NEW DELHI (Arrahmah.id) – Akun Twitter Khaled Beydoun, seorang profesor hukum dan aktivis terkemuka di media sosial, tidak bisa diakses di India “sebagai tanggapan atas permintaan hukum” sejak Selasa (13/12/2022), menurut laporan.
Beydoun mengunggah tulisan ke Instagram pada Sabtu (9/12) yang berisi kritikan Partai Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa di India dan ideologi nasionalisme Hindu yang dianutnya, sering disebut Hindutva.
“Sebagai seorang profesor hukum konstitusional, kebebasan berbicara dan memerangi otoritarianisme menghantam sejumlah bidang. Jika BJP dan fanatik Hindutva berpikir mereka dapat menghentikan saya, mereka salah, saya hanya akan menjadi lebih kuat,” tulisnya di Instagram.
Sebelumnya pada Selasa (13/12), Beydoun menge-tweet bahwa Twitter telah menutup akunnya “karena supremasi Hindutva mengendalikan pemerintah”.
“Jika @elonmusk benar-benar bersungguh-sungguh dengan apa yang dia katakan tentang ‘tidak ada sensor di Twitter,’ dia akan bertindak,” tambahnya, merujuk pada klaim pemilik Twitter baru Elon Musk bahwa situs tersebut akan menjadi platform untuk kebebasan berbicara.
Pemerintah India, yang dipimpin oleh Perdana Menteri Narendra Modi, telah berulang kali dituduh mengobarkan lingkungan kebencian terhadap 200 juta Muslim India. Kritikus mengatakan pemerintah berusaha mengubah India menjadi negara Hindu, dengan sedikit ruang bagi Muslim dan minoritas lainnya.
Beydoun adalah pengkritik tajam Modi dan BJP, dan sering berbicara menentang pemerintah karena secara aktif atau diam-diam mendukung kekerasan terhadap Muslim.
Dia mengatakan kepada The New Arab bahwa kaum nasionalis Hindu mendorong pengguna Twitter India untuk melaporkan mereka yang mengkritik BJP.
“Organisasi [The] Hindtuva mendorong pengguna di India untuk mengeluh tentang akun seperti milik saya, yang mengkritik Islamofobia di India dan BJP,” katanya.
“Tentu saja, itu tugas yang mudah untuk memobilisasi pengguna Hindtuva di Twitter untuk mengirim pesan ke Twitter dan melobi mereka untuk memblokir akun saya, dan itulah yang terjadi.”
Beydoun mengklaim bahwa pemerintah India menentang semua kritik, dengan mengatakan bahwa “kebijakan anti-Muslim Modi dan BJP menghasut warga dan organisasi untuk mengejar suara seperti saya.”
Dia juga mengkritik Twitter, mengatakan ia telah berubah dari tempat ide terbuka dan perbedaan pendapat menjadi tempat yang digunakan oleh pemerintah untuk membungkam kritik mereka.
“Ini adalah dunia maya yang kita tinggali saat ini, alih-alih Twitter dan media sosial dimanfaatkan sebagai tempat di mana jurnalis warga dan aktivis dapat terlibat dalam perbedaan pendapat, itu dialihkan menjadi tempat di mana pemerintah otoriter dan gerakan populis dapat menindak dan menghilangkan para penetang secara efektif,” tambahnya.
Penangguhan akun telah dilakukan secara khusus di India selama beberapa tahun terakhir, di mana pemerintah Modi telah berulang kali dituduh menggunakan pengaruhnya untuk membatasi tweet kritis atau menangguhkan akun Twitter di India.
Pada 2021, Twitter mengambil tindakan terhadap lebih dari 500 akun dan mengurangi visibilitas tagar tertentu yang terkait dengan protes petani yang meluas di India untuk mematuhi berbagai perintah dari pemerintah, setelah New Delhi mengancam tindakan hukum terhadap platform tersebut.
Selama beberapa hari terakhir, Twitter menjadi berita utama di seluruh dunia karena membatasi akses ke akun beberapa jurnalis karena diduga berbagi informasi pribadi secara online.
Ini termasuk akun Ryan Mac dari The New York Times, Donie O’Sullivan dari CNN, Drew Harwell dari The Washington Post, Matt Binder dari Mashable, Micah Lee dari The Intercept, Steve Herman dari Voice of America dan jurnalis independen Aaron Rupar, Keith Olbermann dan Tony Webster.
Musk menjelaskan keputusannya dalam grup Twitter Spaces dengan salah satu jurnalis, mengatakan: “Kamu doxx, kamu diskors. Akhir cerita. Itu saja,” sebelum keluar dari grup.
Akun tersebut dilaporkan telah dipulihkan sejak itu. (zarahamala/arrahmah.id)