JAKARTA (Arrahmah.com) – Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar (AKIM), yang terdiri dari 11 lembaga swadaya masyarakat, mengaku pihaknya telah mendeteksi temuan banyaknya bayi Rohingya yang lahir di Kamp Pengungsian Bangladesh sejak akhir Agustus hingga November.
Menanggapi hal ini, AKIM berniat untuk membangun fasilitas persalinan di kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh.
Oleh karena itu, AKIM meminta Bangladesh memberikan keleluasaan visa bagi lembaga kemanusiaan yang ingin membantu.
“AKIM sudah memiliki rencana bertemu dengan Kedutaan Besar Bangladesh untuk meminta jalan keluar terbaik,” ujar Ketua AKIM Ali Yusuf kepada Anadolu Agency, Rabu (30/5/2018) di Jakarta.
Ali mengaku lembaganya selama ini tidak bisa berbuat banyak karena akses kemanusiaan ke kamp pengungsian Cox’s Bazar kini tidak mudah.
Menurut Ali, Bangladesh kini menerapkan kebijakan visa “N” bagi lembaga kemanusiaan yang hendak berangkat.
Visa tersebut akan keluar melalui calling visa dari mitra lembaga kemanusiaan lokal yang ditetapkan pemerintah Bangladesh.
“Di samping calling visa, yang juga disetujui paling banyak dua [orang] sekali berangkat,” jelas Ali.
Ali juga mengungkapkan, lembaganya terus rutin mengirim relawan medis ke kamp pengungsian Cox’s Bazar.
Ali mengakui persoalan tenaga medis menjadi masalah utama di kamp pengungsian.
Untuk mengatasi persoalan itu, Ali mengusulkan agar WHO melakukan pelatihan kepada para bidan, masyarakat lokal, atau bahkan dari kalangan pengungsi sendiri.
“Namun ya lagi-lagi tidak ada fasilitasnya, sehingga jika ada masalah, kesulitan,” kata Ali.
Sementara itu, lembaga Aksi Cepat Tanggap (ACT) mengungkapkan adanya persoalan dalam penanganan persalinan, khususnya tenaga medis spesialis kebidanan dan fasilitas medis yang tidak memadai.
ACT, yang sudah berkiprah tujuh tahun dalam menangani pengungsi Rohingya, sebenarnya sudah memiliki layanan kesehatan gratis di kamp pengungsian Cox’s Bazar. Namun, klinik ACT masih menangani keluhan kesehatan umum saja.
“Ada sesekali pasien pengungsi dalam kondisi hamil ke klinik kami,” tutur Direktur Global Humanity Response (GHR) ACT, Bambang Triyono.
Bambang meminta ASEAN dan OKI bisa menyelesaikan persoalan ini, alih-alih sekedar berwacana dan beretorika.
“Kekuatan NGO-NGO non-PBB tentu terbatas, jadi perlu gerakan dunia,” jelas Bambang yang belum lama pulang dari kamp pengungsian ini.
Menurut Bambang, tenaga medis persalinan yang paling dibutuhkan di kamp pengungsian. Sebab, banyak kasus terjadi saat persalinan ditangani tenaga non medis dengan peralatan seadanya.
“Higienitas dalam kasus dan situasi pengungsi ini jadi masalah krusial. Kondisi mereka sebagai pengungsi, yang dari segi kesehatan saja tidak baik bisa jadi masalah sendiri,” jelas Bambang.
(ameera/arrahmah.com)