BEIJING (Arrahmah.com) – Ilham Tohti, Akademisi dan aktivis Muslim Uighur yang selama ini lantang bersuara terkait isu-isu di Uighur yang ditangkap pekan lalu masih belum ada kabar beritanya, para pejabat Beijing belum mengungkapkan di mana ia ditahan.
Tohti, seorang profesor ekonomi yang bekerja untuk Minzu University di Beijing, ditahan Selasa lalu dan keadaannya masih belum diketahui. Pejabat Beijing menanggapi alasan penahanan karena “tersangka melanggar hukum”, sebagaimana dirilis oleh WordBulletin, Jumat (24/1/2014).
Koran harian China, Global Times of China, hanya menerbitkan satu artikel tentang penangkapannya dan mengklaim bahwa “Tohti bukan warga negara biasa”. Pemeritah China mengatakan dia ditangkap terkait dengan Kongres Uighur Dunia dan giat memberikan ceramah terkait dengan isu-isu Uighur.
Tohti yang mengkhususkan diri dalam studi etnis minoritas, pernah mengatakan kepada Reuters bahwa pada bulan November agen keamanan negara telah secara fisik mengancam dia karena berbicara kepada wartawan asing.
Pekan lalu, para aktivis China telah memulai petisi yang menyerukan pembebasan segera cendekiawan Ilham Tohti, seorang aktivis yang selama ini lantang menyuarakan perlakuan keras Beijing terhadap warga Uighur di bagian barat China.
Tohti, yang juga orang Uighur, dibawa polisi dalam penggerebekan di rumahnya pekan lalu. Pihak berwenang belum mengumumkan tuduhan atas penangkapan terhadapnya, walaupun kementerian luar negeri China mengatakan ia dicurigai melakukan kejahatan.
Sementara itu, media pemerintah China telah memuat beberapa tajuk yang mengecam Tohti. Tohti yang berusia 45 tahun itu, seorang dosen ilmu ekonomi di Central University for Nationalities di Beijing, telah ditahan dan sebelumnya diintimidasi beberapa kali karena pandangannya terkait dengan isu di Uighur.
Tohti mengatakan kepada VOA November lalu bahwa polisi berpakaian preman pernah menabrakkan mobilnya, mengambil teleponnya, dan mengancam akan membunuhnya karena komentarnya di media.
Muslim Uighur merupakan etnis minoritas berbahasa Turki yang berjumlah sekitar 8 juta jiwa di wilayah Xinjiang barat laut. Xinjiang, yang para aktivis menyebutnya sebagai Turkistan Timur, telah menjadi otonom sejak tahun 1955, namun terus menjadi target tindakan keras oleh pemerintah China.
Beijing memandang wilayah Xinjiang yang luas sebagai aset yang tak ternilai karena lokasinya yang strategis dekat Asia Tengah dan memiliki cadangan minyak dan gas yang besar. (Ameera/Arrahmah.com)