ALEPPO (Arrahmah.id) – Pemimpin perlawanan Suriah Ha’ah Tahrir asy Syam (HTS), mengatakan bahwa “tujuan revolusi tetaplah menggulingkan rezim ini” saat perlawanan merebut Hama dan maju ke Homs, bekas pusat protes anti-rezim.
Abu Muhammad al-Jaulani, yang nama aslinya Ahmed al-Sharaa ini, menyampaikan komentar tersebut dalam wawancara dengan CNN yang disiarkan pada Kamis (5/12/2024) — yang pertama sejak dimulainya serangan perlawanan pada 27 November.
“Benih-benih kekalahan rezim selalu ada di dalamnya,” katanya, seraya menambahkan “Iran berupaya menghidupkan kembali rezim tersebut, mengulur waktu, dan kemudian Rusia juga berupaya menopangnya. Namun kebenarannya tetap: rezim ini telah mati”.
Dalam wawancara tersebut, al-Jaulani menjauhkan diri dari keanggotaan masa lalunya di Al-Qaeda di Irak, melawan pendudukan AS di negara itu, serta perannya dalam mendirikan afiliasi Al-Qaeda di Suriah, Jabhah Al-Nusra.
“Seseorang yang berusia dua puluhan akan memiliki kepribadian yang berbeda dengan seseorang yang berusia tiga puluhan atau empat puluhan, dan tentu saja seseorang yang berusia lima puluhan,” katanya ketika ditanya tentang transformasinya.
Berbicara tentang pengalamannya di Irak, ia mengatakan bahwa invasi AS mendorong banyak orang untuk pergi ke Irak, termasuk dirinya. Namun, “ketika saya kembali ke Suriah, saya tidak ingin membawa apa yang terjadi di Irak ke Suriah, itulah sebabnya ada perselisihan antara kami dan ISIS”.
Pada 2017, Jabhah Al-Nusra berubah menjadi HTS bersama dengan faksi perlawanan lainnya dan secara resmi memutuskan hubungan dengan al-Qaeda.
Namun, AS, Turki dan Uni Eropa masih menganggap kelompok itu sebagai organisasi teroris, label yang disebut Jaulani sebagai “politik”. Pemerintah AS juga telah menawarkan hadiah $10 juta untuk penangkapan al-Jaulani.
Al-Jaulani juga berbicara tentang komunitas minoritas di Suriah, yang sering diserang oleh kelompok seperti ISIS selama perang, dengan mengatakan “tidak ada seorang pun yang berhak menghapus kelompok lain. Sekte-sekte ini telah hidup berdampingan di wilayah ini selama ratusan tahun, dan tidak ada seorang pun yang berhak melenyapkan mereka.”
Wawancara dengan CNN ini muncul di tengah serangkaian pernyataan HTS yang tampaknya memulai perubahan lain pada citranya, dengan al-Jaulani muncul di Aleppo menyusul perebutan kota itu dari rezim Bashar al-Assad pada 29 November.
Ini termasuk pernyataan yang ditujukan pada kelompok minoritas Suriah yang menegaskan bahwa mereka adalah bagian integral dari negara tersebut, serta laporan bahwa Aleppo akan diperintah oleh warga sipil dan bahwa kelompok tersebut dapat membubarkan diri.
Pada Rabu (4/12), Dareen Khalifa, Penasihat Senior di International Crisis Group mengutip pimpinan HTS yang mengatakan bahwa Aleppo akan diperintah oleh badan transisi dengan para pejuang meninggalkan kota dan warga sipil mengambil alih peran mereka dalam lembaga pemerintahan.
Kepemimpinan tersebut juga dikutip oleh Khalifa yang mengatakan, “norma-norma sosial dan budaya yang berbeda di kota ini, Muslim dan Kristen dalam semua keragamannya, akan dihormati”.
“HTS bahkan mempertimbangkan untuk membubarkan diri guna memungkinkan konsolidasi penuh struktur sipil dan militer dalam lembaga-lembaga baru yang mencerminkan luasnya masyarakat Suriah.”
Hal ini juga disampaikan dalam wawancara CNN.
HTS juga telah mengeluarkan pernyataan yang ditujukan kepada komunitas Alawi Suriah, yang menyerukan agar komunitas tersebut meninggalkan rezim. Presiden Bashar al-Assad dan anggota utama kepemimpinan militer, politik, dan intelijen rezim tersebut berasal dari komunitas Alawi.
Pernyataan itu tidak memberikan jaminan serupa kepada kaum Alawi sebagaimana kepada kaum minoritas lainnya.
Jaulani juga mulai menggunakan nama aslinya setelah perlawanan berhasil merebut Hama pada Kamis (5/12), dan menggunakannya untuk menandatangani pernyataan ucapan selamat.
“Kami mengucapkan selamat kepada rakyat Hama atas kemenangan mereka,” kata pesan tersebut, yang ditandatangani oleh “Komandan Ahmed al-Sharaa”, bukan nama samaran perangnya.
Pada 2021, al-Jaulani kepada penyiar AS PBS saat diwawancara mengonfirmasi bahwa nama aslinya adalah Ahmed al-Sharaa dan bahwa nama samaran yang digunakannya mengacu pada asal-usul keluarganya di Dataran Tinggi Golan yang diduduki oleh ‘Israel’ pada 1967. (zarahamala/arrahmah.id)