TRIPOLI (Arrahmah.com) – Kepala Dewan Kepresidenan Libya Fayez al-Sarraj mengatakan pada Rabu (10/3/2021) bahwa dia siap untuk mundur dan menyerahkan tugas dan tanggung jawabnya kepada pemerintah baru untuk mengkonsolidasikan prinsip transisi kekuasaan secara damai.
Pernyataan Al-Serraj datang setelah mosi percaya Dewan Perwakilan Rakyat negara itu kepada Kabinet baru yang dipimpin oleh Abdul Hamid Dbeibeh.
“Saya mengucapkan selamat kepada pemerintah persatuan nasional atas mosi percaya dan saya berharap Kabinet baru berhasil menyelesaikan tugas-tugasnya,” kata al-Serraj.
“Apa yang terjadi hari ini adalah langkah penting untuk mengakhiri konflik dan perpecahan,” lanjutnya, menyerukan kepada semua pihak untuk mengintensifkan “kerja sama, persatuan, dan toleransi demi kebangkitan kembali Libya”.
Sementara itu, pemerintah yang setia kepada panglima perang Libya Khalifa Haftar menyatakan di Facebook “kesiapan penuh untuk menyerahkan tugas, kementerian, direktorat, dan lembaga kepada pemerintah persatuan nasional”.
Rabu pagi (19/3), dalam pemungutan suara mayoritas, parlemen Libya memberikan kepercayaan kepada pemerintah persatuan baru Dbeibeh.
Dbeibeh menggambarkan mosi percaya parlemen kepada pemerintah sementara sebagai “momen bersejarah” dan berjanji untuk mengakhiri perang di negaranya.
Dia mengusulkan pemerintah persatuan dengan 27 anggota pada Sabtu pekan lalu, berjanji bahwa pemerintah akan memprioritaskan “peningkatan layanan, prnyatuan lembaga negara, dan mengakhiri masa transisi dengan mengadakan pemilihan.”
Pada 5 Februari, kelompok politik oposisi Libya sepakat dalam pembicaraan yang dimediasi PBB untuk membentuk pemerintah persatuan sementara yang memimpin negara itu ke pemilihan Desember ini, di mana Dbeibeh ditunjuk sebagai perdana menteri dan ditugaskan untuk membentuk pemerintahan baru.
Rakyat Libya berharap ini akan mengakhiri perang saudara yang telah melanda negara itu sejak penggulingan dan pembunuhan Muammar Gaddafi pada tahun 2011.
Perang diperparah ketika Haftar, yang didukung oleh Uni Emirat Arab, Mesir, Rusia, dan Prancis, antara lain, melakukan serangan militer untuk menggulingkan pemerintah berbasis di Tripoli yang diakui secara internasional untuk menguasai negara Afrika Utara itu. (Althaf/arrahmah.com)