(Arrahmah.com) – Kajian ini ditayangkan secara langsung dilaman KursiHikmah.id pada Ahad (21/3/2021), dan disampaikan oleh Ustadz Herfi Ghulam Faizi, Lc. Berikut rangkumannya:
Panggilan sahabat Quran bukan sesuatu yang mengikuti trend saat ini, tetapi pernah disebut oleh Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam ketika bulan Syawal tahun ke 8 Hijriyah setelah beliau Futuh Mekkah, dalam perang Hunain. Setelah mengalami kemenangan dalam perang tersebut, ada segelintir orang mengucapkan kalimat-kalimat ujub, dan Rasul mememperingati dengan mengatakan: “Kalian menang bukan karena kehebatan kalian, bukan karena jumlah kalian yang banyak, tetapi karena dibela Allah”.
Pasukan Muslim saat itu dikejutkan dengan hadirnya pasukan musuh yang tiba-tiba hadir, yang menyebabkan pasukan Muslim lari tunggang langgang, walau di akhir perang mereka mendapat kemenangan. Mereka berlari dan tidak memberikan perlawanan saat disergap. Pada waktu itu, Nabi membangkitkan semangat mereka dengan kalimat: “Wahai sahabat-sahabat surah Al Baqarah”. Dan saat itu mereka terdiam, dan secara emosi mereka bangkit memberi perlawanan lalu mendapatkan kemenangan.
Kalau kita dan Quran sudah bersahabat, sudah sering berinteraksi secara fisik, maka Quran akan membisikkan rahasia-rahasia di balik ayat-ayatnya, lazimnya seorang sahabat yang nyaman menyampaikan rahasia-rahasianya.
Saat kita ingin keluarga mendapatkan sakinah, namun jauh dari Quran, maka ibarat pribahasa jauh panggang daripada api, sesuatu yang mustahil.
Hadist yang disampaikan oleh Imam Ad Dailami menyebutkan: “Perbanyaklah oleh kalian shalawat kepadaku, karena sesungguhnya Allah mengutus seorang malaikat berdiri di atas kuburku, jika ada satu orang dari ummatku yang bershalawat, maka Malaikat akan mengatakan: ‘Ya Muhammad, ada fulan bin fulan dari ummatmu yang bershalawat kepadamu pada saat ini’.”
Jadi saat kita mengaji Quran atau memperbanyak shalawat kepada Nabi, Allah akan menyebut kita dan orangtua kita, ini satu bakti yang sangat penting kepada orangtua kita.
Keluarga Dalam Al-Qur’an
وَقَالَ الرَّسُوْلُ يٰرَبِّ اِنَّ قَوْمِى اتَّخَذُوْا هٰذَا الْقُرْاٰنَ مَهْجُوْرًا
Dan Rasul (Muhammad) berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al-Qur’an ini diabaikan.” (Al Furqon ayat 30).
Nabi mengadu kepada Rabb nya di yaumil akhir (berkaitan dengan ayat 27-29), “Ya Tuhanku, kaumku telah menjadikan Tuhan terasing dalam hidupnya.” Tafsir Ibnu Katsir menyebutkan kalimat Nabi ini konteksnya adalah mengeluh, padahal Nabi jarang sekali mengeluh dan dikenal sebagai seorang Nabi yang sangat menyayangi kaumnya.
Nabi yang sangat sayang kepada ummatnya, bahkan dalam hal syariat, Aisyah RA mengatakan jika ada pilihan berat dan ringan, maka Nabi akan memilih syariat yang ringan untuk ummatnya. Jadi Nabi jarang mengadukan kaumnya kepada Allah, tetapi dalam tema Quran, Nabi mengadukan hal itu kepada Allah, Nabi mengadukan mereka yang menjadikan Quran asing dalam kehidupan mereka.
Karena itu, jika Nabi sampai mengadukan kaumnya kepada Allah itu menunjukkan urusan Quran bukan perkara yang remeh, di mana Nabi mendapatkannya dengan penuh mujahadah, maka jika sudah didapatkan mengapa disia-siakan.
Ayat ini sebenarnya konteksnya mengenai orang-orang kafir Quraisy yang berpaling dari Quran, mereka membuat diri mereka sibuk, sehingga kalimat-kalimat Quran yang “menyihir” mereka tidak berpengaruh terhadap mereka. Seperti saat ini, saat kita disibukkan dengan perkara-perkara dunia yang menghabiskan waktu kita, mendominasi hari-hari kita, sehingga menjadikan ayat-ayat Quran tidak lagi tergetar dalam hati kita, tidak lagi menghadirkan fibrasi keimanan dalam hidupnya.
Ibnul Qoyyim menyebut ada lima hal yang membuat kita abai terhadap Quran:
1. Abai dari mendengarkan dan mengimani.
Dahulu, ketika Nabi membacakan Quran di dekat Ka’bah, ada seorang kafir Quraisy yang menandingi dengan mengisahkan dongeng-dongeng Persia agar kaum Quraisy mengabaikan bacaan Quran Nabi Muhammad.
2. Abai dari amal.
3. Abai dari menjadikan Quran sebagai landasan hukum, bahkan membanding-bandingkan dengan konsep lain seperti hukum buatan manusia.
4. Abai dari mentadabburi Quran.
5. Abai tidak menjadikan Quran sebagai obat.
Al Quran yang disebut oleh Allah dengan nama Al Furqon (pembeda), karena Quran membedakan antara yang haq dengan yang bathil, akan membedakan antara keluarga-keluarga yang membekali dan mengonsep keluarga dengan Quran dengan keluarga yang tumbuh tidak dengan Quran.
ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ ھُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَ
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” (Al Baqarah ayat 2).
شَهۡرُ رَمَضَانَ الَّذِىۡٓ اُنۡزِلَ فِيۡهِ الۡقُرۡاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَ بَيِّنٰتٍ مِّنَ الۡهُدٰى وَالۡفُرۡقَانِۚ
“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil).” (Al-Baqarah Ayat 185)
Menu keluarga dalam Quran:
– Doa-doa yang ditujukan untuk keluarga. Banyak doa-doa untuk keluarga yang ada dalam Al-Qur’an, seperti doa agar anak-anak menjadi anak sholih/sholihah, dan lainnya.
– Khitbah
– Nikah
– Peran
– Pendidikan
– Bakti (terhadap orang tua)
– Warisan
– Surga neraka
Artinya panduan untuk keluarga itu lengkap ada di dalam Quran. Jika menikah lalu ada masalah, itu wajar, namanya juga berumah tangga, tapi jika menikah namun sengsara, berarti ada masalah dalam landasan rumah tangga tersebut.
مَاۤ اَنۡزَلۡـنَا عَلَيۡكَ الۡـقُرۡاٰنَ لِتَشۡقٰٓى
“Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah.” (Thaha : 2).
Jika ada orang yang mengatakan bahwa konsep Quran itu susah, maka permasalahan ada pada orang tersebut, ia memang tidak berniat untuk mempelajari Quran. Karena Allah mengatakan:
وَلَقَدۡ يَسَّرۡنَا الۡقُرۡاٰنَ لِلذِّكۡرِ فَهَلۡ مِنۡ مُّدَّكِرٍ
“Dan sungguh, telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” (Al Qamar: 17)
Tidak ada yang susah dalam Quran, karena kalimatnya mudah dipahami, mudah dihafal dan larangan-larangan serta perintahnya mudah diamalkan.
Karena dalam berkeluarga diawali dengan memilih jodoh, maka harus memaksa diri kita untuk menyelaraskan selera kita dengan selera Quran, selaraskan keinginan kita dengan keinginan Quran.
وَلَا تَنۡكِحُوا الۡمُشۡرِكٰتِ حَتّٰى يُؤۡمِنَّؕ وَلَاَمَةٌ مُّؤۡمِنَةٌ خَيۡرٌ مِّنۡ مُّشۡرِكَةٍ وَّلَوۡ اَعۡجَبَتۡكُمۡۚ وَلَا تُنۡكِحُوا الۡمُشۡرِكِيۡنَ حَتّٰى يُؤۡمِنُوۡا ؕ وَلَعَبۡدٌ مُّؤۡمِنٌ خَيۡرٌ مِّنۡ مُّشۡرِكٍ وَّلَوۡ اَعۡجَبَكُمۡؕ اُولٰٓٮِٕكَ يَدۡعُوۡنَ اِلَى النَّارِ ۖۚ وَاللّٰهُ يَدۡعُوۡٓا اِلَى الۡجَـنَّةِ وَالۡمَغۡفِرَةِ بِاِذۡنِهٖۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَذَكَّرُوۡنَ
“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” (Al Baqarah 221).
Ada tiga kriteria memilih pasangan:
1. Jangan menikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka beriman
2. Budak hitam legam tapi beriman, lebih baik dari wanita musyrik walaupun putih cantik
3. Laki-laki hamba sahaya yang beriman lebih baik dari laki-laki musyrik meskipun ia tampan, memiliki kekayaan dan lainnya.
Laki-laki Qowwamah dan Wanita Sholihah
QS. An-Nisa Ayat 34
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوۡنَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعۡضَهُمۡ عَلٰى بَعۡضٍ وَّبِمَاۤ اَنۡفَقُوۡا مِنۡ اَمۡوَالِهِمۡ ؕ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ؕ
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).”
Wanita itu dinikahi karena beberapa hal: Kekayaan, nasabnya, kecantikan, hartanya, dan agamanya. Jika kalian ridhoi agamanya, maka terimalah.
“Dunia itu perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita sholihah.” (HR. Muslim)
Lalu bagaimana jika sudah menikah, tetapi kriteria qowwamah tidak ada pada suami kita atau kriteria sholihah tidak ada pada istri kita? Mari kita belajar kepada dua Nabi, Nabi Muhammad dan Nabi Zakaria.
وَاِذۡ اَسَرَّ النَّبِىُّ اِلٰى بَعۡضِ اَزۡوَاجِهٖ حَدِيۡثًاۚ فَلَمَّا نَـبَّاَتۡ بِهٖ وَاَظۡهَرَهُ اللّٰهُ عَلَيۡهِ عَرَّفَ بَعۡضَهٗ وَاَعۡرَضَ عَنۡۢ بَعۡضٍۚ فَلَمَّا نَـبَّاَهَا بِهٖ قَالَتۡ مَنۡ اَنۡۢبَاَكَ هٰذَاؕ قَالَ نَـبَّاَنِىَ الۡعَلِيۡمُ الۡخَبِیْرُ
“Dan ingatlah ketika secara rahasia Nabi membicarakan suatu peristiwa kepada salah seorang istrinya (Hafsah). Lalu dia menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan peristiwa itu kepadanya (Nabi), lalu (Nabi) memberitahukan (kepada Hafsah) sebagian dan menyembunyikan sebagian yang lain. Maka ketika dia (Nabi) memberitahukan pembicaraan itu kepadanya (Hafsah), dia bertanya, “Siapa yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?” Nabi menjawab, “Yang memberitahukan kepadaku adalah Allah Yang Maha Mengetahui, Mahateliti.” (At Tahrim 3).
وَزَكَرِيَّاۤ اِذۡ نَادٰى رَبَّهٗ رَبِّ لَا تَذَرۡنِىۡ فَرۡدًا وَّاَنۡتَ خَيۡرُ الۡوٰرِثِيۡنَ
“Dan (ingatlah kisah) Zakaria, ketika dia berdoa kepada Tuhannya, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan aku hidup seorang diri (tanpa keturunan) dan Engkaulah ahli waris yang terbaik.” (Al Anbiya : 89).
يَدۡعُوۡنَـنَا رَغَبًا وَّرَهَبًا ؕ وَكَانُوۡا لَنَا خٰشِعِيۡنَ
“Maka Kami kabulkan (doa)nya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya, dan Kami jadikan istrinya (dapat mengandung). Sungguh, mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan, dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (Al Anbiy: 90).
Yang Allah perbaiki dari istri Nabi Zakaria:
1. Kandungannya, karena istrinya mandul, lalu Allah perbaiki dan akhirnya mendapat keturunan.
2. Lisannya, karena menurut beberapa riwayat istri Nabi Zakaria memiliki lisan yang panjang (maknanya tajam lisannya, tidak menjaga lisannya).
3. Akhlaknya, karena beberapa riwayat menyebutkan ada masalah dalam akhlaknya.
Jika ada kekurangan, maka kita mendekatkan diri kepada Allah dengan sabar. Ujung dari kesabaran itu Allah memberikan perbaikan.
Selanjutnya tentang kisah Nabi Muhammad, nabi melakukan taghoful (membiarkan, cuek) terhadap kesalahan Hafshoh. Walaupun saat itu nabi mengetahui bahwa Hafshoh menceritakan tiga hal kepada Aisyah, namun nabi hanya menegur dengan menyebutkan satu kesalahannya, nabi membiarkan (menyembunyikan) dua lainnya sebagai bagian dari pendidikan terhadap istrinya. (haninmazaya/arrahmah.com)