Oleh: Dr. Khalid Azb – Akademisi dan pakar warisan budaya
(Arrahmah.id) – Apakah sejarah sedang mengulang dirinya? Apakah perusahaan-perusahaan kini mengambil alih dunia? Tampaknya itu bukan lagi sekadar kemungkinan, melainkan kenyataan yang mulai terwujud di depan mata.
Tahun 1600, British East India Company mulai mendapat hak eksklusif untuk mengangkut barang dari Asia Selatan dan Timur ke Eropa. Lama-kelamaan, perusahaan ini mendapatkan kekuasaan layaknya sebuah negara, dan akhirnya memerintah koloni Inggris di Asia, termasuk India, dengan tangan besi. Bahkan pada 1677, mereka diberi hak untuk mencetak mata uang atas nama kerajaan.
Apa yang dulu memakan waktu berabad-abad di era kolonial, kini sedang terjadi dalam hitungan dekade—bahkan tahun. Dulu, perusahaan dagang seperti East India Company membangun kekuatan militernya sendiri dan memerintah atas nama kekaisaran. Kini, raksasa-raksasa teknologi menguasai komunikasi, mengakses data, dan masuk ke sistem keuangan digital. Dari Amerika Serikat, mereka mulai memperluas cengkeraman ke seluruh dunia.
Mungkin terdengar seperti teori konspirasi. Tapi apa yang sedang dilakukan oleh Elon Musk—orang terkaya di dunia—dengan kuasa yang makin luas, tak lain adalah upaya menggantikan struktur pemerintahan tradisional dengan pemerintahan digital yang dijalankan oleh perusahaan-perusahaan teknologi. Semua ini dibungkus dengan narasi efisiensi dan janji penghematan anggaran federal sebesar dua triliun dolar, sambil meningkatkan kinerja lembaga-lembaga negara.
Perlahan tapi pasti, negara Amerika sendiri mulai melemah di hadapan dominasi perusahaan-perusahaan digital yang melaju cepat dengan kecerdasan buatan. Masa depan yang kita hadapi bisa jadi adalah kewarganegaraan digital, di mana seseorang merasa lebih terikat pada ruang maya, bukan negara. Bahkan mungkin suatu saat akan ada “paspor digital” sebagai bukti identitas.
Musk kini tampak tengah mengatur langkah untuk mengambil alih kekuasaan—dalam makna yang tak lagi metaforis. Di dalam kerajaan bisnisnya, perusahaan-perusahaannya—SpaceX, Tesla, The Boring Company, Neuralink, dan perusahaan AI—semuanya beroperasi dalam bidang yang bersinggungan langsung dengan pemerintah federal, dan berada di bawah pengawasan ketat.
Kini ia berupaya untuk membongkar lembaga-lembaga yang dianggap menghambat langkahnya. Misalnya, Badan Keselamatan Lalu Lintas Nasional yang menginvestigasi sistem autopilot Tesla. Komisi Sekuritas dan Bursa pernah menjatuhkan sanksi karena tweet-nya yang memengaruhi pasar. Atau peraturan lingkungan hidup yang menunda peluncuran proyek SpaceX.
Namun, ancaman terbesarnya justru terletak pada kendalinya atas data digital yang sangat sensitif—seperti sistem pembayaran pemerintah, nomor jaminan sosial, hingga data pajak. Musk bahkan turun tangan langsung lewat Kantor Layanan Keuangan yang menangani lebih dari lima triliun dolar: termasuk pembayaran jaminan sosial, layanan kesehatan, pengembalian pajak, dan gaji pegawai negeri.
Ia mengirim tim teknologinya untuk “menguasai” sistem otomatisasi pembayaran dan keamanan digitalnya. Langkah ini membuat David Lebryk, pejabat senior Departemen Keuangan AS, memilih mundur. Tak lama setelah itu, terjadi gelombang pengunduran diri massal lewat email, dan 21 pegawai lainnya menyusul karena tekanan yang luar biasa—diminta menggunakan keahlian mereka untuk membongkar layanan publik yang esensial.
Di bawah “Departemen Efisiensi Pemerintahan” yang dipimpinnya, Musk mulai membongkar lembaga-lembaga federal satu per satu. Salah satu yang paling menonjol: Badan Pembangunan Internasional AS, yang selama ini memainkan peran penting dalam kebijakan luar negeri AS, khususnya dalam penyaluran bantuan ke negara-negara miskin.
Meski pengadilan federal sempat mencoba menghambat proses ini, pembubaran badan tersebut membuka jalan bagi alternatif digital—dengan memanfaatkan big data yang dimiliki perusahaan-perusahaan teknologi tentang jutaan manusia di seluruh dunia.
Model digital ini memungkinkan akses langsung dan cepat ke kelompok masyarakat paling rentan di negara mana pun, sehingga memungkinkan AS menjalankan agendanya secara lebih efisien dan murah. Inilah visi yang sedang dibangun Elon Musk.
Dengan ambisi untuk mengurangi pegawai negeri, Musk mendorong restrukturisasi pemerintahan melalui kecerdasan buatan. Ia menciptakan sistem terintegrasi yang bisa menganalisis data, membaca arah perubahan ekonomi, menemukan titik lemah dalam birokrasi, bahkan memprediksi perilaku pemilih. Semuanya dilakukan di bawah kendali perusahaan-perusahaan teknologi besar, yang kini mulai bertransformasi menjadi pemerintahan bayangan.
Kudeta Kripto?
Musk juga sangat aktif dalam dunia cryptocurrency. Ia tampak tengah memimpin strategi besar untuk mengendalikan kebijakan finansial dan ekonomi AS, yang pada akhirnya bisa memindahkan pusat kekuasaan ke tangan segelintir elite digital.
Yang membuat hal ini begitu cerdik sekaligus berbahaya adalah: setiap langkah dalam strategi ini terlihat masuk akal secara terpisah—modernisasi sistem, efisiensi anggaran, penguatan infrastruktur digital. Namun ketika digabungkan, semua itu menjadi alat yang sangat kuat untuk mentransfer kendali ekonomi ke tangan para miliarder.
Dengan Kongres yang kini didominasi Partai Republik dan presiden yang mendukung Musk secara terbuka, hampir tidak ada hambatan serius. Bahkan jika Kongres ingin bertindak, gerakan Musk terlalu cepat untuk mereka ikuti, apalagi dikendalikan.
Semua ini menyerupai proyek besar yang disebut “Network State” oleh investor kripto, Balaji Srinivasan. Sebuah negara maya yang dibangun lewat internet terlebih dahulu, seperti startup, dengan mata uang kriptonya sendiri dan sistem sosial digital. Begitu kriptonya diakui secara resmi, maka infrastruktur negaranya telah lengkap—dan tak mudah untuk dihentikan.
Jika sebagian besar sistem keuangan dunia benar-benar beralih ke mata uang digital yang dikuasai sektor swasta, maka secara praktis kekuasaan berpindah dari negara kepada korporasi—yang tidak pernah dipilih rakyat.
Musk telah memulai langkah ke arah itu. Dengan kekayaannya, dan pengaruh luar biasa di media sosial, ia tidak hanya memengaruhi politik AS, tetapi juga sejumlah negara Eropa seperti Jerman. Dalam sistem keuangan berbasis kripto, kedaulatan tak lagi berada di tangan warga negara, melainkan di tangan mereka yang bisa membeli koinnya.
Dalam skenario ini, dikhawatirkan Musk akan bisa melemahkan peran Kongres dalam menyetujui anggaran dan kebijakan, bahkan mungkin melampaui wewenang peradilan dan rakyat, membuka pintu bagi konflik kepentingan terbesar dalam sejarah modern—baik dari segi skala maupun dampaknya.
Maka pertanyaan mendasar bagi rakyat Amerika bukan sekadar: apakah pemerintah perlu diperbarui? Tapi lebih kepada: sejauh mana mereka bersedia menyerahkan demokrasi kepada visi Musk tentang efisiensi pemerintahan?
Ketika para pemimpin teknologi mengambil alih fungsi negara, maka yang terjadi bukan hanya penyederhanaan birokrasi, tapi juga perubahan mendasar dalam hubungan antara sektor swasta—khususnya raksasa teknologi—dan lembaga pemerintahan.
Arah ini merupakan ancaman langsung terhadap keamanan nasional AS, dan terhadap inti prinsip “We, the people.” Lebih dari itu, dampaknya mungkin akan bersifat global—mengubah hubungan antara negara dan warganya, serta mencabut kendali pemerintah atas ekonomi dan kebijakan domestik mereka.
Yang paling mengkhawatirkan dari semuanya adalah bukan pada apa yang sedang dikerjakan, melainkan pada betapa lambatnya masyarakat menyadarinya. Pemerintah bukan perusahaan. Pengeluaran publik tidak bisa dinilai dari laba rugi, tapi dari seberapa adil dan meratanya pembangunan sosial. Pekerjaan di pemerintahan menopang kelas menengah, dan lembaga pengawasan menjadi pelindung terakhir agar sistem tidak ambruk.
** Tulisan ini adalah terjemahan dari artikel penting yang dimuat di Al Jazeera, berjudul asli “أميركا تغلي غضبًا.. ماذا يُخيف الناس في إمبراطورية ماسك؟” karya Dr. Khalid Azb
(Samirmusa/arrahmah.id)