COLUMBIA (Arrahmah.id) — Gelombang aksi unjuk rasa mahasiswa memprotes kekejaman Israel terhadap rakyat Palestina di Gaza merebak di seantero kampus terkemuka di Amerika Serikat (AS).
Mahasiswa menyatakan tidak akan kembali ke rumah mereka sebelum Israel mundur dari Gaza.
Dilansir ABC News (27/4/2024), gelombang protes semakin memanas setelah aksi represif aparat kepolisian terhadap para mahasiswa pengunjuk rasa di Universitas Columbia dua pekan lalu.
Pada Rabu dini hari 17 April 2024, sekelompok mahasiswa menggelar tenda di Universitas Columbia. Mereka memprotes aksi militer Israel di Gaza dan menyerukan kampus mereka untuk menghentikan segala urusan bisnis dengan perusahaan-perusahaan yang mendukung genosida di Gaza.
Saat itu, Presiden Universitas Columbia, Minouche Shafik, tengah menuju Capitol Hill untuk menghadapi pertanyaan dewan rakyat AS akan antisemitisme di kampus dan bagaimana menghadapinya.
Selama empat jam dicecar di Gedung Capitol, Shafik membela diri dan menyebut para mahasiswa yang menggelar aksi protes telah mengganggu dan mengintimidasi lingkungan rekan-rekan mereka.
Shafik menambahkan, para mahasiswa sudah memahami pesan bahwa pelanggaran terhadap kebijakan kampus akan berujung pada konsekuensi.
Esok sorenya, Shafik sang Presiden Universitas Columbia mengambil keputusan yang akan memicu meluasnya aksi protes di seantero kampus di seluruh AS: memanggil aparat kepolisian NYPD masuk kampus demi menghalau demo mahasiswa.
Sontak, aparat berseragam dengan perlengkapan anti huru-hara dari departemen kepolisian terbesar di AS itu pun menyerbu masuk kampus, menangkapi lebih dari 100 mahasiswa.
Ini kali pertama penangkapan massal terjadi di kampus Columbia sejak aksi protes Perang Vietnam digelar lebih dari lima dekade silam.
“Ini sungguh mengejutkan buat kami semua,” ujar Rashida Mustafa, seorang mahasiswa doktoral di Columbia. “Saya tak percaya. Tapi ini terasa seperti panggilan untuk beraksi.”
Api kemarahan pun segera berkobar di dada para mahasiswa, tak cuma di kampus Columbia belaka.
Esok harinya, kamp protes lain didirikan di halaman yang lain, yang hanya berjarak beberapa meter dari kamp protes sebelumnya.
Sehari kemudian, kamp protes lainnya berdiri di Universitas Yale, institusi pendidikan elite lainnya di Connecticut, AS.
Dan pada pertengahan pekan ini, aksi demonstrasi pun digelar di puluhan kampus di seluruh AS.
Mahasiswa di Columbia telah memicu aksi protes nasional ini.
Di Yale, polisi menangkap hampir 50 mahasiswa yang menolak meninggalkan lokasi protes.
“Menyaksikan kekuatan militer, yang dipanggil oleh Yale untuk masuk ke kampus, (sungguh pesan yang) sangat menggelegar,” ujar Chisato Kimura, seorang mahasiswa hukum di universitas di New Haven, Connecticut itu. “(Padahal) kami berunjuk rasa dengan damai.”
Di Universitas Texas di Austin, polisi negara bagian yang sebagian berkuda, menghentikan aksi demonstrasi ratusan mahasiswa di halaman universitas. Di Universitas Emory di Atlanta, seorang professor perempuan bahkan ditangkap dengan cara layaknya polisi menghadapi penjahat: ia dijatuhkan ke tanah, lalu diborgol. Rekaman video aksi barbar polisi ini viral di media sosial pada Kamis lalu.
Bagi sejumlah pengamat, gelombang aksi protes mahasiswa AS ini mengingatkan akan aksi serupa di tahun 1960-an, saat para mahasiswa berdemo mengecam keterlibatan AS dalam Perang Vietnam.
Marianne Hirsch, seorang profesor Columbia yang turut berpartisipasi dalam aksi protes di tahun 1960-an, menyebut, “Situasi di Gaza yang serupa dengan Perang Vietnam seharusnya menghentikan segala urusan bisnis negara seperti biasanya.”
Ahmad Hasan, seorang lulusan kampus Carolina yang turut berpartisipasi dalam aksi unjuk rasa, meyakini aksi para mahasiswa akan berdampak lebih luas terhadap perilaku dan kebijakan AS.
“Inilah fungsi mahasiswa sesungguhnya: mengatakan pada orang-orang bahwa (perang Israel di Gaza) ini tidak benar,” ujarnya, “bahwa kami tidak mendukung ini.” (hanoum/arrahmah.id)