BAMAKO (Arrahmah.com) – Kelompok Islam mendapatkan wilayah di utara Mali, saling berebut dengan pemberontak Tuareg untuk mengontrol wilayah padang pasir yang luas saat penguasa militer menghadapi kesulitan bahan bakar dan keuangan, Selasa (3/4/2012).
Dewan Keamanan PBB pada Selasa (3/4) mengatakan akan mengadakan pertemuan darurat di Mali, yang telah terjatuh dalam kekacauan di bawah junta militer yang merebut kekuasaan pada 22 Maret lalu.
Sekelompok prajurit berpangkat rendah menggulingkan pemerintah, sejak saat itu separuh wilayah Mali jatuh ke tangan pemberontak.
Dibekukan oleh masyarakat internasional, junta militer telah ditampar dengan sanksi dari negara tetangga yang dapat membawanya bertekuk lutut.
Negara yang terkurung daratan besar sangat bergantung pada impor bahan bakar dan kebutuhan pokok dari negara tetangga.Embargo total diumumkan oleh Komunitas Ekonomi Negara afrika Barat (ECOWAS) yang juga mempengaruhi kemampuan mereka untuk membayar upah publik.
Di Bamako, antrian panjang terjadi di pom bensin setelah 15 negara anggota ECOWAS mengumumkan embargo, sementara stasiun bahan bakar tutup lebih awal karena takut penjarahan oleh tentara.
“Kami mendengar ada embargo, kami takut kekurangan, sehingga kami mengambil tindakan pencegahan,” ujar seorang pemuda yang ingin mengisi setengah lusin botol kosong.
Saat Bamako dilanda sanksi diplomatik, ekonomi dan keuangan, kelompok Islam mulai memberlakukan hukum Syariah di kota-kota di mana mereka telah menguasainya bersama Al Qaeda Islamic Maghreb (AQIM).
“Timbuktu telah melewati malam pertama di bawah Syariat Islam, semuanya tenang di kota,” ujar seorang PNS, Saliou Thiam kepada AFP melalui sambungan telepon dari kota perdagangan kuno di mana Islam pernah menyebar melalui Afrika.
Penduduk kota melaporkan bahwa perempuan diperintahkan menutup aurat dan dilarang mengenakan celana panjang.
Pertempuran di Mali utara dimulai pada pertengahan Januari oleh Azawad National Liberation Movement (MNLa) yang menginginkan kemerdekaan tanah air. Mereka berbeda tujuan dengan kelompok Islam Ansar ad-Din yang kini mulai bekerjasama dengan Mujahidin AQIM.
Ansar ad-Din ingin menerapkan hukum Syariah di wilayah Mali utara dan mereka berhasil mengambil keuntungan atas konflik yang terjadi di Mali.
Ansar ad-Din dipimpin oleh Iyad Ag Ghaly, yang memainkan peran kunci dalam dua pemberontakan sebelumnya di Tuareg pada tahun 1990 dan 2007. Ia telah mengambil alasan keislaman, menjauhkan diri dari nasionalisme dan telah mengembangkan hubungan dengan AQIM.
Di Timbuktu pada Senin, Ghaly dan pejuangnya “mengambil alih koya, mengusir orang-orang MNLA yang masih berada di sana, membakar bendera MNLA dan menempatkan bendera Islam di kamp-kamp militer,” ujar seorang kameramen, Moussa Haidara yang mendokumentasikan peristiwa itu.
Paris mengatakan pemberontak Tuareg mendekati pusat kota Mopti di mana ratusan orang melarikan diri karena panik saat melihat tentara melarikan diri dari pos mereka. (haninmazaya/arrahmah.com)