JAKARTA (Arrahmah.com) – Aksi Bela Islam III pada 2 Desember 2016 atau disebut aksi 212 ditujukan untuk menuntut kepolisian menahan tersangka kasus penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Aksi super damai ini dipastikan tidak akan ditunggangi kepentingan politik manapun, sehingga bukan upaya makar terhadap pemerintah.
Sekum FPI Munarman, mengatakan, aksi ditujukan hanya meminta kepolisian menahan tersangka kasus penistaan agama Ahok.
“Kami menuntut penegakan dan keadilan hukum, tidak ada niat atau motif lain. Kami juga memastikan aksi ini tidak akan ditunggangi kepentingan politik manapun,” papar Munarman
Sebelumnya, Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu mengatakan belum menerima laporan adanya upaya makar di balik rencana unjuk rasa 212 yang dikaitkan dengan dugaan penistaan agama yang disangkakan kepada Gubernur DKI nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
“Saya tidak dengar itu (makar) ya. Intelijen saya tidak dengar itu. Kita kalau ngomong yang pasti benar, jangan sampai yang kata orang, fitnah nanti kan,” kata Menhan Ryamizard di Kantor Kemenhan, Jakarta.
Mengutip Harian Terbit., para pengamat menyayangkan pernyataan Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang menyebut ada dugaan upaya makar pada aksi bela Islam jilid III tersebut.
Para pengamat dan aktivis juga sepakat aksi 212 bukan makar, melainkan menuntut Ahok untuk ditahan. “Kalau ada yang sebut itu makar, itu bentuk ketakutan berlebihan yang diperlihatkan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi),” kata pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Zaki Mubarak, P.hd kepada Harian Terbit, Kamis (24/11/2016).
Zaki menuturkan, pemerintah harus melihat aksi demontrasi atau mengekspresikan suaranya untuk penegakan hukum adalah hal yang lumrah di era demokrasi. Oleh karenanya ia tidak melihat aksi 212 tidak ada indikasi makar. Aksi 212 sebaiknya dibiarkan saja sejauh berjalan tertib dan tidak mengganggu kepentingan publik.
Sementara itu pengamat intelijen dari Institute For Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi mengatakan, dalam menghadapi aksi 212, Polri mestinya bisa menempuh jalan yang tidak menimbulkan kegaduhan.
“Selain itu, sebagai penegak hukum Polri juga mestinya tak perlu main ancam lagi. Jika memang patut diduga ada pelanggaran hukum, ya tegakkan aturan,” tegasnya.
Di sisi lain, sambung Khairul, pihaknya juga merasa agak kurang nyaman dengan pernyataan-pernyataan sejumlah pejabat yang menegasi pernyataan Kapolri. Mulai dari Wakapolri, Panglima TNI, sampai Menhan angkat bicara menepis adanya potensi makar.
“Saya kira itu sangat tidak elok disuguhkan ke publik. Bagaimanapun Kapolri adalah bagian tak terpisahkan dari pemerintahan. Jikapun dirasa pernyataannya keliru, tidak semestinya yang lain mengumbar pernyataan korektif ke publik. Tentu itu menimbulkan ketidakpastian,” paparnya.
Terpisah, mantan anggota DPR Djoko Edi mengatakan, ucapan makar, dilaunching oleh Kapolri. Akibatnya pasar internasional goyang.
“Tito harus belajar banyak. Akhirnya menikam diri sendiri. Yang makar tak ditemukan, tak ada. Internasional malah pasang kuda-kuda. Pasar terdeppresi. Investor profit taking, dan menunggu episode makar. Ia bikin blunder sendiri,” Djoko Edi
(azm/arrahmah.com)