Oleh Novi Widiastuti
Pegiat Literasi
Donald Trump kembali menunjukkan wajah aslinya dalam konflik Palestina-Israel. Sejak awal, ia menggembar-gemborkan rencana rekonstruksi Gaza dengan melibatkan negara-negara Arab, terutama Mesir dan Yordania. Namun, janji itu tak lebih dari sekadar tipu muslihat. Faktanya, ketika Mesir mengajukan proposal konkret untuk membangun kembali Gaza, Trump justru menolaknya mentah-mentah.
Seperti dilansir dari media Metrotvnews.com, dalam pertemuan puncak yang baru-baru ini diadakan di Kairo, Mesir mengajukan proposal ambisius dengan anggaran sebesar 53 miliar dolar AS untuk membangun kembali Gaza pascaperang.
Proposal rekonstruksi ini mendapat dukungan dari negara-negara Arab dan bertujuan untuk membangun kembali infrastruktur Gaza, memastikan penduduk Palestina tetap tinggal di wilayah tersebut, serta mengalihkan kekuasaan dari Hamas kepada pemerintahan sementara hingga Otoritas Palestina yang telah direformasi dapat mengambil alih kendali penuh.
Namun, pemerintah Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump menolak proposal tersebut. Washington menegaskan tetap berpegang pada visinya sendiri, yang mencakup pengusiran warga Palestina dari Gaza serta mengubah wilayah terkepung itu menjadi kawasan wisata eksklusif yang dikelola AS.
Juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS, Brian Hughes, menyatakan bahwa proposal yang diadopsi di Liga Arab tidak mempertimbangkan kondisi Gaza saat ini yang dinilai sudah tidak layak huni. Hughes menambahkan bahwa Trump tetap berkomitmen untuk membangun kembali Gaza tanpa kehadiran kelompok pejuang Palestina, Hamas.
Ambisi Trump Menguasai Gaza dan Sikap Kontroversial Pemimpin Negeri-negeri Muslim
Trump telah berulang kali mengubah pernyataannya tentang Gaza, dari sekadar menawarkan solusi rekonstruksi hingga pada akhirnya menolak usulan yang diajukan oleh Mesir dan negara-negara Arab lainnya. Sikapnya yang berubah-ubah ini bukanlah tanda kebingungan, melainkan strategi sistematis untuk memuluskan rencana besarnya yakni menyerahkan Gaza sepenuhnya ke tangan Israel. Dengan cara ini, Trump ingin memastikan bahwa Palestina semakin lemah dan tidak lagi memiliki harapan untuk merdeka.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah sikap kontroversial para pemimpin negeri-negeri Muslim dalam menyikapi ambisi Trump ini. Seharusnya, negara-negara Muslim bersatu melawan setiap upaya yang mengancam kedaulatan Gaza dan Palestina. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Banyak pemimpin Muslim, terutama dari negara-negara Arab, lebih memilih jalan kompromi. Mereka bukan hanya gagal membela Gaza, tetapi bahkan berperan dalam melanggengkan penjajahan dengan menjalin hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Israel.
Normalisasi hubungan dengan Israel yang semakin luas adalah bukti nyata dari pengkhianatan ini. Negara-negara yang dulu vokal menentang agresi Israel kini malah ikut serta dalam kesepakatan yang menguntungkan penjajah.
Mesir, yang selama ini dianggap sebagai negara terdekat dengan perjuangan Palestina, justru tunduk pada kepentingan politik AS. Yordania, yang seharusnya memiliki peran strategis dalam mempertahankan hak-hak Palestina, kini lebih memilih diam.
Sikap para pemimpin Muslim yang lemah dan mudah dikendalikan inilah yang membuat Trump begitu percaya diri dalam setiap langkahnya. Ia tahu bahwa tidak akan ada perlawanan serius dari dunia Islam. Dengan dukungan diam-diam atau bahkan aktif dari pemimpin Muslim, proyek penaklukan Gaza oleh Zionis semakin mudah untuk direalisasikan.
Keadaan ini menunjukkan satu hal yang jelas bahwa selama pemimpin Muslim terus berkompromi dan tunduk pada tekanan Barat, Palestina tidak akan pernah merdeka.
Mewujudkan Solusi Hakiki bagi Palestina: Jihad, Khilafah, dan Partai Politik Islam Ideologis
Penjajahan atas Palestina bukan sekadar konflik regional, tetapi bagian dari konspirasi besar yang melibatkan kekuatan Barat dan para pemimpin Muslim yang telah berkhianat. Berbagai solusi yang ditawarkan melalui jalur diplomasi telah terbukti gagal total. Pada faktanya Palestina terus terjajah, rakyatnya terus menderita, dan dunia Islam hanya menjadi penonton yang tak berdaya.
Oleh karena itu, umat Islam harus melihat ada pandangan yang lebih mendalam dan komprehensif yang menawarkan solusi tuntas dan shahih atas persoalan palestina yaitu melalui jihad dan khilafah.
Jihad adalah bagian dari kewajiban untuk mempertahankan tanah suci dan hak-hak kaum muslimin termasuk tanah Palestina yang secara historis dan religi memiliki kedudukan yang sangat penting. Sebagaimana firman Allah Swt. :
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”(QS. Al-Baqarah: 190)
Zionis yang secara ilegal menduduki palestina telah merampas tanah kaum muslimin di Palestina, oleh karena itu aktifitas jihad ditujukan untuk mengusir penjajah zionis dari tanah palestina, mengembalikan tanah yang telah direbut dan membebaskan umat Islam dari penindasan.
Namun, Jihad sebagai solusi membebaskan Palestina membutuhkan kekuatan politik, ekonomi, dan militer yang terorganisir dalam sebuah pemerintahan yang adil berlandaskan syariat Islam. Oleh karena itu, mewujudkan sistem pemerintahan yang adil berdasarkan prinsip-prinsip Islam menjadi keharusan yang tidak dapat diabaikan.
Sistem pemerintahan yang mampu menjadi perisai bagi umat Islam dan menegakkan jihad dengan benar adalah Khilafah. Khilafah adalah sistem kepemimpinan Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah, di mana seorang Khalifah bertanggung jawab untuk menerapkan hukum Allah secara menyeluruh, melindungi umat dari kezaliman, serta menjaga kedaulatan Islam dari ancaman musuh.
Dalam sejarah, Khilafah telah terbukti menjadi pelindung utama bagi kaum Muslimin dan simbol persatuan dunia Islam. Di bawah kepemimpinan yang berlandaskan syariat, umat Islam pernah menjadi bangsa yang kuat, mandiri, dan disegani, baik dalam bidang militer, ekonomi, maupun peradaban.
Dengan adanya Khilafah, jihad bukan hanya menjadi reaksi terhadap kezaliman, tetapi juga bagian dari strategi politik dan pertahanan yang sah untuk membela tanah air umat Islam dan mengembalikan hak-hak yang dirampas termasuk di dalamnya tanah Palestina .
Solusi ini menuntut komitmen umat Islam untuk menegakkan kembali Khilafah sebagai sistem yang adil bagi Palestina dan seluruh kaum Muslimin. Untuk itu, diperlukan kekuatan politik yang memahami Islam sebagai ideologi dan memiliki visi jelas dalam membebaskan Palestina. Maka, Kehadiran partai politik Islam ideologis menjadi kunci dalam mencerdaskan umat, membangun kesadaran politik Islam, dan mengarahkan perjuangan ke jalur yang benar.
Partai ini harus mampu membuka mata umat agar melihat problem Palestina dengan kacamata ideologis, bukan sekadar persoalan kemanusiaan atau konflik antarbangsa. Sebab, narasi yang diciptakan Barat dan antek-anteknya selama ini hanya bertujuan untuk menyesatkan umat dan menjauhkan mereka dari solusi Islam yang hakiki.
Partai politik Islam ideologis akan mencegah umat tertipu oleh propaganda solusi semu seperti dua negara atau perundingan damai. Umat harus memahami bahwa Palestina hanya bisa dibebaskan melalui jihad yang dipimpin oleh Khilafah, kepemimpinan Islam global yang menyatukan kekuatan Muslimin melawan penjajahan.
Saatnya umat bersatu di bawah kepemimpinan yang benar, bukan terpecah oleh nasionalisme buatan penjajah, karena perjuangan membebaskan Palestina adalah kewajiban seluruh kaum Muslimin.
Wallahua’lam bis shawab