TEPI BARAT (Arrahmah.com) – “Jantung hatiku adalah Alaa, dari penjara ke penjara, dari interogasi ke interogasi, dari penyelidikan ke penyelidikan dan dari satu sel ke sel yang lain.”
Melalui kata-kata yang menyakitkan ini, Al-Basyiir, seorang wanita muda yang kini mendekam di dalam penjara penjajah Israel, mengungkapkan kesedihannya karena tidak bisa berada di samping putrinya selama hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Otoritas pendudukan penjajah Israel dan dinas keamanan Otoritas Palestina (OP) telah mengharamkan kebahagiaan tersebut bagi Alla Bashir.
Al-Basyiir merupakan seorang pengajar Al-Quran berusia 23 tahun. Secara bergiliran (dinas keamanan Otoritas Palestina dan pasukan penjajah Israel) menangkap dan menahannya, akibat berlanjutnya kebijakan koodinasi keamanan antara kedua belah pihak.
ibunda Alaa Al-Basyiir, Asmahan Yusuf, mengatakan bahwa putrinya mengalami interogasi keras dan penyiksaan di dalam penjara penjajah Israel.
“Dia mengalami penyiksaan dan tekanan psikologis serta provokasi, dari penjara Jalama ke penjara Damon,” tutur Asmahan.
Pengadilan Israel, lanjut Asmahan, meminta penahanan kembali putrinya Alaa dan memperpanjang penahanannya selama dua hari lagi.
“Wahai jantung hatiku, anakku Alaa, Ramadhan telah berlalu dan kami tidak pernah menemukanmu di meja makan. Hari raya Idul Fitri telah berlalu dan kau tidak ada bersama kami. Dan kini Idul Adha datang, sedang kau dalam tahanan,” ungkap sang Ibu dengan rasa sakit dan kesedihan.
Alaa Al-Basyiir, seorang guru Al-Qur’an berusia 23 tahun ini ditangkap dua kali di Qalqilya di Tepi Barat utara oleh dinas keamanan Otoritas Palestina, dua kali berturut-turut.
Penangkapan kedua terjadi hanya dua hari setelah dia dibebaskan pada Selasa (11/6/2019) lalu.
Pihak keamanan Otoritas Palestina membebaskan Alaa Al-Basyiir sebagai tahanan politik, pada hari Ahad (21/7) lalu dengan jaminan uang senilai 6.000 dinar Yordania, setelah penahanannya yang kedua, yang berlangsung sekitar 40 hari dimana ia melakukan mogok makan secara terbuka.
Alaa Al-Basyiir menderita akibat kondisi kesehatan dan psikologis yang sulit di penjara dinas keamanan di Qalqilya.
Kepada koresponden The Palestinian Information Center, dia pernah mengungkapkan bahwa ia tinggal di “sel isolasi dan di kamar-kamar pusat penahanan kriminal.”
“Suasana penahanan tidak layak untuk saya dan tidak pantas. Mereka menempatkan saya di antara para tahanan yang dituduh melakukan pembunuhan dan tuduhan kriminal lainnya,” ungkapnya.
Dia menceritakan tentang penahanannya di dinas keamanan Otoritas Palestina, Pihak keamanan menuduh Alaa Bashir dengan tuduhan yang mengada-ada.
Dia dituduh “menyulut perselisihan sektarian dan kelompok” setelah penangkapan pertamanya pada 9 Mei 2019.
Alaa ditangkap dari dalam Masjid Utsman Bin Affan di desa Jinsafout di propinsi Qalqilya. Tuduhan tersebut kembali dituduhkan kepadanya saat penangkapannya yang kedua meskipun sudah menyerahkan jaminan uang untuk pembebasannya.
Tuduhan menghasut atau menyulut perselisihan adalah tuduhan yang paling umum di sebagian besar penangkapan politik di Tepi Barat. Hampir semua tahanan politik di Tepi Barat tidak ada yang luput dari tuduhan ini, ditambah dengan tuduhan-tuduhan lain seperti bergabung dengan kelompok terlarang dan membentuk milisi.
Namun, semua pihak mengakui dan meyakini bahwa itu adalah tuduhan mengada-ada dan tanpa dasar di lapangan.
(ameera/arrahmah.com)