(Arrahmah.com) – Al Qaeda melalui Yayasan Media As-Sahab telah mempublikasikan tanggapan terhadap sembilan jihadis yang beroperasi di Afghanistan dan Pakistan yang berpihak kepada ISIS dalam sebuah surat yang disebarkan pada bulan Maret. ISIS, yang tidak diakui oleh pimpinan umum Al Qaeda pada Februari, telah berusaha untuk meminta dukungan dari mujahidin di seluruh dunia. Dan sembilan jihadis, dipimpin oleh seorang pemimpin veteran Al Qaeda yang dikenal sebagai Abu Huda As-Sudani, merupakan salah satu dari beberapa faksi yang mengumumkan ke publik untuk mendukung ISIS, inilah hasil yang didapat sejauh ini.
Tanggapan Al Qaeda terhadap sembilan jihadis ditulis oleh Abu ‘Amir An-Naji, seorang tokoh Al Qaeda yang sebelumnya misterius. Beliau menulis bahwa beliau telah beraktivitas dengan Al-Qaeda dalam waktu “bertahun-tahun.” Pernyataan Abu ‘Amir An-Naji ini telah diposting pada tanggal 28 Mei di Forum Jihad Shumukh Islam.
Abu ‘Amir An-Naji menanggapi beberapa kritikan yang dilontarkan oleh sembilan jihadis tersebut, dimana mereka mengecam keputusan Al Qaeda yang tidak memvonis semua Syiah sebagai kafir ta’yin, membongkar kesalahan dalam cara pendekatan Al Qaeda terhadap revolusi “Arab spring” di timur tengah dan afrika utara, dan meyakini bahwa Al Qaeda terlalu longgar dalam menegakkan hukum syariah, demikianlah beberapa kritikan tersebut.
Abu ‘Amir An-Naji menulis bahwa keputusan Al Qaeda untuk menahan diri dari memvonis semua aliran Syiah sebagai bid’ah adalah cukup beralasan menurut hukum Islam. Beliau mengutip pernyataan yang dibuat oleh para pemimpin senior Al Qaeda beberapa tahun yang lalu, di samping komentar-komentar yang ditulis oleh Syaikh Abu Mush’ab As-Suri, Abu Muhammad Al Maqdisi dan Abu Anas Asy-Syami, untuk mendukung kasus ini.
Sembilan penandatangan surat pro-ISIS mengklaim bahwa tidak semua orang di dalam Al Qaeda senang dengan pendekatan Al Qaeda terhadap revolusi Arab yang dimulai pada awal tahun 2011. Para jihadis yang membangkang dari Al Qaeda tersebut berpendapat bahwa Al Qaeda seharusnya menentang rezim Arab dan meruntuhkannya melalui kekuatan, bukannya mengambil kursi belakang terhadap jutaan umat Islam yang memprotes di jalanan.
Para penulis surat itu mengeluh tentang Al-Qaeda yang seharusnya memuji dengan tinggi terhadap kebangkitan Musim Semi Arab (arab spring), dan mentahridh penduduk sipil dari pria dan wanita untuk pergi keluar ke jalan-jalan dan alun-alun untuk menghadapi kekuatan kemurtadan yang bersenjata lengkap, sehingga umat akan mengubah rezim, lalu “kita akan melanjutkan setelah itu untuk mengarahkan mereka [pada kekuasaan], dan apa yang mereka lakukan belum terasa cukup. “Juru bicara ISIS ‘, Abu Muhammad Al Adnani, telah membuat argumen yang sama, mengkritik kepemimpinan Al Qaeda karena tidak mengobarkan jihad terhadap semua rezim, termasuk kediktatoran yang ditanamkan pasca-Arab Spring, di seluruh Afrika Utara dan Timur Tengah.
Dengan demikian, ISIS dan pendukungnya keberatan dengan pendekatan Al Qaeda terhadap dunia pasca arab spring. Sehingga dengan alasan ini, ISIS telah menuduh Al Qaeda mengubah ideologinya sendiri, dan lebih jauh mengklaim bahwa Al Qaeda masa Syaikh Ayman Az-Zhawahiri berbeda secara substansial daripada masa Syaikh Usamah bin Ladin.
Abu ‘Amir An-Naji menanggapi kritik-kritik ini, mengatakan bahwa semua ulama dan da’i di zaman kita, tidak termasuk mereka yang mendukung rezim yang ada, setuju dengan kebijaksanaan mendukung revolusi. Dia berpendapat bahwa dukungan secara retoris Al Qaeda untuk pemberontakan tidak mencerminkan perubahan arah organisasi ini. Dia mengutip pernyataan Syaikh Usamah bin Ladin, Syaikh Az-Zawahiri, Syaikh Athiyatullah, Syaikh Abu Yahya Al Libi, dan Abu Dujana Al Basha untuk membuktikan pendapat beliau. Memang, salah satu dari sedikit dokumen yang dirilis ke publik setelah penggerebekan kompleks Syaikh Usamah bin Ladin mengungkapkan bahwa pemimpin Al Qaeda meyakini bahwa setidaknya beberapa dari kelompok Islam yang naik ke tampuk kekuasaan pasca Arab spring di negara-negara tersebut bisa dimenangkan disebabkan Al Qaeda.
Selain itu, Abu ‘Amir An-Naji menuduh para pembangkang tersebut menebarkan “fitnah” dalam menyatakan bahwa pemimpin Al Qaeda berpendapat bahwa mujahidin harus mengambil kursi belakang (mengabaikan) terhadap para pengunjuk rasa.
Sembilan Jihadis pro-ISIS tersebut percaya bahwa Al Qaeda telah lalai dalam menegakkan hukum syariah. Abu ‘Amir An-Naji merespon dengan menunjuk ke karya-karya Syaikh Abu Yahya Al Libi yang berpendapat bahwa mujahid memiliki hak untuk menerapkan keleluasaan ketika menerapkan hukum syariah di daerah konflik.
Dan dalam tinjauan fakta dari dalam yang lebih ditail, Abu ‘Amir An-Naji menunjuk kepada sidang syariah Al Qaeda di mana salah satu penandatangan surat itu dilaporkan dijamin oleh orang yang tak dikenal yang melarikan diri dari permasalahan. Abu ‘Amir An-Naji balik bertanya bukankah syariah Islam harus diterapkan dalam kasus itu juga? Akibatnya adalah bahwa salah satu dari penandatangan surat itu dapat bertanggung jawab dalam mendukung kelompok yang tidak dapat dipercaya.
Abu ‘Amir An-Naji menyimpulkan dengan mengabaikan madzhab para sembilan jihadis dengan alasan bahwa tidak satupun dari mereka “yang dapat dianggap sebagai ulama,” dan Abu ‘Amir An-Naji tidak menganggap bahwa orang yang mengetahui mereka seperti itu akan mengikuti mereka juga. Hal yang sama bisa dikatakan bahwa berapa banyak ulama Islam sejenis lainnya di dalam Al-Qaeda yang berfikiran seperti Abu ‘Amir An-Naji.
Berikut tanggapan dari Abu ‘Amir An-Naji terhadap 9 orang jihadis tersebut. Selamat membaca…
بسم الله الرحمن الرحيم
YAYASAN MEDIA AS-SAHAB
Mempersembahkan
KOMENTAR TERHADAP TULISAN YANG BERJUDUL
“KECUALI MEREKA YANG TELAH TAUBAT DAN MENGADAKAN PERBAIKAN DAN MENERANGKAN (KEBENARAN)”
Ditulis oleh :
Abu ‘Amir An Naji
Segala puji bagi Allah SWT, shalawat dan salam kepada Nabi yang diutus dengan rahmatan lil alamin, tuan bagi orang-orang terdahulu dan sekarang, kepada keluarganya dan para sahabatnya, amma ba’du:
Sesungguhnya para ulama kita telah mengarang tulisan yang membahas tentang perbedaan pendapat dan adab-adabnya, tentang cara berinteraksi dengan orang yang berbeda pendapat dengan kita, dan perkataan mereka yang menujukkan prinsip-prinsip yang agung dalam bab ini, sebagai contoh: Imam Ibnu Qayyim menyatakan dalam perkataannya tentang ungkapan-ungkapan kaum sufi : “Terkadang kaum sufi mengeluarkan ungkapan yang serupa dengan ungkapan kaum atheis, dengan maksud mengejewantahkan makna yang baik dan tidak rusak, namun kemudian ini menjadikan mereka disikapi oleh dua kelompok sebagai berikut: kelompok pertama menilai mereka dari sisi luar yang tampak dari ungakapan kaum sufi, maka kelompok ini menuding mereka bid’ah dan sesat, sedang kelompok satunya menilai dari maksud dan makna dari ungkapan mereka, kemudian kelompok ini memperbaiki ungkapan mereka”.
Perkataan Ibnu Qayyim ini menunjukkan kepada kita sebuah prinsip yang agung dari prinsip-prinsip berinteraksi dengan orang yang berbeda pendapat, yaitu bersikap yang tengah-tengah, meneliti dengan mengedepankan rasa adil dan melihat kepada tujuan, tidak hanya sekedar menilai dari yang tampak saja. Dan yang sangat disayangkan adalah; saya tidak mendapati prinsip yang agung (bersikap adil) – yang dengannya langit dan bumi masih terus eksis – dalam tulisan yang berjudul “إِلا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا” “(kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran)”.
Tulisan ini berasal dari negeri Khurasan, di mana disana terdapat puluhan jamaah jihad dan ribuan mujahidin, maka dengan tulisan ini ditandatangani oleh 9 orang saja, jelas sudah terdapat permasalahan penting yang semua orang berakal pun akan tahu hakekatnya, apakah ‘penyimpangan’ yang disebutkan dalam tulisan ini tidak diketahui oleh ribuan mujahidin dan hanya diketahui oleh 9 orang yang membubuhkan tanda tangan mereka saja? Maka tidaklah orang yang berakal membayangkan kecuali bahwa para penandatangan melihat bahwa mujahidin lainnya adalah syetan bisu atau berkomplot untuk merusak jihad dan para pelakunya.
-
Tulisan ini (yang berjudul “إِلا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا“,-ed) menyebutkan bahwa aib yang pertama dan terbesar dari jamaah Al Qaeda di Khurasan, yang dengannya mereka menyerukan agar keluar dan berlepas diri darinya dan bertaubat karena telah bergabung dengannya adalah (Al-Qaeda) tidak mengkafirkan kaum Rafidhah secara umum, dimana mereka berkata tentang pendapat Al Qaeda : “Terdapat beberapa pendapat dalam urusan Rafidhah, dan orang-orang awam dari mereka adalah merupakan kaum muslimin”, maka ini adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, dan hal ini tidak dibenarkan untuk dijadikan sebagai tuduhan terhadap timbangan syar’i yang lurus. Karena sebagaimana yang diketahui, bahwa terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama terdahulu dan kontemporer dalam permasalahan ini, dan ini adalah permasalahan yang masuk kedalam ranah ijitihad sehingga bukan merupakan kemungkaran.
Imam Nawawi berkata : “Sesungguhnya yang diingkari adalah ketika dalam permasalahan yang telah disepakati oleh ijma’, adapun permasalahan yang ada perbedaan pendapat di dalamnya, maka tidak ada keingkaran didalamnya, karena menurut salah satu madzhab; seluruh mujtahid adalah benar, dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh sejumlah peneliti, atau mayoritas dari mereka, atau dalam madzhab lainnya disebutkan bahwa satu mujtahid benar sedang yang satunya salah, dan dosa diangkat dari mereka”.
Imam Adz Dzahabi berkata : “Jika setiap kali seorang imam salah berijtihad dalam beberapa masalah, yang kesalahannya terampuni, kemudian kita melawannya, membid’ahkannya dan menjauhinya (hajr), maka tidak ada seorang pun yang selamat dari kita. Baik itu –sekelas-, imam Ibnu Nashr, Ibnu Mandah, atau ulama yang lebih agung dari keduanya. Dan Allah memberi petunjuk kepada makhluk ke jalan kebenaran. Dan kita berlindung kepada Allah dari hawa nafsu dan sikap yang kasar.”
Maka dari itu, pengingkaran terhadap permasalahan ini sebagaimana yang penulis ungkapkan, tidaklah dibenarkan oleh kalangan ahli ilmu.
Sedangkan masalah mengkafirkan Rafidhah, sesungguhnya ulama dalam hal itu masih merinci, mayoritas mereka tidak mengkafirkan kaum Rafidhah secara umum dengan mutlak, maka ini adalah pendapat mayoritas para pimpinan jamaah Al Qaeda, seperti Syaikh Usamah bin Laden, Syaikh Dr. Ayman Azh Zhawahiri, Syaikh Athiyatullah, Syaikh Abu Yahya dan selain mereka, dan ini adalah pendapat mereka yang terkenal selama puluhan tahun, ini bukanlah “skandal atau perubahan manhaj” sebagaimana yang digambarkan dalam tulisan itu.
Sebagai contoh, Syaikh Dr. Ayman Azh Zhawahiri hafizhahullah berkata pada pertemuan terbuka 6 tahun yang lalu : “Pendapatku tentang orang-orang awam syiah adalah sebagaimana pendapat kalangan ulama ahlus sunnah, yaitu bahwa mereka mendapat udzur karena kebodohan mereka, sedangkan para tokoh mereka yang terlibat dalam kerjasama dengan pihak salibis dan bersikap memusuhi kaum muslimin, maka hukum terhadap mereka ketika itu adalah sebagaimana hukum terhadap kelompok-kelompok yang menolak Syariat Islam”.
Syaikh Athiyatullah Rahimahullah berkata 7 tahun silam : “Kami merinci soal hukum Rafidhah yang berada di negara yang berbeda-beda, kita tidak menetapkan terhadap mereka satu hukum saja”. Beliau berkata dalam kesempatan lain : “Alhamdulillah, sudah diketahui bersama di kalangan kami dan ditetapkan oleh para pemimpin kami orang-orang pilihan dan peneliti, bahwa kaum Rafidhah tidak kami kafirkan semuanya yaitu semua yang menisbatkan dirinya dengan Rafidhah, kami merinci mereka, dan inilah (pendapat) yang benar seperti yang telah saya sebutkan. Namun kami menamai mereka sebagai golongan kafir, dan kita tahu bahwa orang-orang kafir dan zindik di kalangan mereka sangat banyak jumlahnya, dan para pentolan mereka adalah orang-orang kafir dan zindik, tidak diragukan lagi.” Selesai perkataan beliau. Perkataan ini adalah jawaban terhadap soal yang ditanyakan dalam forum Hisbah, ada orang yang bersaksi bahwa ini adalah ‘qaul qadim’ (perkataan/atau pendapat seseorang yang tidak diyakini atau diterapkan lagi) dari Al Qaeda, hingga sebelum orang-orang ini (penandatangan tulisan yang berjudul “إِلا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا“) tiba di bumi jihad, maka jika ini adalah salah satu permasalahan yang menuntut mereka keluar dari jamaah, mengapa mereka dahulu masuk ke dalam jamaah?
Dan perkataan tentang tidak bolehnya mengakfirkan kaum Rafidhah secara umum juga datang dari banyak ulama mutaqaddimin, salah satunya adalah Syaikh Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah, beliau berkata : “Yang benar adalah bahwa perkataan-perkataan yang mereka katakan, yang diketahui bahwa ia menyelisihi apa yang dengannya Rasul diturunkan (Al-Quran) adalah (perkataan yang – red.) kufur, begitu juga dengan perbuatan-perbuatan mereka yang merupakan jenis-jenis perbuatan orang-orang kafir, maka ia juga adalah (perbuatan) kufur, dan aku telah menyebutkan dalil-dalilnya pada tulisan yang lain, namun mengkafirkan seseorang secara tertentu dari mereka, dan menghukuminya kekal di neraka, maka ini tidak dibenarkan karena syarat-syarat takfir dan meniadakan penghalangnya telah tetap; karena kami mengucapkan perkataan dengan nash-nash janji dan ancaman serta mengkafirkan dan menfasikkan, dan kami tidak menghukumi orang tertentu masuk ke dalam umumnya hal ini, hingga pada dirinya telah terpenuhi tuntutan-tuntutan (syarat-syarat kafirnya seseorang – red.) yang tidak ada penghalang lagi pada dirinya (untuk dikafirkan – red.)”.
Dan Syaikh Abu Muhammad Al Maqdisi mengomentari perkataan beliau dengan berkata: “Maka ini adalah perkataan kami dan juga perkataan para masyayikh kami yang kami pilih”. Kemudian Syaikh Al Maqdisi berkata sedikit setelahnya : “Maka dari itu, hal kedua yang perlu diperhatikan adalah: hal yang menyebabkan adanya konsuensi untuk merinci dalam mengkafirkan mereka, yaitu kondisi mereka tidak semuanya kafir; sehingga menuntut dan harus untuk berkata bahwa mereka tidak halal darahnya, dan tidak boleh memerangi mereka secara umum, maka mengapa seorang muslim menyibukkan dirinya dengan membunuhi kaum wanita mereka, anak-anak mereka, lansia mereka, dan orang-orang awam dari mereka yang tidak memerangi ahlus sunnah? Mengapa ia harus menghancurkan seluruh masjid mereka? maka ini bukanlah yang diserukan oleh para masyayikh kami dan mereka tidak menfatwakannya”. [dalam muqaddimah beliau di buku “Kitabus Syiah” karangan Abu Anas Asy Syami Rahimahullah]
Dengan ini jelaslah bahwa tidak mengkafirkan seluruh kaum Rafidhah dengan mutlak adalah madzhab banyak dari para ulama baik salaf maupun khalaf, dan juga kebanyakan para ulama kalangan jihadi pada saat ini. Bahkan Syaikh Abu Mushab As Suri – Semoga Allah membebaskan beliau – berkata tentang Syiah Imamiah : “Kecuali bahwa jumhur dari kalangan jihadi menganggap mereka kaum muslimin dari ahlul qiblat, namun sesat dan bid’ah”.
Maka saya tidak tahu apa alasan pengingkaran yang dijadikan pegangan oleh para penandatangan tulisan ini. Syaikh Athiyatullah berkata tentang prinsip-prinsip dalam berbeda pendapat : “Yang juga merupakan prinsip yang harus dijaga adalah; seseorang harus mengetahui tingkatan-tingkatan masalah dan dalil, maka hal yang pasti tidak disikapi layaknya hal yang masih mengandung prasangka, dan hal yang masih masuk ke dalam ranah ijtihad tidaklah disikapi layaknya hal yang sudah menjadi ijma’. Seperti inilah, dan ini adalah hal yang penting sebagaimana juga permasalahan yang berkaitan dengan perintah dan larangan serta mengingkari yang mungkar, maka perhatikanlah hal ini, karena sesungguhnya ini adalah penting sekali”.
-
Tuduhan kedua, mereka berkata : “Dan bersikap kasar terhadap orang yang menyelisihi hal itu, sampai pada tingkatan mengancam dengan pengusiran dan dikeluarkan dari jamaah”. Saya katakan: saya telah hidup bersama jamaah Al Qaeda selama bertahun-tahun – wa lillahil hamdu wal minnah –, dan saya belum pernah mendengar bahwa jamaah mengancam dengan pengusiran terhadap seorang pun yang berada di tanzhim, dan seluruh mujahidin di lapangan mengetahui hal ini. Saya juga tidak tahu apakah sabagian orang yang menandatangani tulisan itu lupa bahwa mereka beranggapan bahwa strategi untuk tidak mengusir adalah aib jamaah yang terbesar? Apakah mereka lupa bahwa mereka telah mendesak dengan sangat terhadap pimpinan sehingga pimpinan mengusir mereka dan memutus jaminan finansial terhadap anggota-anggota yang menyelisihi strategi pimpinan dalam kaitannya dengan hak beberapa ikhwah, bahkan hak beberapa orang yang bergabung untuk menulis tulisan ini!! Maka apakah kini sebuah aib menjadi kelebihan dan kelebihan menjadi sebuah aib? Dan apakah seorang yang berlepas diri kini menjadi seorang penuduh dan penuduh menjadi orenag yang berlepas diri?
-
Tuduhan ketiga, perkataan mereka : “Takfir Muayyan: adalah garis merah yang tidak boleh dilampaui, terlepas dari siapa saja pelakunya, dan kebenaran itu berada di tangan orang yang ditokohkan.”
Saya katakan: takfir muayyan memiliki syarat-syarat menurut ahli ilmu, dan tidak seluruh mujahidin ahli dalam melibatkan diri dalam persoalan ini.
Syaikh Athiyatullah berkata dalam pembahasan ini : “Orang tertentu tidak dihukumi atasnya dengan kekufuran, kecuali jika kita telah mengetahui adanya persyaratan dalam penerapan hukum, maka dilarang untuk terlibat dalam masalah takfir terhadap seseorang yang takfir tersebut adalah bersifat ijtihadi dan masih perlu diambil kesimpulannya, karena ia adalah pekerjaannya ahli ilmu, dan orang umum yang tidak ada spesialisasi keilmuan harus berkata:”saya tidak tahu, tanyakanlah kepada ulama”. Ini adalah kewajiban dirinya dan juga (yang merupakan kewajiban dirinya adalah – red.) beriman secara total kepada Allah, agama-Nya dan rasul-Nya dan mengakafirkan secara total terhadap thaghut, dan sebagai kesimpulan adalah tindakan pencegahan dalam permasalahan ini (takfir muayyan – red.) sangat ditegaskan bahkan wajib, jika tidak maka manusia akan binasa, kami meminta kepada Allah agar Ia memberikan kepada kita kondisi yang baik dan keselamatan, karena bab ini adalah bab yang berbahaya, para ulama saja masih merasa takut dan berhati-hati untuk memasukinya dengan cara yang tidak benar dan tanpa penyebab yang kuat.”
Maka dari itu, jika para mujahidin dari kalangan awam terkena permasalahan seperti ini, mereka menyibukkan diri dengan urusan yang mereka tidak ahli menanganinya, maka wajib kepada seluruh kaum muslimin untuk mengingkari mereka jika mereka berkata tanpa didasari ilmu, khususnya dalam permasalahan ini, yaitu permasalahan yang dapat menghalalkan darah dan harta manusia dengannya, dan menjadi kewajiban bagi pimpinan jamaah (untuk mencegah anak buahnya melakukan seperti itu – red.).
Syaikh Athiyatullah berkata : “Dan kepada para pemimpin, hendaknya mereka marah jika mendengar para mujahidin dari kalangan orang awam membicarakan tentang mengkafirkan si fulan, atau si fulan, yang urusan mengkafirkan itu adalah urusan ijtihadi, dan agar para pemimpin tersebut melarang mereka untuk membahasnya”.
Maka dimana cacat celanya dalam hal itu wahai orang-orang yang berfikir? Apakah orang-orang itu ingin menjadikan takfir muayyan sebagai lampu hijau? Kita perlu mengutip sebuah perkataan dari Syaikh Athiyatullah dalam risalahnya : “Oleh karena itu, kita mengulangi dan mewasiatkan agar engkau meninggalkan permasalahan takfir yang menjadi tugas ulama ini, dan kepada para pemuda agar mereka tahu bahwa permasalahan ini – mayoritas – adalah permasalahan ijtihadi yang mengandung ikhtilaf di dalamnya, maka seseorang tidak boleh bersikap fanatisme terhadap perkataan seseorang, atau kepada Syaikh tertentu, atau kepada jamaah tertentu, dan mereka juga tidak boleh bermusuhan satu sama lain disebabkan perbedaan pendapat dalam mengkafirkan seseorang, atau beberapa orang atau golongan tertentu yang jalan untuk mengafirkan mereka adalah masih di dalam daerah ijtihad. Akan tetapi bagi orang yang tampak bagi dirinya kebenaran, maka ia akan mencari dan mengikuti pendapat para penuntut ilmu, sehingga ia akan merasa tenang dan ia mengamalkan pendapat tersebut, sedangkan bagi orang baginya belum tampak kebenarannya, maka agar ia selalu mencegah dirinya (untuk terlibat – red.) dan agar ia memperingati setiap orang yang bertentangan dengannya atas sesuatu yang merupakan bagian dari permasalahan ini. Inilah jalan yang benar, jika tidak maka di sana tidak terdapat hal yang baik dan memperbaiki, sehingga mungkin saja dapat merusak para pemuda dan menjauhkan mereka dari agama serta mereka menghalangi jalan Allah dan mereka mengira bahwa mereka telah berbuat baik, dan membela agama Allah, maka mereka justru menjadi penentang terhadap peringatan keras dari Allah, Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki (mu) sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah; dan bagimu azab yang besar.” [Qs. An Nahl: 94]. Ibnu Katsir Rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Allah memperingatkan kepada hamba-hamba-Nya, bahwa janganlah seseorang menjadikan sumpahnya sebagai sarana untuk menipu dan makar, agar kakinya tidak tergelincir sesudah kokoh. Hal ini merupakan perumpamaan bagi orang yang tadinya berada pada jalan yang lurus, lalu menyimpang dan tergelincir dari jalan petunjuk disebabkan sumpah yang dilanggarnya dan berakibat terhalangnya jalan Allah.
Dikatakan demikian karena orang kafir itu apabila melihat ada orang mukmin yang bersumpah menjamin keselamatannya, kemudian ternyata orang mukmin itu melanggar sumpahnya, maka tiada kepercayaan lagi bagi si kafir terhadap agama si mukmin. Sebagai akibatnya, maka si kafir itu merasa antipati untuk masuk islam” (habis).
Dan jika menghalangi jalan Allah yang menyebabkan mendapatkan peringatan keras karena ia terlibat dalam mempermainkan sumpah dan menjadikannya sebagai sarana menipu dan berbuat makar, maka jika ia terlibat dalam memusuhi agama Allah dan menghalangi jalan-Nya disebabkan ‘bermain-main’ dengan hukum takfir dan berlebih-lebihan di dalamnya karena bodoh, ekstrim, fanatik dan tergesa-gesa, maka itu jauh lebih besar sebagaimana yang diketahui, oelh karena itu hendaknya para mujahidin muda dan para pendakwah kepada Allah mewaspadainya dengan segenap kewaspadaan. Dan Allah lah pemiliki taufiq.” (selesai perkataan Syaikh Athiyatullah,-ed)
- Mereka berkata : “Orang yang berpijak di atas pundak manusia (maksudnya memimpin, pent) atas nama demokrasi; justru malah dipuji dan disanjung”.
Saya kira perkataan ini mengisyaratkan terhadap perkataan Syaikh Dr. Ayman Azh Zhawahiri yang berjudul “Membebaskan Diri dari Daerah Gangguan dan Kegagalan” yang di dalamnya beliau berdoa untuk Muhammad Mursi, dan saya mengajak kepada setiap orang yang masih berakal dan mau bersikap netral untuk mendengarkan kata-kata ini dan kemudian menilai apakah di dalamnya terdapat pujian dan sanjungan sebagaimana yang dikatakan dalam tulisan tersebut? Syaikh Dr. Ayman Azh Zhawahiri berkata : “Sedangkan suratku kepada Doktor Muhammad Mursi, maka saya katakan kepadanya:
“Pertama-tama saya meminta kepada Allah agar meringankan penderitaanmu, menunjukkan hatimu, memperbaiki urusan agamamu dan urusan duniamu, dan saya memohon kepada Allah agar DIA meneguhkan pikiranmu, memenuhi hatimu dengan keyakinan, keimanan dan keteguhan sehingga engkau dapat membela agama dan syariat-Nya tanpa ada rasa gentar, rasa takut, tanpa tawar-menawar, dan menyeleweng, dan semoga ia memberikanmu rezeki berupa mengikuti sabda Al Mushthafa Shallallahu alaihi wasallam, “Jihad yang paling afdhal adalah berkata benar di hadapan pemimpin zhalim” [H.R. Abu Dawud no. 4344, Ibnu Majah no. 4011, dishahihkan oleh Syaikh Al Bani].
Dan sabda beliau Shallallahu alaihi wasallam : “Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan orang yang melawan penguasa kejam, ia melarang dan memerintah, namun akhirnya ia mati terbunuh.” [HR. Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 4079, Al Hakim, Al Mustdarak ‘Ala ash Shaihain, No. 4884, katanya shahih, tetapi Bukhari-Muslim tidak meriwayatkannya. Al Bazzar No. 1285. Syaikh Al Albany mengatakan shahih dalam kitabnya, As Silsilah Ash Shahihah No. 374] dan saya menasehatimu dengan ikhlas, dengan mengharapkan untukmu petunjuk, taufik , dan keteguhan”.
Seluruh perkataan ini tidak keluar dari ranah mendoakan agar mendapatkan petunjuk dan kebaikan fikiran, dan ini dibolehkan dalam syariat bahkan jika ditujukan kepada kaum musyrikin sekalipun, dan ini adalah kebiasaan para nabi dan rasul dalam berdakwah.
Imam Bukhari Rahimahullah berkata : “Bab berdoa untuk orang-orang musyrik agar mendapatkan petunjuk demi mendapatkan simpati dari mereka”, kemudian beliau menyebutkan hadits; dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata: Thufail bin Amru datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata : “Ya Rasulullah, sesungguhnya kabilah Daus telah kafir dan membangkang. Oleh karena itu, berdoalah kepada Allah agar mereka mendapatkan kecelakaan”. Tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa : “Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada kabilah Daus dan datangkanlah mereka!” [HR. Bukhari No.5918].
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata : “Bukhari menyebutkan hadits Abu Hurairah tentang kedatangan Thufail bin Amru Ad Dausi dan sabda Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam : “Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada kabilah Daus..”, dan ini jelas sebagaimana yang telah ia (Imam Bukhari) terjemahkan dengan berkata “agar mendapatkan simpati mereka” dari pemahaman penulis, disana terdapat isyarat darinya (imam Bukhari) untuk membedakan antara dua kedudukan, dan sesungguhnya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam terkadang berdakwah kepada mereka, terkadang beliau berdoa untuk mereka, maka kondisi kedudukan yang pertama adalah dahsyatnya permusuhan mereka dan banyaknya penyiksaan mereka sedangkan kedudukan kedua kondisinya risiko dari mereka masih dalam tahap yang aman dan mereka masih dapat dilobi sebagaimana dalam kisah Daus”. (habis)
Diriwayatkan dari Tirmidzi, dari Abu Musa Al Asyari, ia berkata: Orang-orang Yahudi bersin di sisi Nabi dengan harapan beliau akan mengucapkan YARHAMUKUMULLAAH (semoga Allah merahmati kalian), Namun beliau mengucapkan: YAHDIIKUMULLAAH WA YUSHLIH BAALAKUM (semoga Allah memberikan hidayah kepada kalian & memperbaiki kondisi kalian). [HR. Tirmidzi No.2663].
Ibnu Hajar berkata: “Hadits Abu Musa menunjukkan bahwa mereka (yakni Yahudi) masuk ke dalam mutlaknya perintah dalam mendoakan orang yang bersin, namun untuk mereka hanya dikhususkan dengan (niat – red.) berdoa agar mereka mendapatkan petunjuk dan memperbaiki fikiran mereka, maka ini adalah sesuatu yang tidak ada larangan di dalamnya. Berbeda dengan mendoakan kaum muslimin yang bersin, maka mereka didoakan agar mendapatkan kasih sayang (dari Allah – red.), berbeda dengan orang-orang kafir”.
Dalam sebuah Atsar yang shahih dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, beliau berkata : “Jika saja Fir’aun berkata kepadaku, ‘semoga Allah memberkatimu’, maka saya akan menjawab, ‘sama-sama’, sedangkan Fir’aun telah mati”.
Saya tidak tahu jika saja Ibnu Abbas Rahimahullah ada diantara kita dan beliau berkata kepada Fir’aun, ‘semoga Allah memberkatimu’, maka mereka ketika itu juga akan mengeluarkan puluhan tulisan yang menyerukan kepada beliau untuk bertaubat dari perkataannya ini. Dan untuk menambahkan kejelasan terhadap permasalahan ini, maka seyogyanya kita dapat mengerti kebijaksanaan yang terkandung dalam perkataan Syaikh Ayman terhadap Mursi ini.
Syaikh As Sa’diy telah berkata tentang firman Allah Ta’ala terhadap Musa dan Harun Alaihimus Salam ketika DIA memerintahkan keduanya untuk berdakwah kepada Fir’aun: “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut..” [Thaha: 44] maksudnya adalah dengan kata-kata yang mudah dan lembut, dengan sikap bersahabat, lemah lembut, beradab dalam kata-kata dengan tanpa bersikap sombong dan buruk, juga marah dalam berkata, atau kasar dalam berbuat, “mudah-mudahan ia” dengan sebab kata-kata yang lemah lembut, “ingat”apa yang bermanfaat baginya maka ia mendatanginya, “atau takut” apa yang berbahaya baginya maka ia akan meninggalkannya, karena kata-kata yang lemah lembut menyebabkan kepada hal itu, sedangkan kata-kata yang keras hanya akan membuat orang lari dari si pembicara, kata-kata yang lemah lembut ini telah ditafsirkan dengan ayat berikut : “Dan Katakanlah (kepada Fir’aun): “Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)?”, “Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut kepada-Nya?” [An Naziat: 18-19] karena dalam kata-kata ini terdapat ucapan yang paling lembut dan mudah, dan tidak ada ungkapan yang menakut-nakuti, hal ini tidak diragukan lagi bagi orang-orang yang memperhatikan, karena ayat ini dimulai dengan kata; “apakah” yang menunjukkan tawaran dan ajakan bermusyawarah sehingga dengannya siapapun tak akan mengurungkan dirinya.
Dan mengajaknya untuk mensucikan dan membersihkan diri dari kotoran, yang sejatinya adalah mensucikan diri dari kesyirikan, dan ini dapat diterima oleh semua orang yang akalnya sehat. Di dalamnya tidak dikatakan: “saya akan membersihkan dirimu” akan tetapi yang dikatakan adalah: “membersihkan dirimu” yaitu dirimu sendiri, kemudian ia mengajaknya menuju jalan Rabbnya yang telah mendidiknya dan memberikan kepadanya kenikmatan baik yang tampak maupun yang tidak tampak, sehingga ia harus menerimanya dengan cara bersyukur terhadap kenimatan itu dan mengingatnya, maka ia berkata:”Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut kepada-Nya?” dan ketika ia tetap tidak menerima kata-kata yang lemah lembut ini, kata-kata yang dapat mengambil kebaikan dalam hati setiap orang dan ia mengetahui bahwa kata-kata itu tidak berdampak terhadap hatinya (Fir’aun) sebagai peringatan, maka Allah mengadzabnya dengan adzab dari Yang Maha Perkasa lagi Maha Kuasa”.
Imam Al Qurthubi berkata : “Dan jika Musa saja diperintahkan untuk berkata dengan kata-kata yang lemah lembut terhadap Fir’aun, apalagi dengan yang lainnya, maka lebih mungkin untuk mendapatkan perkataan yang lemah lembut, memerintahkan kepadanya untuk berbuat kebaikan dalam kata-katanya. Allah telah berfirman: “serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia..” [Al Baqarah: 83]
Imam Ibnu Katsir berkata : “‘Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut’. Di dalam ayat ini terdapat pelajaran yang sangat berharga, yaitu bahwa Fir’aun benar-benar berada di puncak keangkuhan dan kesombongan, sedangkan pada saat itu Musa merupakan makhluk pilihan Allah. Berdasarkan hal tersebut, Allah Ta’ala memerintahkan Musa untuk berbicara kepada Fir’aun dengan lemah lembut.”
Ibnu ‘Asyur berkata dalam At Tahrir wa At Tanwir : “Dan lemah lembut merupakan bagian dari syiar dakwah kepada kebenaran, Allah berfirman: “dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” [An Nahl: 125] dan firman-Nya, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka..” [Ali Imran: 159], dan dari kelemah lembutan dakwah Musa terhadap Fir’aun, Allah berfirman: “Dan Katakanlah (kepada Fir’aun): “Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)?”, “Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut kepada-Nya?” [An Naziat: 18-19] dan firman-Nya: “dan keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk” karena maksud dari dakwah para rasul adalah bagaimana menghasilkan pencerahan bukan menampakkan kebesaran dan perkataan yang keras sehingga akan sia-sia.
Dan jika kelemah lembutan tidak bermanfaat kepada yang diseru, kemudian ia justru menolak dan mengingkari, maka dibolehkan untuk menasehatinya dengan keras, Allah berfirman: “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka” [Al Ankabut: 46], Allah juga berfirman tentang Musa: “Sesungguhnya telah diwahyukan kepada Kami bahwa siksa itu (ditimpakan) atas orang-orang yang mendustakan dan berpaling” [Thaha: 48].
-
Mereka berkata di dalam tulisan itu : “Berlebihan di dalam memuji apa yang disebut sebagai Arab Spring (Musim Semi Arab, Rabi’ Al Arab) serta menyemangati rakyat yang tidak bersenjata dari kalangan pria dan wanita untuk berdemo di jalanan dan di pusat-pusat kota; untuk menghadang militer murtad yang dilengkapi berbagai persenjataan, supaya rakyat merubah pemerintahan-pemerintahan dan supaya setelah itu kita berdiri di atas pundak mereka, sehingga setiap kali mereka berlaku taqshir (kurang maksimal) di dalam hal itu maka kita menuntut mereka untuk melakukan yang lebih sampai mereka merealisasikan apa yang diinginkan.”
Maka saya katakan; mengajak manusia untuk turut bergabung dalam revolusi-revolusi ini telah disepakati oleh seluruh ulama dan para pendakwah di zaman kita ini – jika kita mengecualikan ulama penguasa – , maka saya tidak tahu dimana letak kesalahannya dalam memberikan semangat kepada rakyat muslim untuk melaksanakan revolusi melawan rezim-rezim yang menguasai mereka demi menegakkan Syariat Islam?
Dan jamaah Al Qaeda memiliki pandangan politik yang jelas khusus dalam urusan revolusi-revolusi rakyat arab, sama saja apakah seperti yang dituliskan dalam penjelasan-penjelasan atau makalah-makalah, atau seperti yang disampaikan melalui video atau audio khutbah-khutbah mereka, terkhusus lagi khutbah dari Syaikh Usamah bin Laden yang terakhir kepada umat, “Arahan Umum Dalam Amal Jihad” yang disampaikan oleh Syaikh Dr. Ayman Azh Zhawahiri, “Revolusi-revolusi Arab dan Musim Panen” yang disampaikan oleh Syaikh Athiyatullah, “Revolusi-revolusi Rakyat Diantara Ancaman dan Dampaknya” yang disampaikan oleh Syaikh Abu Yahya Al Libi, dan “Beberapa Pandangan Terkait Peristiwa-peristiwa di Mesir” yang disampaikan oleh Syaikh Abu Dujana Al Pasha hafizhahullah, maka pandangan ini bukanlah merupakan hal baru bagi jamaah, lalu mengapa sekarang ini ditentang?
Sedangkan jika melihat dari perkataan mereka : “dan supaya setelah itu kita dapat berdiri di atas pundak mereka”, maka saya katakan kepada mereka, ingatlah posisi kalian di hadapan Allah Ta’ala ketika DIA menanyakan kepada kalian apa bukti dari perkataan ini, karena dengan perkataan kalian ini, kalian telah menikam hak mereka, yaitu para masyayikh dan seluruh pimpinan yang sebagian telah syahid dan sebagiannya lagi sedang menanti kesyahidan mereka, bahkan perkataan kalian ini juga menikam manhaj seluruh mujahidin, karena mujahidin bukanlah orang-orang yang memiliki tujuan-tujuan duniawi dan syahwat-syahwat yang sementara, maka cukuplah Allah sebagai penolong kami, karena Ia adalah sebaik-baik pelindung. Syaikh Abu Muhammad Al Maqdisi – semoga Allah meringankan penderitaan beliau – telah membantah beberapa ikhwah yang menyetujui sejumlah orang yang menandatangi pendapat mereka terhadap revolusi-revolusi arab, dan saya ingin merujuk kepada tulisan beliau ini, karena di dalamnya terdapat banyak kebaikan bagi mereka.
-
Mereka juga berkata : “Tidak adanya keberanian pada jamaah untuk menegakkan satu hukumpun terhadap orang yang melakukan pelanggaran syari’at; dengan dalih agar tidak ada benturan dengan manusia, dan karena tidak adanya kemampuan dan eksistensi, padahal sebenarnya Tandhim (Al Qaeda) itu secara rahasia menegakkan suatu yang lebih besar dari itu lewat tata-tertibnya.”
Yang mereka maksudkan dengan perkataan itu adalah tidak adanya penerapan hudud syariat, mereka juga menyebutkan alasan mengapa jamaah bisa seperti itu; tidak adanya kemampuan dan eksistensi, maka ini adalah alasan yang dapat diterima oleh syar’i, sebagaimana yang disebutkan oleh para ahli fiqih di dalam kitab-kitab mereka, dan mereka berbeda pendapat tentang hukum hal itu sehingga terdapat berbagai pendapat.
Syaikh Abu Yahya Al Libi telah mengarang buku yang membahas tentang permasalahan ini dengan judul “منة الخبير في حكم اقامة الحدود في دار الحرب والتعزير“, beliau mengerahkan dalil-dalil yang menjadi landasan, kemudian pembahasan ditutup dengan kata-kata yang paling menonjol, diantaranya adalah seperti yang beliau katakan: “Kesembilan, para ulama berbeda pendapat tentang penegakan hudud di bumi jihad, terdapat tiga pendapat pokok di dalamnya, yang paling rajih adalah bahwa hudud tidaklah ditegakkan di bumi peperangan, akan tetapi ia ditunda sampai para tentara telah pulang ke negara Islam, ini sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh sunnah dan diterangkan oleh atsar para sahabat beserta penjebarannya. Kesepuluh; sesungguhnya pendapat yang dipilih tentang hukum penegakan hudud diantara mujahidin di zaman ini, adalah diperbolehkan namun dengan melihat segala kondisi riilnya, dan diperlukan ijtihad untuk mengetahui kemaslahatan dan kerugian yang dapat ditimbulkan olehnya, karena pendapat yang mengatakan untuk menunda penegakan hudud hingga ditegakkannya Negara Islam yang bersifat umum akan menyebabkan batalnya hal ini secara keseluruhan, dan hal ini tidak bertentangan dengan apa yang sebanding dengannya, karena pendapat yang pertama tidak akan menunda penegakan hudud terlalu lama, dan itu adalah hal yang positif, bahkan terkadang dibolehkan jikalau kerusakan dapat ditangani, seperti yang terdapat di dalam atsar Syurahbil bin As Simthi yang telah kami sebutkan”. (habis)
Dan saya tidak perlu untuk menyebutkan siapa diantara penandatangan tersebut, seorang saudara menceritakan bahwa salah satu dari mereka menjaminnya di mahkamah syariah (Khurasan) kemudian saudara kita ini pergi keluar Khurasan dan si penjamin yang kini merupakan salah satu penandatangan perjanjian ini, membiarkan terjadinya kekacauan yang dahsyat dengan pihak yang bermasalah dengan saudara kita ini, dan si penandatangan ini justru memilih menghindarinya, maka apakah seperti ini dinamakan mampu menerapkan syariat Allah?
Dan terakhir, sebagaimana yang telah para pembaca saksikan, bahwa kebanyakan tuduhan yang mereka orang-orang ini tuduhkan, bukanlah merupakan tuduhan yang memiliki dasar. Sebagiannya berisi pengingkaran terhadap permasalahan ijitihadiyah, yang mana tidak dibenarkan untuk mengingkari permasalahan seperti itu, sebagian lagi merupakan tikaman terhadap para ahli kebaikan baik dari para syuhada maupun para pemimpin pilihan, maka dari itu, saya ingin menyampaikan nasehat kepada para penandatangan tulisan ini, agar mereka memastikan sebelum menghukumi seseorang, agar mereka menjauhi sikap berlebih-lebih yang tidak dapat mendatangkan manfaat terhadap kebenaran sedikitpun, dan agar mereka tidak menjadikan sesuatu hal yang bukan keburukan sabagai hal yang buruk, kecuali sebelumnya mereka telah memastikannya, telah menanyakannya kepada ahli ilmu.
Dan saya tidak menyangka bahwa bahwa seseorang dari ang menandatangani tulisan ini menganggap dirinya adalah bagian dari ahli ilmu, saya juga tidak menyangka bahwa seseorang mengenal mereka sebagai bagian dari ahli ilmu, karena kondisi mereka sudah maklum di kalangan orang yang mengenal mereka, maka dari itu saya mewasiatkan kepada mereka untuk merujuk kepada ahli ilmu, karena kesesatan ada pada sikap sikap merasa tidak butuh terhadap ahli ilmu dan sombong terhadap mereka.
Yang sangat disayangkan adalah bahwa pembaca secara sepintas menyangka bahwa tulisan tersebut ditujukan kepada para pemerintah thaghut atau kepada kalangan orang-orang munafik umat ini, dan bukan ditujukan kepada para mujahidin yang telah menghabiskan hidupnya selama puluhan tahun untuk menentang orang-orang kafir dan para pembelanya demi menegakkan syariat Allah Ta’ala, yang mereka mengorbankan keluarga-keluarga mereka, harta-harta mereka demi menempuh jalan ini, dan mereka tidak mundur sedikitpun walaupun banyaknya ujian dan cobaan menghadang.. “maka kemana kalian akan pergi?” “Mengapa kamu (berbuat demikian): bagaimanakah kamu mengambil keputusan?”
Sebagai penutup, saya menyerukan kepada para penandatangan agar mereka mengevaluasi kembali pandangan mereka, dan bertaqwa kepada Allah terhadap perkataan yang telah mereka ucapkan, serta menghindarkan diri mereka dari terjerumus ke dalam hawa nafsu yang mana itu adalah sumber dari seluruh kegelapan, mereka juga harus mengingat kembali dosa dari melakukan persaksian palsu, karena ada hadist shahih dari Nabi Muhammad SAW yang menyebutkan bahwa persaksian palsu merupakan salah satu dari dosa besar, karena di dalamnya terdapat kelakuan mencemarkan nama seseorang dengan menimpakan perbuatan dosa terhadapnya, dan juga menjelekkan orang yang ditujukan kepadanya persaksian tersebut, karena ini adalah fitnah terhadap dirinya, ini baru terhadap satu orang, maka bagaimana jika fitnah itu ditujukan kepada sebuah jamaah beserta seluruh komponennya? Dan di dalamnya juga terdapat kelakuan menjelek-jelekkan terhadap pihak yang diberi persaksian (umat islam), karena di dalamnya terdapat upaya untuk menyesatkan dan menghasut mereka.
Saya menutup tulisan saya ini dengan mengutip perkataan dari Ibnu Qutaibah sebagai berikut : “Dan ada 3 orang yang akan menyetujui ucapanku ini. Pertama, seseorang yg ikut arus, mendengar suatu kaum berbicara satu pendapat kemudian dia juga ikut-ikutan mengucapkan pendapat tersebut, tidak mengkaji dan menelaahnya, sehingga dia tidak meyakini perkaara tersebut di atas dasar pengkajian, maka orang ini juga tidak akan kembali menarik pendapatnya.
Dan kelompok kedua adalah seseorang yang sudah mabuk oleh penyakit gila kepemimpinan, gandrung ditaati, dan ambisi akan ketenaran, maka tidak ada yang bisa mengembalikan perilakunya dan tali kekang jiwanya yang seperti itu kecuali Allah yang telah menciptakannya jika Dia berkehendak. Karena ruju’ (kembalinya) org tersebut berarti pengakuan akan kekeliruannya, dan pengakuan akan kebodohannya dan tentu sikap sombongnya tidak bisa menerima hal ini, juga dalam hal tersebut berarti memecah belah apa yang sebelumnya sudah bersatu, terputusnya kekuasaan, menyelisihi para ikhwan yang sudah disatukan oleh agama dan jiwa tidak akan merasa nyaman dengan itu semua kecuali orang yang dilindungi dan di selamatkan oleh Allah.
Sedangkan yang ketiga adalah seorang yang mendapatkan petunjuk dari Allah, yang ia harapkan dalam amalannya adalah Allah, ia tidak mempedulikan perkataan orang yang mencacinya, ia juga tidak disusupi dengan keraguan dan ia tidak memalingkan pandangannya dari kebenaran sedikitpun, maka kepada orang seperti inilah perkataanku ini kami tujukan, dan orang yang seperti inilah yang kami inginkan.”
Saya memohon kepada Allah agar menjadikan kalian semua sebagai golongan orang yang ketiga, akhir seruan kami adalah, segala puji kepada Allah, Rabb semesta alam.
Was salamu alaikum warahmatullahi wa barakatuh.
Ditulis oleh :
Abu ‘Amir An Naji
13 Jumadil Akhir 1435
(aliakram/arrahmah.com)