Gaith Abdul-Ahad melaporkan dari Yaman selatan bahwa para Jihadis menawarkan air dan listrik gratis bersama dengan penegakan Syariah Islam.
Mengemudi menuju timur Aden, kami hanya beberapa ratus meter melewati pos pemeriksaan tentara lalu kami melihat bendera hitam Al Qaeda (Ar-Roya). Bendera juga berkibar di puncak sebuah gedung beton yang telah hancur sebagian akibat penembakan.
Dari sini menuju dalam, semua tanda-tanda kontrol pemerintah Yaman telah dihapus. Ini adalah wilayah Imarah yang baru diproklamasikan di Yaman selatan yang dijalankan oleh afiliasi Al Qaeda Semenanjung Arab (AQAP).
AQAP telah ada di medan perang, pegunungan selama bertahun-tahun, namun dalam 12 bulan terakhir, mereka telah bergerak turun dari tempat tinggi untuk menguasai kota-kota di dataran rendah. Mereka tengah dalam proses untuk mendirikan utopia Al Qaeda di sini, di mana keamanan disediakan oleh para Mujahid, keadilan menurut Syariah Islam dan bahkan administrasi listrik dan air diatur oleh amir.
Azzan, sebuah kota di provinsi Shabwa setahun yang lalu, adalah bagian dari Imarah Islam yang diproklamirkan di Yaman selatan. Ketika Guardian mendekatinya, pintu masuk kota dijaga oleh selusin pejuang dilengkapi dengan kendaraan lapis baja yang mereka rampas dari tentara pemerintah.
Kami bertemu dengan tiga jihadis muda dan membaka ke tempat di mana putra dari Syeikh Anwar al-Awlaki tewas, oleh serangan pesawat tak berawak Amerika.
Di sebuah toko kecil di sisi jalan, pemuda duduk di depan komputer menyalin khutbah-khutbah Syeikh Al-Awlaki, amir Al Qaeda, Syeikh Ayman az-Zawahiri dan nama-nama terkemuka lain dari Jihad global. Sebuah poster di dinding mengiklankan film berjudul Survivors, menampilkan sejumlah nama pemimpin yang selamat dari serangan drone AS.
Kantor polisi lama telah dirubah menjadi pengadilan Syariah. Di dalam, sebuah ruangan yang dindingnya digantung lambang pengadilan Islam-bendera hitam, kalashnikov dan sebuah tongkat panjang yang digunakan untuk memberikan hukuman fisik. Dia membuka buku catatan kecil sebagai dokumentasi tentang bagaimana sistem pengadilan di sana telah memutuskan 42 kasus dalam dua minggu.
“Orang-orang datang kepada kami dari wilayah yang tidak kami kontrol dan meminta kami untuk memecahkan masalah mereka,” ujarnya. “Sistem pengadilan syariah adalah cepat dan tidak fana. Sebagian besar kasus kami pecahkan dalam sehari.”
Apakah mereka telah memotong setiap tangan pencuri?
“Memotong tangan pencuri adalah bukan saja hukuman untuk si pencuri, tetapi sebagai pencegah setiap orang yang menyaksikannya,” ujarnya.
Mengemudi dari Azzan ke barat sejauh 100 mil, kami datang ke pusat lain dari Imarah Islam, di Jaar (kini Waqar). Pejuang Jihad menemui kami dengan kendaraan lapis baja mereka yang baru saja dicat dengan lencana mereka dan dilengkapi dengan bendera hitam.
Kami melalui pasar ramai, warung sayur-sayuran dan ayam hidup, saat orang-orang bersenjata di atas sepeda motor berpatroli di jalanan berlubang. Banyak bangunan di kota ini tampaknya telah rusak dan menjadi puing-puing beton akibat serangan udara.
Di tempat yang serba kekurangan, AQAP dan afiliasinya berusaha membangun sebuah masyarakat baru. Mereka mencoba untuk menerapkan Syariah Islam dengan memenangkan hati dan pikiran rakyat.
Di Jaar, pemerintahan telah menghapus pajak, menyediakan air dan listrik gratis. Truk mereka mendistribusikan air ke desa-desa dan pemukiman pelosok.
Masyarakat yang tinggal di padang pasir di pinggiran kota menceritakan kepada kami bahwa Jihadis telah menghubungkan desa mereka ke jaringan listrik untuk pertama kalinya dalam hidup mereka.
Seorang Mujahid muda bernama Fouad membawa kami ke sebuah bangunan kosong, di mana makanan tersebar di lantai. “Makan, makan, ini sangat baik,” ujarnya riang sambil merobek-robek potongan daging kambing dengan jari-jari tebalnya.
“Waktu telah berubah, hal-hal menjadi jauh lebih baik,” ujar Fouad. “Hari-hari penderitaan dan bersembunyi di gunung-gunung telah hilang.”
Pejuang lain yang mengenakan pakaian bergaya Afghanistan duduk bersama kami, perut yang besar dan kantong berisi penuh magazine mencegah dia untuk berlutut dan menyendok nasi, sehingga ia mengambil tulang yang tergeletak dan mengisapnya seperti anak kecil yang sangat senang.
“Syukur kepada Allah,” ujarnya.
Fouad pernah belajar bahasa Inggris di perguruan tinggi sastra di Universitas Sana’a, tetapi sekarang ia telah mengadopsi pakaian dan pandangan dari sebuah kelompok Jihad.
Kepalanya ditutupi dengan kain putih besar yang ditarik hingga ke bawah dahinya dan melemparkan bayangan gelas atas fitur tulangnya yang lebar. Dia berbicara pelan dalam bahasa Arab klasik, tetapi pesannya adalah kontemporer dan tidak ada kaitannya dengan gua-gua di afghanistan.
“Media mencoba menggambarkan mujahidin sebagai orang yang bodoh dan gagal dalam hidup mereka, ditolak oleh masyarakat mereka dan ini adalah mengapa mereka mengambil jalan ini,” ujarnya. “Kenyataannya adalah bahwa banyak Mujahidin yang terdidik dan memiliki derajat tinggi, tetapi mereka meninggalkan studi mereka untuk lebih peduli kepada bangsa mereka, melihat bangsa mereka dihina dan hidup di bawah penindasan dan percaya bahwa tugas mereka untuk mengambil jalan ini.”
Fouad mengatakan bahwa “demokrasi”-sebuah kata yang baginya menutupi otokratis pemimpin Arab yang menjalankan pemilihan palsu di negara mereka-telah menunjukkan dirinya tidak bekerja.
“Demokrasi telah gagal di dunia arab,” ujarnya. “Gagal di Tunisia, dan Mesir, Libya dan Yaman…semua orang setuju itu.”
“Demokrasi hanya membawa ketidakadilan dan kebodohan dan keterbelakangan dan keinginan untuk mengikuti Barat. Orang-orang pertama yang memberontak terhadap rezim berbahaya adalah tentu saja para Mujahid. Tetapi orang-orang tidak menanggapi mereka di awal karena kekuatan polisi negara. Mereka yang takut, pada akhirnya memulai revolusi. Mereka menyaksikan ketidakadilan dan perbudakan. Jadi mereka memberontak. Dan kami mendukung semua revolusi, syeikh Usamah mendukungnya.”
“Kami juga mendapatkan keuntungan dari revolusi-revolusi mereka. Mereka memberikan kami kebebasan dan kami mampu untuk keluar.”
Revolusi telah melemahkan polisi-polisi negara, lanjut Fouad dan Jihadis telah mampu memanfaatkan itu.
“Kami mampu mengontrol kota-kota dan daerah, kami mampu memberitahu kepada masyarakat tentang misi kami. Semua ini adalah selama revolusi terakhir. Kami bertujuan untuk mengontrol ini dari awal. Mengontrol di bawah Syariah Islam adalah tujuan dasar kami. Tidak ada lagi. Kami hanya ingin melayani masyarakat, memberikan apa yang telah hilang dalam waktu lama.”
Seorang muadzin menyerukan sholat dan seluruh orang di kota berkumpul di masjid.
Fouad berjalan melalui pasar yang memperlihatkan kesolehan kota di mana para pedagang meninggalkan toko mereka tanpa pengawasan saat mereka pergi untuk sholat.
“Lihat, barang dagangan dibiarkan saja dan tidak ada yang mencuri,” ujar Fouad.
Bagaimana jika seseorang tidak ingin sholat?
“Kami hanya akan membawa mereka dan menasehati mereka tentang pentingnya sholat,” ungkapnya.
Lalu bagaimana jika mereka masih tidak ingin sholat?
“Kemudian kami akan mengunci mereka di suatu tempat yang tenang dan memberi mereka bahan bacaan sampai mereka menyadari betapa salahnya mereka.”
Fouad kemudian meminta kami sambil tersenyum lemah lembut dan meminta maaf, jika ia bisa meminta telepon seluler kami. Kami kemudian ditutup matanya dan dibawa dengan mobil untuk menemui tahanan.
Ketika Fouad melepas kain putih, kami telah berada di suatu kamp kecil yang dikelilingi pria bersenjata, beberapa menggunakan sarung lokal, yang lainnya shalwar kameez. Beberapa di antara mereka mengenakan syal yang membungkus wajah mereka.
Mereka berdiri berjaga di luar pintu yang digembok. Kami dibawa ke ruang pertama, di mana selusin tentara Yaman yang ditangkap duduk di lantai. Beberapa memiliki janggut panjang.
Seorang pria berdiri di tengah ruangan dan berbicara dengan suara monoton : “Kami adalah tentara yang berjuang membela negara…kami berjuang sampai kami kehabisan amunisi..kami meminta presiden dan keluarga melihat situasi kami dan setuju
dengan tuntutan saudara-saudara di Ansar al-Sharia dan menukar kami dengan tawanan mereka.”
Di ruang lain, kami meminta salah seorang pria mengatakan bagaimana mereka diperlakukan.
“Seperti tahanan. Seperti tahanan,” ujarnya mengulang.
Setelah kami ditunjukkan para tahanan, orang jongkok bersenjata berat mengatakan: “Mereka adalah tentara miskin, mereka memberi masing-masing prajurit satu magazine, berisi 30 peluru. Kami masing-masing membawa 10 magazine dan berapa banyak peluru. Anda dapat menghitung yang kita miliki?? persediaan lebih di tengah pertempuran, kita menggunakan peta Google dan mengirim pengintai sehari sebelum serangan. Sedang mereka miskin.”
Di mobil dalam perjalanan pulang seorang pria-yang dapat diidentifikasi dari suaranya sebagai komandan-mengatakan : “Kami meminta pemerintah untuk merespon kami, dan melakukan pertukaran.”
Dan bagaimana jika mereka tidak mau?
“Syariah memberi kita tiga cara untuk menangani mereka, baik kami membebaskan mereka, atau menukar mereka atau membunuh mereka,” katanya.
Pada akhirnya, atas perintah amir AQAP, para tahanan dibebaskan tanpa syarat. Mereka telah menyatakan bertaubat dan tidak akan kembali kepada pekerjaan mereka sebelumnya. (haninmazaya/arrahmah.com)