Israel-Academia Monitor merilis hasil penelitian terbarunya mengenai sikap kalangan akademisi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah Israel atas Palestina. Menurut hasil penelitian itu, sekitar 20 sampai 25 persen akademisi yang mengajar bidang ilmu sosial dan kemanusiaan di universitas-universitas Israel bersikap anti-Zionis, bahkan dalam level yang sangat ekstrim.
Disebutkan dalam laporan tersebut, kalangan akademisi Israel kerap melontarkan kritikan dan mengajak para mahasiswanya maupun para tentara Zionis untuk menolak kebijakan kejam pemerintah Israel terhadap rakyat Palestina. Mereka juga kerap ikut melakukan aksi protes dan mensponsori petisi-petisi yang berisi seruan agar tentara-tentara Israel menolak ditugaskan di wilayah pendudukan Israel di Tepi Barat.
Masih menurut hasil studi itu, banyak akademisi Israel yang menyamakan kebijakan serta tindakan Israel terhadap rakyat Palestina, dengan kebijakan dan tindakan rezim NAZI dalam Perang Dunia II. Di luar negeri, para akademisi Israel ini juga konsisten mengecam Israel.
“Mereka sangat aktif mendorong organisasi-organisasi akademis di luar negeri untuk memboikot universitas-universitas dan akademisi Israel, ” tulis laporan itu.
Israel-Academia Monitor memang bergerak dalam memantau dan mendokumentasikan apa yang mereka sebut sebagai perilaku anti-Israel dan anti-Semit di kalangan akademisi dan staff senior di universitas-universitas Israel. Lembaga itu menyebut para akademisi ini sebagai orang “radikal yang berkolaborasi dengan kelompok anti-Semit di seluruh dunia.”
Surat kabar Yediot Ahronot edisi Senin (21/1) memuat artikel hasil studi tersebut yang menuding Profesor Ban Bar-On dari Universitas Ben Gurion sebagai orang yang menyamakan tindakan Israel terhadap rakyat Palestina dengan Holocaust. Profesor bidang psikologi itu juga dituding telah mempromosikan buku-buku teks yang menyebut para aktivis perlawanan di Palestina dengan sebutan pejuang kebebasan.
Akademisi lainnya yang menurut hasil studi Israel-Academia Monitor membela Palestina adalah Profesor Tamar Yarom dari akademi Seni di Universitas Hebrew. Profesor Yarom dalam dokumentasinya berjudul “Would I Smile?” menuding tentara-tentara Israel telah melakukan kekejaman terhadap rakyat Palestina.
“Saya bertugas di Tepi Barat pada masa Intifada pertama tahun 1987-1988, dan ketika tugas saya selesai, saya bertanya-tanya pada diri saya ‘bagaimana mungkin seorang perempuan seperti saya ikut menindas bangsa lain. Bagaimana seorang perempuan yang terhormat cuma bisa diam saja melihat kekejaman terhadap rakyat Palestina’, ” ujarnya.
Israel memang menerapkan wajib militer bagi warga negaranya. Namun belakangan ini, makin banyak warga negara Israel yang menolak ikut wajib militer atau ditugaskan di wilayah-wilayah Palestina yang diduduki Israel. Pada bulan September 2003, misalnya, sekitar 27 anggota angkatan udara Israel menandatangani surat yang dikirim ke Perdana Menteri Ariel Sharon. Dalam surat itu mereka menyatakan menolak melakukan serangan “ilegal dan tak bermoral” terhadap warga sipil Palestina di Tepi Barat dan Jalur Ghaza.
Sumber: Eramuslim