DAMASKUS (Arrahmah.id) — Pemimpin kelompok perlawanan Suriah Hai’ah Tahrir Syam (HTS), Abu Muhammed al Jaulani atau Ahmad asy-Syaraa, mengatakan Suriah tidak akan digunakan sebagai pangkalan untuk menyerang Israel atau negara lain.
Dilansir surat kabar Inggris The Times (16/12/2024), Al Jaulani menekankan perlunya mengakhiri serangan udara Israel dan menyerukan penarikan Pasukan Pertahanan Israel dari wilayah yang diduduki setelah Assad melarikan diri.
“Pembenaran Israel adalah kehadiran Hizbullah dan milisi Iran, tetapi sekarang pembenaran ini tidak ada lagi,” kata Al Jaulani, seraya menambahkan: “Kami berkomitmen pada perjanjian 1974 dan siap untuk membawa kembali pengamat PBB.”
“Kami tidak menginginkan konflik dengan Israel atau siapa pun dan kami tidak akan membiarkan Suriah digunakan sebagai pangkalan untuk serangan,” kata pemimpin HTS, seraya menambahkan: “Rakyat Suriah membutuhkan gencatan senjata, dan serangan udara harus dihentikan, sementara Israel harus kembali ke posisi sebelumnya.”
Al Jaulani meminta Barat untuk mencabut sanksi yang dijatuhkan selama rezim Assad, dengan mengatakan bahwa sanksi tersebut menghukum “algojo dan korban,” tetapi sekarang “algojo tidak ada lagi.”
Pemimpin HTS tersebut juga meminta agar sebutan teroris yang dikaitkan dengan gerakannya, HTS, dicabut, dengan menjelaskan: “Kami telah melakukan kegiatan militer, tetapi label teroris adalah sebutan politik.”
“Suriah sangat penting dari sudut pandang geopolitik,” imbuh Al Jaulani, yang kemudian berbicara selama wawancara tentang minoritas Suriah, termasuk Kristen, Druze, dan Alawi, menjelaskan bahwa ia bertemu dengan para pemimpin mereka untuk meyakinkan mereka, menjamin amnesti bagi semua warga Suriah, kecuali mereka yang telah melakukan kejahatan berdarah atau penyiksaan.
“Para pejuang saya telah menerima instruksi yang jelas: siapa pun yang melanggar ketentuan ini akan dimintai pertanggungjawaban,” kata pemimpin HTS tersebut.
Al Jaulani akhirnya menyampaikan kepada The Times visinya untuk masa depan Damaskus, juga mencari dukungan dari kekuatan Barat untuk rekonstruksi dan transisi politik.
Dia menjelaskan bahwa prioritasnya adalah menstabilkan negara, membawa kembali jutaan warga Suriah yang mengungsi, dan bekerja pada konstitusi baru.
“Separuh dari populasi berada di luar negeri dan banyak yang tidak memiliki dokumen,” kata pemimpin tersebut, menekankan bahwa proses pemilihan umum masih “cukup jauh.”
Mengenai masa depan Suriah, Al Jaulani mengatakan bahwa tidak akan ada campur tangan mendalam terhadap kebebasan pribadi, dan negara tersebut akan mengikuti garis “tradisi alami.” (hanoum/arrahmah.id)