebut sekolah-sekolah asrama untuk membantu menjaga stabilitas sosial dan perdamaian dengan menggantikan orang tua, memiliki tujuan sebagai rekayasa budaya yang berkelanjutan terhadap masyarakat minoritas.
Seperti halnya kamp-kamp bagi orang dewasa, penelitian Andrian Zenz menunjukkan bahwa ada dorongan bersama untuk menghilangkan penggunaan bahasa Uighur dan bahasa lokal lainnya dari lingkungan sekolah.
Peraturan sekolah secara individu menguraikan hukuman yang tegas dan berbasis poin bagi siswa maupun guru jika mereka berbicara selain bahasa Mandarin saat di sekolah.
Atas dasar itulah, AMI menilai wajar jika banyak pihak yang memandang telah terjadi proses ‘pencucian otak’ anak-anak dari etnis minoritas di Xinjiang di asrama sekolah, yang diduga dilakukan secara sistematis oleh otoritas Cina.
Apalagi, dari sejumlah penelitian menunjukkan bahwa semua anak sekarang mendapati diri mereka di sekolah yang diamankan dengan “langkah-langkah manajemen tertutup isolasi ketat.”
Bahkan, banyak sekolah yang dilengkapi dengan sistem pengawasan penuh, alarm perimeter, dan pagar listrik 10.000 Volt, dengan beberapa pengeluaran untuk sistem keamanan di sekolah melebihi yang ada di kamp orang dewasa.
“Banyak bukti yang menunjukan adanya upaya sistematis untuk memisahkan orang tua dan anak-anak, adalah indikasi yang jelas bahwa pemerintah Xinjiang berusaha membesarkan generasi baru yang terputus dari akar asli, keyakinan agama, dan bahasa mereka sendiri,” tutur Andi.
“Wajar jika banyak negaravyang meyakini bahwa bukti ini menunjukkan pada apa yang harus kita sebut sebagai genosida budaya,” pungkasnya. (rafa/arrahmah.id)