KAIRO (Arrahmah.com) – Komisi pemilihan Mesir pada Selasa (3/6/2014) mengumumkan bahwa mantan panglima militer Abdul–Fatah al–Sisi sebagai presiden baru negara itu. Komisi itu mengklaim bahwa Al-Sisi mendapatkan sekitar 23,7 juta suara sah dalam pemilu bulan Mei.
Anwar al–Asi dari komisi pemilihan mengatakan bahwa sebanyak 25.578.223 dari sekitar 54 juta pemilih di Mesir telah memberikan suara mereka dalam pemilu presiden dengan tingkat partisipasi pemilih sebesar 47,45 persen.
Al–Sisi berhasil mendapatkan 23.780.104 suara dari total 24.537.615 suara yang sah atau hampir 97 persen, kata al-Asi dalam sebuah konferensi pers di Kairo.
Pesaing satu-satunya Al–Sisi itu, kandidat sayap kiri Hamdeen Sabahi, mendapatkan sekitar 757.511 suara, atau sebesar 3,9 persen dari total suara sah.
Al–Asi mengatakan bahwa sebanyak 25.260.190 warga Mesir telah memilih dalam pemilu presiden, yang diselenggarakan pada 26-28 Mei di Mesir 27 provinsi di Mesir
Dia menambahkan bahwa sebanyak 318.033 warga asing di Mesir telah memberikan suaranya, sebanyak 296.628 di antaranya memilih al-Sisi, sementara Sabahi hanya mendapatkan 17.207 suara.
Diperkirakan jumlah surat suara yang rusak hampir satu juta.
Setelah mendapatkan kemenangan telak, al-Sisi dalam pidatonya menyerukan kepada warga Mesir untuk bekerja keras untuk memulihkan stabilitas dan mencapai “kebebasan” dan “keadilan sosial”.
“Saya berharap atas usaha dan tekad kalian yang terus menerus dalam tahap pembangunan yang akan datang. Kalian melakukan apa yang harus kalian lakukan dan sekarang saatnya untuk bekerja,” katanya melalui saluran televisi tak lama setelah hasil pemilu resmi diumumkan, sebagaimana dilansir oleh Al Jazeera.
Dia diperkirakan akan dilantik pada hari Ahad di hadapan Mahkamah Konstitusi Mesir, di depan sebuah pertemuan besar pendukung dari seluruh wilayah.
Tak lama setelah pengumuman hasil akhir pemilu, Raja Abdullah dari Arab Saudi memuji hal itu sebagai hari “bersejarah” dan menyerukan kepada para pendukung al-Sisi untuk membantu negara itu.
El–Sisi sosok yang telah membawa Mesir ke sebuah fase baru dalam drama penuh gejolak sejak pemberontakan pro-demokrasi tahun 2011 yang menggulingkan otokrat Husni Mubarak setelah 29 tahun berkuasa. Tahun berikutnya, Muhammad Mursi dari Ikhwanul Muslimin menjadi presiden terpilih secara demokratis pertama negara itu. Terpilihnya Mursi hanya untuk menghadapi protes besar-besaran yang berakhir pencopotan dirinya dan Ikhwanul Muslimnya menghadapi tindakan kekerasan dan dinyatakan sebagai kelompok “teroris”.
Kemudian, Al-Sisi, sang panglima militer, menggulingkan Mursi musim panas lalu dan memimpin tindakan kekerasan terhadap Ikhwanul muslimin dan kelompok Islamis lainnya yang telah menewaskan ratusan orang dan ribuan lainnya dipenjara. Panglima militer itu kemudian digadang-gadang oleh pendukungnya bak pahlawan, dan diharapkan bisa memulihkan stabilitas di Mesir setelah tiga tahun mengalami gejolak.
Al-Sisi, sosok yang menyambung kembali rantai kepemimimpinan Mesir yang berasal dari latar belakang Militer. Sebuah rantai yang sempat terputus setelah Mursi menjabat sebagai presiden terpilih pertama di negara itu.
Pemilu Mesir, ibarat menyaksikan sebuah dagelan pemilu yang menakjubkan. Dan entah apa kata pihak yang mengagungkan-agungkan demokrasi tentang pemilu Mesir, dan apakah terplihnya al-Sisi akan mengakhiri gejolak Mesir seperti yang diharapkan pendukungnya, semua masih menyisakan tanda tanya.
(ameera/arrahmah.com)