(Arrahmah.com) – Pada malam 24 Desember setelah kakak saya menceritakan sebuah kisah dari daerah tetangga kami yang baru saja dihantam oleh US B52 (pesawat tempur) di Qandahar (Kandahar), Saya berhenti di kantor utama NY Post, di 33rd & 8th Avenue, NYC, markas untuk USPS, sebuah program “Operasi Santa Claus”. Saya kembai ke stan berita dan mengambil satu copy New York Times.
Sementara seseorang sedang memegang koran dan berbicara kepada istrinya saat ia sibuk memilih-milih hadiah untuk Hari Natal, tiba-tiba saya mendengar seseorang menghadapnya dan mengatakan, “Ya, kita adalah orang-orang yang lurus dari semua bangsa, kita tidak membombardir rakyat miskin Afghan, tetapi pempimpin mereka yang menuntut kampanye pemboman yang intensif, kita dari grand canyon, hahaha, cheer, dan Natal ini akan sangat berbeda bagi orang Amerika.”
Saya tidak mudah untuk menunjukkan emosi saya, tetapi Saya mendengar kisah satu per satu, dengan air mata mengalir di wajah saya. Inilah sebuah kisah yang Saya pilih dari telepon kakak saya.
Fathimah (6), ia tinggal dengan ayah dan ibunya, dan dengan 2 saudari perempuan dan seorang saudara laki-laki di kota Qandahar, suka bermain dengan kawan-kawan sebayanya di ladang di sekitar rumahnya. Ayahnya bekerja berjam-jam lamanya untuk membeli makanan bagi keluarganya.
Fathimah, di hari ketiga pemboman oleh Amerika di kota Qandahar, mengatakan kepada ayahnya untuk membawanya ke Allah dan ia akan mengatakan kepada-Nya untuk menyingkirkan orang-orang Amerika (penjajah) dari dunia damai ini dan menghancurkan pesawat-pesawat mereka, dan jika ayahnya tidak membawahnya kepada Allah maka ayahnya harus membiarkan ia pergi ke gurun-gurun untuk berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ahmad (11), kakaknya Fathimah, juga meminta mati syahid dan mengatakan untuk membiarkannya meninggalkan rumah untuk memerangi para penjajah ketika mereka mendarat.
Sang ayah tidak mampu menjawab, sehingga akhirnya ia meminta ibunya untuk meyakinkan mereka. “Kamu masih terlalu muda untuk melawan para penjajah kotor itu, Ahmad! Dan kamu harus menunggu hingga kamu dewasa. Usia untuk berperang paling tidak (minimal) 16 tahun,” kata sang ibunda menasehati puteranya itu.
“Dan kamu Fathimah, beritahukan permintaanmu dari Allah (yang ia mohon agar Allah melakukannya, red) kepada ayahmu untuk menulisnya dan kemudian ia akan mengirimnya ke rumah Allah: Ka’bah. Dan tentu saja Allah akan memberikan kemurkaanNya terhadap seluruh orang-orang kafir.”
Akhirnya, mereka berdua merasa puas dan Fathimah segera mengambil selembar kertas dengan pensil yang telah rusak sebagiannya dan memberikannya kepada ayahnya dan mengatakan kepada ayahnya untuk menulis:
“Aku, Fathimah dan semua anak-anak Muslim Afghanistan sedang diserang oleh para penjajah, pesawat-pesawat mereka datang dari negara yang jauh ke tanah kami dan membom kami. Mereka bukan saja musuh bagi negara kami dan hidup kami tetapi juga musuh bagi agamamu, Islam, mereka datang untuk menyingkirkan Imarah Islam dari Afghanistan. Dan lebih dari itu, mereka membunuh anak-anak yang tidak bisa melakukan apapun maupun menyakiti siapapun. Ya Allah-ku! Kirimlah kemurkaanMu yang sangat besar terhadap mereka (para penjajah) dan terhadap seluruh pendukung mereka, baik mereka orang Afghan maupun orang lainnya. Kami membenci Amerika dan para pengikut mereka, bunuhlah mereka semua.”
Setelah menyelesaikan menulis surat itu, ayahnya dan Ahmad pergi ke Masjid untuk melaksanakan shalat Isya’. Dan bom menghantam rumah Fathimah dan semua anggota keluarga, kecuali Ahmad dan ayahnya, syahid. Sang ayah mengatakan bahwa Fathimah membisikkan ke telinganya saat nafas terakhirnya, “Jangan kirimkan suratnya sekarang, aku akan bertemu dengan Allah segera dan aku akan mengatakan semuanya yang kita sedang hadapi di negeri kita.”
Diterjemahkan dan diedit dari Shahamat-english (salah satu situs resmi Mujahidin Imarah Islam Afghanistan)
(siraaj/arrahmah.com)