BANDAR LAMPUNG (Arrahmah.com) – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Bandarlampung menyatakan bahwa Rancangan Undang-undang (RUU) intelijen dapat mengancam kebebasan pers apabila tidak diawasi penggodokannya oleh insan pers sendiri.
“Sangat besar kemungkinannya karena RUU tersebut dapat memberikan kewenangan tidak terbatas kepada intelijen untuk menjalankan fungsi penangkalan dan pengamanan mereka,” kata ketua AJI Bandarlampung, Wakos Reza Gautama, di Bandarlampung, Minggu (12/6/2011).
Wakos mengungkapkan bahwa atas nama antisipasi pengamanan, seorang wartawan bisa saja diculik dan diintimidasi karena memegang data yang dianggap mengancam keamanan negara, sehingga tidak dapat disampaikan ke publik.
“Lihat saja sekarang, wartawan masih bisa dijerat dengan delik pidana, padahal sudah ada UU Kebebasan Pers, apalagi kalau RUU intelijen betul-betul tidak dalam pengawasan, bukan hanya kebebasan pers, namun juga keberlangsungan demokrasi yang terancam,” kata dia.
Menurut Wakos, insan pers, sebagai elemen yang berkepentingan harus bisa mencegah hal tersebut, dengan giat melakukan pengawasan terhadap RUU tersebut.
“Bukan hanya insan pers sebenarnya, namun juga seluruh elemen, seperti LSM, akademisi, dan masyarakat sendiri,” kata dia.
Sebelumnya, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) juga mengharapkan kewenangan intelijen yang saat ini sedang diatur dalam naskah rancangan undang-undang (RUU) harus dibatasi dan tetap berpihak kepada demokrasi dan hak asasi manusia (HAM).
“Intelijen memiliki kewenangan yang tidak terbatas, seperti penangkapan, semestinya dibatasi karena penangkapan merupakan wewenang kepolisian,” kata Koordinator Kontras Hariz Azhar.
Hariz berpendapat bahwa penangkapan seharusnya tetap menjadi kewenangan polisi, dan RUU intelijen tidak perlu memperluas kewenangan lembaga tersebut sehingga menjelma menjadi lembaga super yang rentan disalahgunakan sebagai alat kekuasaan.
“Itu adalah hal yang paling mendasar apabila memang RUU Intelijen bertujuan untuk menjaga kewenangan intelijen dari penyalahgunaan di masa mendatang,” kata dia.
Hal tersebut pada dasarnya tidak hanya berlaku pada insane pers, kepada seluruh masyaraka pun juga demikian. Dengan diberikannya kewenangan intelejen yang seolah tak berbatas tersebut, setiap orang yang ‘diduga’ teroris, ataupun diduga sebagai ‘pemberontak’ negara akan dengan serta merta ditangkapi dan dibungkam tanpa ada hukum dan lembaga yang bisa ‘menekan’ intelejen.
Di era serba ‘terbuka’ seperti sekarang ini, dimana siapapun bisa saja mengungkapkan kritikan terhadap penguasa dan negara bisa ditangkap intelejen. Penulis buku, penulis blog, pemilik situs, siapa saja yang dianggap ‘mengancam’ keutuhan negara ‘langsung dibredel’.
Hal ini akan memicu munculnya lagi ‘rezim orde baru jilid dua’ dimana hanya satu opini dan hanya satu ‘kebenaran’ yang boleh didengar oleh rakyat, yaitu yang bersumber dari penguasa dan negara. Kalau sudah begini, bisa jadi intelejen hanyalah alat politik untuk membangkitkan kembali ‘ruh orde baru’. Wallohua’lam. (ans/rasularasy/arrahmah.com)