JAKARTA (Arrahmah.com) – Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung ternyata punya dokumen Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) yang tidak disetujui oleh tim teknis penilai dokumen Amdal. Mereka menolak dokumen tersebut, karena meragukan penelitian Amdal yang dilakukan pihak pemrakarsa proyek, yaitu PT Kereta Cepat Indonesia China.
“Benar gak penelitian itu, betul atau tidak. Mestinya itu kalau menyusun Amdal datanya benar, data itu harus ada musim kering dan musim hujan, idealnya musim-musim tadi datanya diambil,” kata anggota tim penilai, Widodo Sambodo lansir VIVA.co.id, Kamis (21/1 2016).
Keraguan Widodo dan beberapa rekan setimnya ini terjadi karena penyusunan kerangka acuan untuk Amdal itu diserahkan tim penilai pada 11 Januari 2016 lalu. Sementara, pada 18 Januari 2016, PT KCIC sudah mengeluarkan dokumen Amdal proyek kereta cepat ini.
Widodo pun meragukan metode penelitian yang dilakukan. Padahal, dalam proyek ini ada banyak faktor yang mesti diteliti, mulai dari pembangunan rel, kekuatan tanah, dampak proyek terhadap lingkungan sekitar, sampai imbasnya pada masyarakat di sepanjang rel dari Jakarta sampai Bandung.
“Jarak waktu 1 minggu itu, apa benar ada penelitian? Masa penelitian cuma 1 minggu dari kerangka acuan sampai Amdal, ini yang tidak sesuai prosedur, dan terkesan terburu-buru,” jelasnya.
Idealnya sebuah penelitian Amdal dilakukan minimal enam bulan atau satu musim. Untuk itu tim penilai kemudian meminta agar dokumen Amdal ini diperbaiki lagi dengan menggunakan metode yang benar. “Pada saat itu forumnya tidak menyetujui, Amdalnya belum sempurna dan harus diperbaiki, saya menolak kalau keadaannya seperti itu,” ungkap Widodo.
Bahaya proyek kereta cepat
Widodo mengingatkan bahaya yang menyertai sebuah proyek, apabila dokumen Amdal dibuat dengan tergesa-gesa tanpa menggunakan metode yang benar. Terutama pada proyek kereta cepat ini, di mana ada banyak bangunan yang akan dibuat, mulai dari rel, stasiun, jalan layang, sampai terowongan.
“Harus dilakukan penelitian dulu, kelongsoran tanah juga, daerah resapan air terganggu atau tidak, itu harus diteliti, bisa gak bikin tunnel (terowongan), membahayakan kereta gak, keselamatan penumpang bagaimana?” ujarnya.
Salah satu rencana proyek yang ditolak tim peneliti adalah mengenai posisi pembangunan stasiun Transit Oriented Development (TOD) di Walini. Menurutnya, pembangunan stasiun di daerah itu harus dipertimbangkan ulang, karena dipastikan mengganggu aliran air sungai Citarum. Sementara, aliran sungai ini digunakan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Waduk Saguling dan mengairi sawah di daerah Karawang.
“Di samping PLTA Saguling, itu mengairi sawah di Karawang sehingga daerah lumbung padi itu terancam, itu kami tawarkan alternatif, dan itu gak seminggu selesai untuk penelitian,” kata Widodo.
Sayangnya, sebagai tim peneliti Widodo tidak punya wewenang untuk menghentikan pembangunan proyek ini. Semua ada di tangan para pemangku kebijakan untuk berpihak pada keselamatan masyarakat atau kepentingan penyelesaian proyek ini. “Idealnya semua selesai dulu, kalau ada kepentingan lain itu kewenangan pembuat kebijakan,” terangnya.
Sementara itu Presiden Joko Widodo telah melakukan groundbreaking atau peletakan batu pertama proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, di Kebun Teh Mandalawangi Maswati, Cikalong Wetan, Bandung Barat, Jawa Barat, Kamis pagi, (21/1). (azm/arrahmah.com)