JAKARTA (Arrahmah.com) – Pengamat kontra terorisme Harits Abu Ulya menilai pilihan kata (diksi) pada judul buku Akulah Isteri Teroris begitu defensif dengan menerima label “teroris”.
“Menyerah dan menerima label atau stigma terorisme pada diri Muslimah yang menjadi istri orang-orang yang di tuduh teroris,” katanya kepada Arrahmah.com, Jumat (29/5/2015)..
Padahal saat yang bersamaan, jelas Harits, penulis buku ingin menjelaskan sebuah perspektif baru tentang realitas “istri teroris”
Dia memahami judul ini hanya pertimbangan pasar saja, atau untuk membuat buku punya daya tarik terhadap publik.
Memang menurut Harits niat dan langkah Abidah penulis buku patut diapresiasi, karena ia mencoba menghilangkan stigma bahwa Islam identik dengan terorisme, atau sosok wanita muslimah yang bercadar itu istri para “teroris”.
“Sebuah karya yang hendak mencairkan kebekuan pandangan yang tedensius dari element masyarakat yang phobia terhadap Islam,” kata Harits.
Lebih jauh dia mengatakan buku ini sebuah contoh langkah advokasi seorang novelis/writer yang punya empati kepada sebagian Muslimah yang terdzalimi dalam isu terorisme. Dia berharap semoga bisa menginspirasi bagi pihak lainnya.
“Lebih penting lagi, realitas faktual muslimah-muslimah yang terdzalimi tersebut jumlahnya banyak bukan hanya seorang “Ayu” dan mereka benar-benar butuh advokasi atas keadaan dan nasib mereka. Tapi bukan dan tidak boleh cukup di kapitalisasi melalui buku yang dijual luas ke masyarakat,” tukasnya.
Perlawanan terhadap stigma “teroris”
Terkait, mengutip Hidayatullah.com 19 November 2014, Abidah penulis buku Akulah Isteri Teroris, terdorong menulis novel dengan tema yang mengundang antusiasme masyarakat karena tawaran dan tantangan dari sahabatnya, untuk menulis nasib para istri-istri tertuduh kasus terorisme dalam perspektif kaum perempuan.
Dari pernyataan singkat sahabatnya tersebut, anak keempat dari tujuh bersaudara pasangan suami-istri Abdul Khaliq dan Misnawati ini kemudian tergerak untuk memenuhi permintaan dari kawan lamanya.
Pada awalnya, novelis yang merupakan Alumnus Pondok Pesantren Putri Modern Persis, Bangil, Pasuruan, Jawa Timur itu sempat ragu karena dirinya merasa tidak menguasai persoalan dan isu tentang terorisme, khususnya yang terjadi di Indonesia.
“Jika diprosentasekan, pada saat itu, saya baru mengetahui masalah yang berkecamuk seputar isu tersebut, sekitar 10 persen saja, tidak lebih”, aku penulis Novel Perempuan berkalung Sorban ini.
Lantas, novelis yang kini tinggal di Kota Budaya, Yogyakarta ini melakukan penelitian pustaka terkait dengan kasus terorisme.
Abidah menyelesaikan tulisannya, dia memutuskan untuk melakukan penelitian lapangan ke daerah Poso, Sulawesi Tengah.
Di antara hasil penelitiannya ini, ia mendapatkan kenyataan, bahwa ternyata para terduga kasus terorisme, secara umum dari segi fisiknya, tidaklah pantas untuk disebut atau dicap teroris.
“Kebanyakan dari mereka memiliki perawakan tubuh kecil, penampilannya sederhana dan sikapnya pun santun. Yang pantas dianggap teroris adalah Densus 88, yang memiliki badan besar, bicaranya keras, sikapnya kasar dan terlihat sangar. Pun, demikian halnya dengan para istri mereka. Mereka adalah perempuan santun, lembut dan sangat baik hati. Sungguh amat sangat salah jika masyarakat mengecam dan mengejek. (azmuttaqin/arrahmah.com)