“A Untuk Apache, B untuk darah,” Shaimaa kecil menuliskan di buku tulis berwarnanya.
Itu bukanlah tugas dari pihak sekolah, tetapi alfabet terbaru anak-anak yang menjadi korban kebrutalan Israel di Jalur Gaza.
“A untuk apel dan B untuk bola, kini tidak berlaku lagi dalam masa perang,” ujar seorang anak berusia 10 tahun.
Dalam buku catatannya, Shaimaa memiliki banyak koleksi alfabetis, keseluruhannya diambil dari hal-hal yang ia temui selama agresi militer zionis Israel beberapa waktu lalu yang telah memakan korban lebih dari 1.350 jiwa termasuk di antaranya 437 anak-anak dan melukai lebih dari 5.450 lainnya.
“C untuk peti mati (coffin) dan D untuk penghancuran (destruction).”
Hampir semua anak-anak Gaza melakukan hal yang sama dengan Shaimaa. Mereka membuat kata-kata dari susunan alfabet berdasarkan pengalaman mereka melihat dan merasakan sendiri kekejaman Israel dalam perang yang baru saja usai.
Seorang guru di Gaza bernama Amal Yunis mengakui banyak anak-anak di tingkat taman kanak-kanak di kelasnya yang juga menggunakan kata-kata yang hampir sama dengan yang digunakan Shaimaa. Ia menceritakan pengalamannya ketika mengajar di dalam kelas, ia menempelkan gambar apel (Apple), bunga (Flower) dan kelinci (Rabbits) dengan warna-warna yang mencolok dengan maksud membuat anak-anak senang melihatnya. Amal lalu bertanya pada murid-muridnya,”Anak-anak, siapa yang tahu kata yang diawali dengan huruf ‘F’?
Seorang murid bernama Amgad menjawab dengan tangkas, “Bu, F untuk F-16.”
Yunis berusaha menjelaskan dan meyakinkan murid-muridnya bahwa jawaban yang benar adalah “Flower”. Tapi ia makin terkejut ketika siswa-siswi kecilnya malah memberikan kata-kata yang lain seperti “Fear” (takut), “Flee” (mengungsi) dan “Fire” (api,tembakan).
Serangan keji Israel ke Gaza membuat anak-anak di Gaza kini akrab dengan bahasa-bahasa yang merefleksikan pengalaman mengerikan mereka selama perang berlangsung. Seorang ibu bernama Umi Faras mengatakan, anak-anaknya kini lebih banyak memperbincangkan tentang perang, pemboman dan kematian. Salah seorang anak lelaki Umi Faras yang masih berusia tiga tahun, sampai sekarang bahkan masih suka gemetar dan menjerit ketakutan jika mendengar suara-suara bising di luar rumah.
“Dia akan menangis dan berteriak, ‘ibu .. bom, bom’,” tutur Umi Faras.
Lain lagi dengan Alaa Al-Shawwa, seorang anak perempuan Gaza berusia 6 tahun. Ia tidak percaya dengan dongeng-dongeng yang diceritakan ibunya sebelum ia tidur. Ala selalu mengatakan pada orang tuanya, “Tidak Bu. Anak perempuan berbaju merah itu tidak dimakan oleh srigala. Tapi dia dibunuh oleh orang-orang Israel.”
Perilaku anak-anak di Gaza, seperti Shaimaa atau Al-Shawwa menunjukkan bahwa mereka mengalami masa-masa yang menakutkan dan penuh tekanan selama berminggu-minggu serangan brutal Israel. Trauma akibat perang telah merampas sifat anak-anak mereka.
“Mereka lupa apa itu damai, gembira dan lucu. Mereka cuma ingat tentang perang, darah dan kematian,” kata Fadl Abu Hayen, direktur Center for Social Rehabilitation and Crisis Management.
Itulah gambaran anak-anak di Gaza sekarang, mereka kehilangan masa kanak-kanak yang seharusnya bisa mereka nikmati dengan keriangan dan kehangatan. Sebuah studi yang dilakukan Universitas Queen, Kanada menyebutkan bahwa pola kekerasan yang dialami anak-anak Palestina mengakibatkan dampak psikologis yang sangat serius dan butuh waktu bertahun-tahun untuk memulihkannya. (Hanin Mazaya/era/arrahmah.com)