JAKARTA (Arrahmah.id) – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melalui Lembaga Falakiyah (LF) PBNU akan melakukan rukyatul hilal atau pemantauan hilal awal Ramadhan 1445 H pada Ahad 10 Maret 2024 atau bertepatan dengan 29 Sya’ban 1445 H mendatang.
Ketua LF PBNU KH Sirril Wafa menjelaskan alasan penggunaan metode rukyatul hilal sebagai penentuan awal bulan hijriah. Dalam hal penetapan awal bulan yang berkaitan dengan ibadah, PBNU konsisten menggunakan rukyatul hilal atau pemantauan hilal sejak era 1950-an.
“Hasil pembahasan Muktamar sejak era tahun 1950-an hingga terakhir 2021 di Lampung, PBNU masih istiqomah mendasarkan penetapan awal-awal bulan yang berkaitan dengan ibadah berdasarkan rukyatul hilal. Kualitas rukyatul hilal oleh para perukyat terus ditingkatkan,” jelas Kiai Sirril kepada NU Online, Jumat (23/2/2024).
“Demikian pula pemahaman atas teks nash seputar rukyatul hilal terus dilakukan upaya reaktualisasi. Sehingga, dalam Muktamar Lampung diputuskan ada kondisi di mana ikmal atau istikmal tidak harus dilakukan,” imbuhnya.
Namun, ia menyebut terdapat kondisi tertentu di mana pelaksanaan rukyat tidak selalu diwajibkan, tergantung pada data hisab falakiyah yang diperkuat dengan hasil perhitungan dari berbagai metode yang berbeda.
“Pelaksanaan rukyat tidak selalu dihukumi fardhu kifayah, yakni ketika ditengarai melalui data hisab falakiyah bahwa saat maghrib, bulan lebih dahulu tenggelam di ufuk daripada matahari. Data yang dimaksud sekurang-kurangnya dikuatkan dengan hasil yang serupa melalui perhitungan dari 5 metode yang berbeda yang bersifat tahqiqi, tadqiqi atau ashri (kontemporer),” jabarnya.
Sementara itu, Wakil Sekretaris LF PBNU Muh Ma’rufin Sudibyo menegaskan, NU telah memutuskan bahwa metode terbaik untuk mengawali bulan hijriah adalah dengan merukyah hilal. Landasan yang berkenaan dengan ini telah ditetapkan dalam berbagai forum, termasuk Muktamar dan Musyawarah Nasional (Munas).
“Karena rujukannya banyak dan lebih berterima dibanding metode lain,” ujarnya.
Landasan keputusan tersebut, tambah dia, telah diputuskan dalam forum-forum seperti Muktamar 1984 Situbondo, Muktamar 1999 Kediri, Muktamar 2021 Lampung, Munas 1983 Situbondo, dan Munas 1987 Cilacap.
“Landasan-landasannya dikupas dan diputuskan dalam forum-forum tersebut, termasuk batasan rukyah hilal (wilayatul hukmi), bila hasil rukyah berbeda dengan keputusan pemerintah suatu negara (dalam kasus ibadah haji), hingga penajaman pengertian istikmal dalam kaitannya dengan ke-ajeg-an kalender,” paparnya.
Meskipun ada perbedaan pendapat dalam metode penentuan awal bulan Hijriah, PBNU tetap konsisten dalam menggunakan rukyatul hilal sebagai landasan dalam penetapan waktu ibadah dan perayaan hari-hari besar Islam.
Ia menyebut, populasi yang mengikuti pendekatan ini cukup besar, mencapai sekitar 145 juta Muslim Indonesia, melebihi jumlah penganut NU menurut survei Litbang Kompas 2023 yang mencapai sekitar 134 juta jiwa.
“Secara statistik, mengacu kepada survei terpercaya dari lembaga survei Alvara pada 2017 silam, sekitar 145 juta Muslim Indonesia saat ini mendasarkan diri pada rukyah hilal dalam merayakan hari-hari besar Islam,” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.id)