IDLIB (Arrahmah.id) — Ketegangan warga pasca kasus penembakan Fatima al Hamid oleh anggota kelompok perlawanan Suriah Hai’ah Tahrir Syam (HTS) Afrin ke Idlib dimanfaatkan kelompok Hizbut Tahrir untuk meningkatkan pengaruhnya di wilayah itu. Sejumlah tokoh yang semula pro pada HTS atau mereka yang sebelumnya tidak memihak, akhirnya menyatakan berlawanan dengan HTS.
Menanggapi adanya gejolak perlawanan yang semakin massif, dilansir Al Monitor (25/2/2022), HTS memobilisasi pasukannya dan mengintensifkan pos-pos pemeriksaan sementara di daerah kerap melakukan unjuk rasa.
Menanggapi kasus penembakan Fatima yang mencoba menyelundupkan bahan bakar dari Afrin ke Idlib, HTS menegaskan bahwa pihaknya telah melakukan penangkapan terhadap anggotanya dan berkeinginan untuk menerapkan hukum Syariah dalam kasus tersebut.
Sumber yang dekat dengan HTS mengatakan kepada Al Monitor dengan syarat anonim, “Kesalahan mungkin terjadi di lapangan. Ini tidak boleh terjadi lagi. Anggota yang menembak wanita itu ditangkap. Namun, beberapa pihak memanfaatkan peristiwa ini.”
Sumber itu menambahkan bahawa Hizbut Tahrir sedang mencoba untuk memicu ketidaksukaan warga dengan menciptakan berbagai aksi protes dan sejumlah propaganda lainnya.
Menanggapi hal itu, HTS kemudian melanjutkan kampanye penangkapannya yang menargetkan kaum Salafi yang memicu dan mendukung protes anti-HTS serta terhadap tokoh dan pemimpin Hizbut Tahrir di Killi, barat laut Idlib.
Orabi Abdul Hai Orabi, seorang peneliti di Pusat Studi Jusoor, mengatakan kepada Al Monitor, “Meningkatnya aktivitas Hizbut Tahrir di Idlib mengkhawatirkan HTS, karena (Hizbut Tahrir) memiliki pengaruh populer yang cukup besar. Hizbut Tahrir baru-baru ini memikat beberapa tokoh kunci Salafi yang dulunya setia kepada HTS atau setidaknya tidak memihak untuk mengambil sikap berlawanan terhadapnya.”
Dia menambahkan, “Hizbut Tahrir sedang mencoba untuk mempertahankan momentum protes dan bertujuan untuk memperluas basis populer setianya sendiri di semua wilayah Idlib. Saat ini mereka memfokuskan aktivitasnya di kamp-kamp Atmeh, yang gagal dikendalikan oleh HTS. Daerah itu berisi ratusan ribu pengungsi, tersebar di kamp-kamp yang sangat besar. Ini adalah tempat yang aman dan pusat aktivitas Hizbut Tahrir.”
Sebagai bagian dari upaya untuk mendapatkan popularitas lebih, Hizbut Tahrir mencoba menyerang HTS menggunakan insiden penembakan Fatimah.
Salah satu anggota Hizbut Tahrir, Mustafa al Qasir, mengatakan kepada Al Monitor, “Pembunuhan Fatima al Hamid tidak akan menjadi kejahatan terakhir jika orang-orang tetap bungkam tentang ketidakadilan. Kami membela kemarahan dan pemberontakan rakyat yang menderita.”
“Pada saat yang sama, kami melihat upaya serius (di antara penduduk setempat) untuk mengambil kembali kekuasaan dari HTS. Ini akan menghidupkan kembali revolusi dan mengembalikannya ke jalur yang benar,” tambah Qasir.
Qasir menambahkan bahwa kebijakan tangan besi HTS seperti pengenaan pajak yang tinggi untuk komoditas dasar seperti bahan bakar, listrik, dan persediaan makanan, justru akan menggerogoti kekuasan HTS sendiri karena rakyat frustasi.
Ahmed Mazhar Saado, seorang jurnalis independen dari Idlib, berpendapat bahwa HTS berusaha merebut dan mengendalikan seluruh wilayah Idlib tanpa membiarkan organisasi lain mengekang pengaruhnya.
Dia mengatakan kepada Al Monitor, “HTS ingin memiliki keputusan akhir dalam negosiasi dengan pihak internasional. Sejauh ini, HTS mampu mempertahankan kendali di wilayahnya sendiri.”
Sementara itu, Fadel Abdul Ghani, direktur Jaringan Suriah untuk Hak Asasi Manusia, mengatakan kepada Al Monitor, “HTS melakukan pelanggaran terhadap warga sipil, membuat mereka rentan terhadap eksploitasi oleh pihak Salafi lainnya.” (hanoum/arrahmah.id)