CHICAGO (Arrahmah.com) – Bagi satu-satunya Pusat Budaya Rohingya di Chicago, Ramadhan bukan hanya sekedar waktu untuk meningkatkan ibadah, namun bulan Ramadhan menjadi waktu untuk mengumpulkan dana bagi para pengungsi Rohingya yang ada di kota tersebut.
Setiap tahun, Pusat Budaya tersebut menggelar acara buka bersama dan menggalang dana melalui masjid-masjid lokal untuk mendukung program yang disediakan bagi para pengungsi Rohingya di kota itu yang telah menetap di sini.
Sekitar 12 persen biaya program-program pusat, sewa tempat, dan pengadaan makanan berasal dari sumbangan yang diberikan selama bulan Ramadhan, ungkap salah seorang karyawan sebagaimana dilansir Al Jazeera pada Selasa (12/5/2020).
Tapi tahun ini, lockdown akibat coronavirus menyebabkan masjid-masjid ditutup. Keluarga-keluarga yang pernah menghadiri acara buka bersama di pusat kota, kini berbuka di rumah mereka. Sehingga Pusat Kebudayaan Rohingya tidak dapat mengadakan penggalangan dana Ramadhan, menyebabkan masa depan pusat kebudayaan tetap tidak pasti, di saat masyarakat membutuhkan layanannya lebih dari sebelumnya.
Pusat ini dirintis pada tahun 2016 oleh Nasir Zakaria, seorang lelaki Rohingya yang berasal dari Myanmar, yang tiba di Chicago bersama istri dan bayinya. Zakaria melarikan diri dari Myanmar, tempat minoritas Rohingya di negara itu telah dianiaya selama beberapa dekade, pada tahun 1991, sebelum menghabiskan sekitar 20 tahun bekerja di berbagai pekerjaan di Bangladesh, Thailand dan Malaysia sebelum datang ke Amerika Serikat. Pada 2016, ia membuka Pusat Budaya Rohingya.
Pusat ini telah melayani ratusan pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari penganiayaan anti-Muslim di Myanmar, di mana mereka adalah salah satu demografi yang paling tertindas di dunia. Di Chicago, tempat sekitar 1.600 pengungsi Rohingya bermukim kembali, mereka bergantung pada pusat budaya untuk mendapatkan kewarganegaraan dan kelas bahasa Inggris, studi Al-Quran, dan pelatihan kerja dan penempatan.
“Kami hanya memiliki anggaran untuk dua, atau mungkin tiga bulan ke depan,” kata Zakaria.
“Saya sangat khawatir tentang pusat itu.” Dia menambahkan bahwa mereka harus membatalkan kelas Bahasa Inggris sebagai Bahasa Kedua (ESL) dan kewarganegaraan karena mereka tidak dapat membayar guru. (rafa/arrahmah.com)