DAMASKUS (Arrahmah.com) – Sumber Kavkaz Center di Suriah melaporkan bahwa sekitar lima bulan lalu, terdapat negosiasi serius antara komando Tentara Pembebasan Suriah (FSA) dan pejabat Amerika.
Pembicaraan diadakan dengan mediasi Ratu Rania Yordania dan mengambil tempat di Yordania.
Pejabat Senior CIA dan Departemen Luar Negeri AS menghadiri pembicaraan tersebut.
Selama pertemuan, Amerika menawarkan FSA agar berkomitmen untuk menjamin keamanan “Israel” sebagai imbalannya AS menjanjikan bantuan “tanpa batasan”.
Komando FSA menyatakan bahwa mereka tidak bisa memberikan jaminan tersebut. Sumber KC juga melaporkan bahwa pejabat FSA meninggalkan pertemuan tersebut dengan kalimat “Cukuplah Allah bagi kami sebagai penolong!”
Setelah kegagalan pembicaraan di Yordania, pemerintah Turki telah mengambil, di bawah tekanan AS, sejumlah tindakan permusuhan terhadap pemberontak Suriah baik dari jajaran FSA dan Mujahidin, lansir KC.
Jasa keamanan Turki menyita banyak sekali kargo senjata yang ditujukan untuk para pemberontak. Puluhan kontainer yang disita masih disimpan di salah satu kota Turki.
Namun, Turki tidak menghentikan pasukan senjata secara total. Terkadang kargo kecil dibiarkan lolos, hanya agar pemberontak Suriah tidak kalah perang melawan rezim Assad.
Menurut Sumber KC, Amerika dan sekutunya termasuk Turki, membiarkan pemberontak Suriah baik menang atau kalah. Aliansi Barat yang dipimpin AS masih tidak tahu dengan jelas apa yang akan dilakukan selanjutnya. Selain itu, tidak ada kontrol penuh atas pasukan FSA yang akan memungkinkan untuk menguasai situasi setelah jatuhnya rezim Assad.
Oleh karena itu, Turki berusaha menegakkan rencana konservasi rezim dengan penggantian pejabat tinggi Alawiyah dengan orang-orang yang bisa diterima dengan baik dari struktur rezim Assad dan FSA. Pernyataan baru oleh menteri luar negeri Turki menyatakan Assad bisa digantikan oleh wakil presiden Farouk al-Shara, seorang Muslim Sunni yang berada dalam tahanan rumah.
Namun menurut koresponden KC, peggabungan unit FSA dengan unit Mujahidin terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Di beberapa daerah, mereka benar-benar berada di bawah perintah yang satu dan benar-benar bergabung menjadi kekuatan militer tunggal. (haninmazaya/arrahmah.com)