Oleh : Adil Nugroho (Pengamat Sosial Politik)
(Arrahmah.com) – Tangkap dan Adili Ahok nampaknya menjadi trending topic pasca statement terlontar dari sosok Gubernur DKI Non Muslim yang arogan dan kontroversi itu. Derasnya arus desakan itu direspon penuh semangat dengan segala dalih dan pembelaan oleh para pendukung Ahok. Nusron Wahid adalah di antara sosok yang sangat vokal melakukan pembelaan itu. Seseorang yang namanya mengesankan bagian dari keluarga besar KH Wahid Hasyim itu kelihatan sekali pembelaan membabi butanya. Belakangan terdengar kabar angin pasca acara ILC yang menunjukkan sikapnya melecehkan para ulama, Nusron terlibat makan bersama dengan para cukong. Atas dasar motif apa, dengan latar bagaimana serta skenario politik apa yang diinginkan dari manuver penistaan agama oleh Ahok terhadap QS Al Maidah ayat 51 yang mengguncang keyakinan kaum muslimin se dunia khususnya di Indonesia itu ? Beberapa pertanyaan itu penting diajukan untuk memahami realitas politik seringnya terjadi intrik politik adu domba yang berujung revolusi namun dibelokkan tujuannya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa realitas politik kekinian tingkat lokal dan nasional negeri ini di bawah supra struktur politik perebutan pengaruh kekuatan Amerika dan China. Sementara di sisi lain kekuatan politik nasionalis di negeri ini tidak berdaya menghadapi buaian pragmatism dari kekuatan global timur dan barat. Yakni Asing dan Aseng yang saat ini sedang berkompetisi masif memperebutkan kue lezat Indonesia. Asong adalah representasi penguasa antek penjilat yang siap melayani kepentingan penguasa global penjajah demi kepentingan sesaat-sempit. Dengan mengorbankan kepentingan rakyatnya dan menggadaikan negerinya. Sejak jauh sebelum Jokowi menjadi RI 1 kemudian muncul kepemimpinan DKI oleh Ahok sebagai propinsi jantung pemerintahan RI, nampaknya aroma intervensi China ke Indonesia sebagaimana digambarkan oleh Sri Bintang Pamungkas sebagai ancaman China Tartar mewarnai cengkeraman Amerika yang datang sebelumnya. Konstelasi politik seperti itu ditunjukkan oleh penguasaan perairan Indonesia terutama di kawasan Asia Pasifik oleh China yang diimbangi dengan pengiriman kapal induk AS di perairan tersebut dan intensnya kerjasama intelijen dan militer dalam bentuk latihan militer bersama. Sebuah kondisi di tengah semakin membumbungnya hutang RI, minimnya anggaran TNI, reformasi dan restrukturisasi TNI pasca dihilangkannya Dwi Fungsi ABRI. China menunjukkan capaian yang membahayakan dengan membiayai pembangunan infrastruktur terutama pelabuhan-pelabuhan laut internasional berbasis IT di Indonesia. Dengan isu memperbaiki kinerja “Dwelling Time”yang sangat penting bagi kehidupan pengelolaan pelabuhan laut. Strategi China atas perairan Indonesia ini mirip dengan strategi yang dilakukan oleh para Wali Songo yang menguasai pantai di daerah “Tapal Kuda”. Bukan mustahil dengan melihat performa pengelolaan investasi pelabuhan laut oleh Pelindo saat ini dengan proporsi saham yang ada dan melihat minimnya dana yang dimiliki pemerintah maka privatisasi Pelindo bisa saja terjadi. Jika ini benar adanya maka sesungguhnya pelabuhan laut sebagai aset strategis bangsa ini sepenuhnya di bawah kendali bangsa lain yang menjajah. Sebagaimana dilukiskan oleh Bondan J Setiawan bahwa pelabuhan laut adalah aset bernilai strategis untuk memfasilitasi skenario Rantai Pasokan Global. Yakni sebagai pasokan produk jadi dari luar ke dalam Indonesia melalui outlet-outlet Multi National Corporation yang sudah banyak bercokol di Indonesia berpopulasi 250 juta. Sebaliknya dari dalam ke luar Indonesia sebagai pintu keluar suplai bahan mentah dan bahan tambang yang sangat luar biasa dimiliki bumi Indonesia dengan segala ragam SDA nya yang banyak dikelola oleh korporasi-korporasi global. Skenario seperti yang dijelaskan oleh Bondan tersebut seperti menyibak arti dari masifnya berbagai program besar-besaran membuka peluang investasi bagi para investor mulai dari Jokowi hingga para Bupati. Bahkan dengan UU Desa nanti Kepala Desa/Lurah juga memiliki kans yang sama untuk membuka ruang investasi. Sebuah skenario pengerat-eratan wilayah Indonesia melalui pintu investasi.
Di tengah aksi besar Umat Islam Adili Ahok atas penistaan agama, Jum’at, 14 Oktober 2016, di sisi lain PBNU sebelumnya melalui pemimpinnya KH Said Aqil Siradj berkunjung bersama rombongan pengurus yang lain kepada Panglima TNI. Agenda yang di bahas adalah komitmen sinergi NU sebagai representasi rakyat dengan TNI dalam Bela Negara. Kyai Said menegaskan untuk menumbuhkan Resolusi Jihad sebagai potensi kultur penting dalam Bela Negara. Sedang Panglima menandaskan bahwa terorisme dan radikalisme bukanlah pidana biasa karena mengancam sendi-sendi sosial dan sendi-sendi bernegara. Langkah yang dilakukan oleh PBNU itu melengkapi rangkaian kegiatan sebelumnya dalam bentuk penanda tanganan MOU dengan Polri di Surabaya. Serta sinergi di antara beberapa kementrian dalam konteks penanggulangan terorisme dan radikalisme. Al hasil derasnya pembahasan radikalisme dan terorisme di tengah gencarnya pemerintah membuka kran investasi berbagai negara. Meski disadari pula bahwa pembebasan visa bagi wisman berbagai negara menyisakan persoalan terkait dengan “hidden agenda” atas penyalahgunaan visa wisata menjadi bekerja diduga untuk kepentingan operasi spionase sebagaimana ditemukan di Gresik, Tuban dan Lamongan. Temuan tersebut secara khusus dibahas oleh Kapolda Jatim, Irjen Anton Setiadji dengan Komisi III DPR RI baru-baru ini.
Sikap pembelaan Ahok oleh Nusron di satu sisi dan sikap MUI yang didukung oleh sebagian besar ormas-ormas Islam terhadap Ahok di sisi lain menggambarkan peta perseberangan pemikiran di internal kaum muslimin. Manuver Nusron bukan tanpa perhitungan terutama jika melihat larangan PBNU atas warganya ikut dalam demo Adili Ahok kemarin. Termasuk share video penistaan agama oleh Ahok secara viral di berbagai medsos bukan tanpa sebuah grand design. Di antara diangkatnya Ignatius Jonan dan Archandra Tahar sebagai Menteri ESDM oleh Jokowi yang dicopot sebelumnya. Dan semakin tingginya rating pemberitaan Ahok. Hal ini sesungguhnya menggambarkan sebuah potensi adu domba yang bisa mendorong terjadinya revolusi sosial ditandai dengan konflik horisontal. Meski hal tersebut sulit terealisasi jika proses hukum terhadap Ahok yang lebih berjalan. Apalagi melihat performa penyidikan dan pengadilan hukum di Indonesia “tajam di bawah tumpul ke atas”. Jika benar revolusi sosial yang terjadi, maka mengambil pengalaman beberapa negara, akan mendorong tampilnya TNI sebagai basis kekuatan politik yang lebih solid dan stabil ketimbang kekuatan sipil. Pertanyaannya adalah dimana TNI akan berlabuh ? Di tengah kuatnya pengaruh beberapa jenderal di belakang Megawati, beberapa jenderal di belakang SBY dan beberapa jenderal di belakang Prabowo. Termasuk juga di antara beberapa jenderal di belakang Luhut Binsar Pandjaitan dan Hendropriyono. Kontestasi politik DKI Jakarta yang direpresentasikan oleh Ahok-Agus-Anies selain merepresentasikan berbagai friksi di antara para elit politik tersebut sesungguhnya juga menggambarkan perang pengaruh kepentingan global di negeri ini. Kapan munculnya kesadaran dari para pemilik kekuatan politik negeri ini hingga mampu mengenyahkan segala makar adu domba antar kaum muslimin. Makar upaya memanfaatkan pelecehan dan penistaan agama Islam untuk kepentingan politik tertentu. Berani melakukan perlawanan terhadap arogansi kafir penjajah sebagaimana yang senantiasa diingatkan oleh salah satu ormas islam akan bahaya cengkeraman neo liberalisme dan neo imperialisme. Hingga muncul kesadaran kolektif mulai dari akar rumput hingga para pemegang kekuatan tentang pentingnya Ganti Rezim dan Ganti Sistem dengan Islam yang memuat ajaran Syariah dan Khilafah sebagai solusi tuntas. Semuanya akan sangat ditentukan oleh seberapa ikhlas dan murninya perjuangan umat Islam hingga diturunkannya kelayakan pertolongan Alloh Subhanahu Wa Ta’alla. Allahu a’lam bis shawab.
(*/arrahmah.com)