BANGUI (Arrahmah.com) – Pasukan penjaga perdamaian bersenjata berat Afrika dan Perancis mengawal beberapa Muslim yang tersisa dari ibukota Republik Afrika Tengah, Minggu (27/4/2014). Truk-truk berpenumpang lebih dari 1.300 orang telah terperangkap berbulan-bulan di lingkungan yang dikuasai militan Kristen biadab.
Beberapa menit sebelum keberangkatan konvoi, orang-orang Kristen dengan beringas menyerbu masjid yang ditinggalkan. Dengan senjata dan penuh kemarahan, mereka melucuti semua perangkat elektronik yang tersisa di masjid. Loudspeaker dan mic yang biasa digunakan untuk adzan, juga kipas angin di langit-langit turut dibongkar.
Satu orang dengan cepat menuliskan “Youth Center” dengan spidol hitam di bagian depan masjid. Lainnya mengejek dengan anarkis sembari menyapukan kotoran dari tanah di depan gedung dan berteriak “Kami telah membersihkan Republik Afrika Tengah dari kaum muslimin!”
“Kami tidak ingin ummat Islam di sini dan kami tidak ingin Masjid mereka di sini lagi,” kata Guy Richard (36), yang bekerja sebagai kuli muat truk. Dia dan teman-temannya mengutuk-ngutuk sambil memanggul barang-barang lain dari masjid.
Penjaga perdamaian bersenjata Kongo hanya berdiri menonton tanpa tembakan peringatan ke udara atau sekadar mencoba menghentikan penjarahan. Sekelompok pencuri dengan cekatan segera menggasak atap logam dari tempat-tempat bisnis Muslim di dekatnya, yang ditinggalkan di lingkungan PK12Bangui. “Menjarah! Menjarah!” teriak anak-anak sambil membantu para Kristen “barbar” mengisi keranjang dengan kayu dan rongsokan logam.
” Republik Afrika Tengah sudah gila, orang Kristen merampok tempat suci,” kata Sersan Pety-Pety penjaga perdamaian Kongo, yang menolak untuk memberikan nama depannya, saat menyaksikan Masjid diserang militan yang dikenal sebagai anti-Balaka yang mengenakan wig dan topi dengan tanduk hewan sebagai dresscode resmi mereka.
Gerilyawan kristen biadab berbaris di jalan-jalan dan menyerang truk-truk yang melintas. Saat seorang pria jatuh dari kendaraan terbuka yang ditumpanginya, segera mereka memukulinya sampai mati.
Kekerasan terhadap ummat Islam telah menarik perhatian internasional, mendorong blok terbesar di dunia, OKI, untuk mengirim 14 delegasi misi pencari fakta ke Republik Afrika Tengah mulai Selasa (22/4). “OKI mengatakan delegasi akan berada di ibukota, Bangui , selama tiga hari. Para delegasi diharapkan untuk bertemu dengan Presiden Republik Afrika Tengah Catherine Samba – Panza, perdana menteri dan menteri luar negeri, serta dengan para pemimpin agama Islam dan Kristen,” kelompok itu mengatakan pada Minggu (27/4) dalam sebuah pernyataan kepada The Associated Press.
Memulai hidup baru
Dalam upaya untuk menghindari kekacauan, konvoi hari Minggu (27/4) telah dijadwalkan untuk berangkat saat fajar, tidak lama setelah pengungsi pria sholat di masjid untuk terakhir kalinya, saat petir menyala di langit gelap.
Butuh waktu berjam-jam, untuk para keluarga memuat barang-barang mereka, mulai dari kempis plastik, sampai piring dan kursi. Mereka akan memulai kehidupan baru di sebuah kota yang tidak dikenal. Banyak pengungsi yang mengatakan bahwa mereka membawa sesuatu yang berharga agar bisa dijual di sana untuk mendapatkan uang.
Tonga Djobo (75), dalam balutan gamis panjang, peci dan sepatu ortopedi, menopang dirinya dengan tongkat yang juga merangkap sebagai alat penggiring ternak mengatakan “pertama kali datang ke Republik Afrika Tengah 47 tahun yang lalu dari negara tetangga Chad.” Hari ini akan menjadi hari terakhir hidupnya di Bangui, mengangkat tinju gembiranya ke udara. Sementara itu, istri dan keluarganya mengangkut barang dagangan mereka, semua dibungkus dalam kain batik terang ke truk yang menunggu mereka untuk naik.
Dengan giginya berlapis irisan kacang cola, gembala sapi tua itu mengatakan ia telah mencoba untuk naik kapal konvoi sebelumnya tapi tidak kebagian tempat .
“Saya pergi dengan berat hati tapi kami telah dikejar dari sini,” katanya. “Saya telah melihat hal-hal yang lebih kejam dari binatang beberapa bulan terakhir ini. Bahkan bayi yang belum lahir dipotong dari rahim ibunya yang sudah meninggal itu. Pejuang milisi Kristen ini barbar.”
Setiap keluarga ditempatkan sesuai dengan nomor truk dan mengantri sambil nama mereka dipanggil dari daftar. Satu demi satu, keluarga memanjat tangga kayu ke dalam truk-truk angkutan udara terbuka di mana mereka duduk di atas barang-barang mereka. Beberapa orang duduk paling dekat dengan tepi dan menyiapkan busur dan anak panah untuk pertahanan diri, sementara yang lain mengenakan sarung dengan parang tergantung di punggung mereka.
Adama Djilda (45) mengatakan anaknya yang baru 7 bulan bernama Zakariah kini menghabiskan lebih dari separuh hidupnya terjebak di dalam lingkungan PK12. Saat ia menyusuinya Minggu pagi sambil menunggu truk untuk naik, dia bilang dia tidak peduli ke kota mana penjaga perdamaian membawanya, asalkan dia keluar dari Bangui.
Empat bulan lalu, katanya, para milisi dzolim Kristen menembak mati suaminya ketika ia sedang bertani di ladangnya, meninggalkannya sebagai seorang janda dan ibu dari tujuh anak. Selama berbulan-bulan sekarang keluarga telah tidur dengan gelisah dalam ketakutan akanserangan granat di lingkungannya.
Sambil bersiap untuk mendapatkan sebuah truk, dia berkata “Hanya Allah yang tahu berapa banyak dari kami yang telah menderita di sini.” (adibahasan/arrahmah.com)