MALANG (Arrahmah.id) – Koordinator Nasional Alumni Perguruan Muhammadiyah (APM) Hardiansyah mengatakan jika mengikuti khittah Muhammadiyah 2002, Munas Tarjih 2003 dan Tanfidz Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Surakarta tahun 2022, sebenarnya pasangan Prabowo dan Gibran tidak lolos dalam kriteria pedoman Muhammadiyah. Hal ini tentang memilih pemimpin, alias tidak layak untuk dipilih.
Menurut Hardiansyah, Muhammadiyah tidak berpolitik praktis, politik yang dijalankan Muhammadiyah adalah politik kebangsaan. Namun, Muhammadiyah memberi kebebasan kepada setiap anggotanya untuk menggunakan hak pilih dalam politik sesuai hati nurani masing-masing.
“Akan tetapi, meski memberi kebebasan, Muhammadiyah tetap membekali dengan sejumlah pedoman agar warga Muhammadiyah dapat memilih secara rasional dan kritis, sejalan dengan misi dan kepentingan Muhammadiyah demi kemaslahatan bangsa dan negara,” ujar alumni Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini, Senin (5/2/2024), lansir Sindonews.com.
Sebagaimana diketahui, Muhammadiyah telah menyusun tujuh kriteria memilih pemimpin melalui Munas Tarjih tahun 2003 yang meliputi memiliki integritas (sidiq), kapabilitas (amanah), memiliki jiwa kerakyatan (tablig), visioner (fatanah), berjiwa negarawan, mampu menjalin hubungan internasional, dan memiliki jiwa reformis.
Terkait suksesi kepemimpinan nasional 2024, melalui Keputusan Muktamar 48 di Surakarta tahun 2022, Muhammadiyah berharap, para pemimpin yang terpilih haruslah sosok-sosok negarawan sejati yang lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri, kroni, dinasti, dan kepentingan sesaat lainnya.
Para pemimpin yang dihasilkan diharapkan memiliki prinsip politik untuk melepaskan dan tidak untuk melanggengkan kekuasaan.
“Jika berpijak pada prinsip dan pedoman Muhammadiyah tersebut, kami pastikan pasangan Prabowo dan Gibran tidak masuk dan tidak sesuai dengan kriteria dan pedoman tentang memilih pemimpin. Prabowo dan Gibran tidak layak untuk dipilih,” tegas Hardiansyah.
Menurut Hardiansyah, dengan melihat dinamika politik yang ada, siapapun sudah mengetahui bahwa kehadiran Prabowo dan Gibran adalah bagian dari upaya untuk melanggengkan kekuasaan atau politik dinasti.
Dengan memilih Gibran, lanjutnya, menunjukkan Prabowo hanyalah sosok pemburu kekuasaan yang tidak memiliki jiwa kenegarawanan dan jiwa reformis.
“Dengan mengakali konstitusi untuk meloloskan Gibran menjadi cawapres dan terbukti terjadi pelanggaran etika di sana, tentu integritas pasangan ini patut untuk dipertanyakan. Dengan demikian, kami khawatir Prabowo dan Gibran hanya akan membawa harapan palsu untuk pembangunan demokrasi dan mewujudkan Indonesia maju,” pungkasnya Hardiansyah.
Alumni Perguruan Muhammadiyah (APM) sebagai wadah komunikasi alumni perguruan Muhammadiyah seluruh Indonesia sebelumnya telah mencetuskan Petisi Hapus Prabowo-Gibran (PHP Gibran) yang menyerukan agar warga dan simpatisan Muhammadiyah untuk menyelamatkan demokrasi dengan tidak memilih Prabowo dan Gibran dalam Pilpres 2024.
(ameera/arrahmah.id)