RIYADH (Arrahmah.id) – Seorang profesor hukum terkemuka Arab Saudi, Awad Al Qarni telah dijatuhi hukuman mati karena penggunaan media sosial. Ulama pro-reformasi itu dituduh menggunakan platform seperti Twitter, Facebook, WhatsApp, dan Telegram untuk menyebarkan berita anti-pemerintah, lapor The Guardian (15/1/2023).
Pria berusia 65 tahun itu ditangkap pada September 2017 ketika Putra Mahkota Mohammed Bin Salman (MBS) yang baru diangkat mengawasi tindakan keras terhadap perbedaan pendapat. Sebelum ditangkap, Qarni memiliki 2 juta pengikut di Twitter.
Putra Qarni, Nasser yang melarikan diri dari kerajaan tahun lalu dan tinggal di Inggris di mana dia mencari suaka telah membagikan rincian tuduhan ayahnya kepada surat kabar tersebut. Pada Oktober, dia menggambarkan keadaan kekerasan seputar penangkapan ayahnya oleh polisi bersenjata berpakaian sipil.
“Lebih dari 100 orang bersenjata senapan mesin dan pistol. Mereka mengepung rumah. Kami dicegah masuk ke rumah secara paksa,” katanya. “Itu seperti medan perang.”
من هم الذين داهموا منزلنا يوم الاعتقال؟
و كيف اقتحموا البيت على والدي وأهلي؟
عن ماذا كان يبحثون في داخل المنزل؟
أنا وأخي .. أين كنا؟!
هنا أروي لكم القصة كاملة لما حدث لوالدي الدكتور عوض القرني في تلك الليلة pic.twitter.com/FInKPzZa7P— ناصر بن عوض القرني (@NasserAwadQ) October 5, 2022
Tuduhan terhadap Qarni termasuk penggunaan media sosial, khususnya akun Twitter atas namanya sendiri, untuk mengungkapkan pendapatnya. Dia juga dituduh berpartisipasi dalam obrolan grup WhatsApp dan membuat akun Telegram, serta memuji Ikhwanul Muslimin dalam video. Perlu dicatat bahwa dia menghadapi hukuman mati untuk tuduhan ini.
Dokumen pengadilan yang dibagikan Nasser juga menunjukkan bahwa kriminalisasi penggunaan media sosial meningkat sejak MBS menjadi penguasa de facto.
Tahun lalu Salma Al-Shehab, seorang mahasiswa PhD dan ibu dua anak dari Leeds, dijatuhi hukuman 34 tahun penjara karena memiliki akun Twitter dan mengikuti serta me-retweet pembangkang dan aktivis. Wanita lain, Noura Al-Qahtani, dijatuhi hukuman 45 tahun penjara karena menggunakan Twitter.
Jeed Basyouni, kepala advokasi Timur Tengah dan Afrika Utara di kelompok hak asasi manusia, Reprieve, mengatakan kasus Qarni adalah bagian dari tren di mana para cendekiawan dan akademisi menghadapi hukuman mati karena men-tweet dan mengekspresikan pandangan mereka. (haninmazaya/arrahmah.id)