(Arrahmah.com) – Tatanan global saat ini didominasi oleh sistem negara bangsa (nationstate). Kemunculan negara-bangsa dimulai setelah berakhirnya Perang Tiga Puluh Tahun di Eropa 1618-1648, perang yang dilatarbelakangi oleh gejolak antara penguasa politik lokal dengan otoritas gereja.
Ditandatangani pada tahun 1648, Perjanjian Westphalia tidak hanya mengakhiri 30 tahun perang di Eropa, namun juga menciptakan sistem negara modern. Westphalia menetapkan batas teritorial tetap setiap negara dan menetapkan gagasan bahwa rakyat harus tunduk pada undang-undang dan tindakan pemerintah masing-masing. Sebaliknya, hal itu juga menciptakan gagasan bahwa pemerintah berdaulat untuk memerintah rakyatnya karena dipandang perlu.
Selama tiga setengah abad terakhir, prinsip dan praktik Perjanjian Westphalia secara bertahap disebarkan oleh Eropa ke belahan dunia yang lain, melalui kolonialisme yang mereka lakukan.
Negara bangsa memberikan pengaruh yang sangat dramatis terhadap bagaimana kita menjalani hidup. Ia membentuk cara kita mengidentifikasi diri. Bahwa kita Amerika, Rusia, China, Arab Saudi, atau Indonesia. Negara bangsa harus memiliki kultur bersama, yang diciptakan melalui kesamaan bahasa, sejarah, dan pendidikan. Untuk membangun kultur nasional bersama, biasanya dilakukan dengan secara selektif memilih momen sejarah yang dianggap bisa menyatukan seluruh rakyat. Mereka juga mengendalikan bahasa, pendidikan, dan hari besar, untuk memastikan bahwa seluruh rakyat merayakan kultur nasional yang sama. Kadang, semua itu dilakukan dengan cara pemaksaan melalui kekerasan terhadap orang-orang yang tidak mau bekerjasama. Pemerintah tahu, bahwa tanpa kultur nasional bersama, negara bangsa tidak memiliki kekuasaan riil dan mereka bisa jatuh kembali dalam peperangan dan chaos.
Tatanan dunia negara bangsa saat ini mungkin tampak sebagai keadaan alami yang telah ada selama berabad-abad, meski kenyataan berkata lain. Usia mereka banyak yang tidak lebih dari 100 tahun. Banyak negara-bangsa yang kita lihat di peta saat ini adalah kreasi politik yang perbatasannya digambar secara sewenang-wenang, dengan mengabaikan perbedaan budaya, etnis, politik, agama, dan sosial yang telah ada di antara masyarakat setempat.
Dampaknya, banyak terjadi ketidaksesuaian antara masyarakat dunia dan perbatasan negara bangsa yang dibatasi oleh peta saat ini. Partisi ini adalah sebuah garis batas yang hakikatnya dibuat berdasarkan identitas penjajah, bukan berdasarkan identitas asli penduduk yang berada dalam garis tersebut. Hal ini meninggalkan gejolak, karena berbagai kelompok dipaksa mengidentikkan diri dengan identitas yang tidak sesuai dengan diri mereka.
Perpindahan menuju sistem politik internasional yang dibangun dengan basis negara bangsa sebagai entitas politik utama muncul melalui pergeseran yang lama dan berdarah-darah yang sampai sekarang masih terjadi di banyak wilayah di dunia. Kita hanya perlu baca koran atau media online hari ini untuk melihat bahwa “konflik tentang apa itu sebuah bangsa dan siapa yang masuk di dalamnya” sampai sekarang masih terjadi.
Negara bangsa lahir tidak lepas dari sekulerisme, saat tujuan materiil lebih diutamakan dibanding moralitas.
Negara bangsa adalah ide imajiner yang sebagian besar manusia di dunia sepakat atasnya. Fakta bahwa garis imajiner yang dibentuk beberapa ratus tahun yang lalu mendefinisikan identitas manusia hari ini dan membedakannya dengan manusia lain yang tinggal di wilayah lain di luar garis imajiner tersebut merupakan hal yang bisa dianggap aneh.
Sebagai sebuah komunitas artifisial, kelangsungan negara bangsa kini mulai mendapatkan banyak tantangan, mulai dari pengaruh globalisasi, identitas yang belum mengakar, terutama di dunia Islam, hingga ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah global hari ini, seperti pengungsi.
K. Mustarom, Executive Summary Laporan Lembaga Kajian Syamina Edisi 10/Agustus 2017
(*/arrahmah.com)