Oleh Edward Marthens, pekerja sosial, tinggal di Jakarta
(Arrahmah.com) – Dalam budaya Jawa, ada pitutur luhur yang berbunyi sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake. Kalau diterjemahkan secara sederhana, maknanya kurang lebih; kaya tanpa harta, sakti tanpa Ilmu/benda pusaka, menyerang tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan. Sungguh pitutur luhur yang keren!
Sepanjang 2016, paling tidak setelah penistaan al Quran yang dilakukannya di Kepulauan Seribu akhir September silam meledak ke pentas publik, Basuki Tjahaya Purnama adalah sumber kegaduhan yang utama. Bukan cuma itu, mulutnya yang dikenal berlidah api telah menguras sebagian besar energi dan sumber daya negeri ini. Kapolri Tito Karnavian, misalnya, harus pontang-panting, bahkan melabrak konstitusi dan UU untuk menggembosi dan mengancam peserta aksi bela Islam dari daerah seantero negeri. Bahkan Presiden Joko Widodo pun kudu berakrobat ke sana-sini, termasuk dan terutama ke sejumlah pasukan elit TNI dan Polri, hanya untuk menjinakkan situasi yang terus tereskalasi.
Setelah menjadi tersangka dalam kasus penistaan agama, lelaki yang hobi menebar sumpah-serapah ini memang sedikit berubah. Dia tidak lagi mengumbar kata-kata kotor beraroma toilet. Ketika berbicara, tangannya lebih ‘beradab’. Tidak lagi menunjuk-nunjuk muka lawan bicaranya atau menggebrak-gebrak meja. Bahkan, wajahnya yang biasa penuh kemarahan, tiba-tiba saja jadi pucat pasi, misalnya, susai diperiksa Bareskrim atas penodaan agama yang dilakukannya itu.
Tapi, begitulah Ahok. Mulutnya yang beracun itu ternyata hanya mampu istirahat sebentar saja. Tabiat aslinya selalu saja menyembul ke permukaan. Bayangkan, usai aksi bela Islam 4 November yang biasa dikenal 411, dari markas pemenangannya, Rumah Lembang, Jakpus, dia justru menebar fitnah baru. Peserta aksi adalah orang-orang bayaran. Mereka mengantongi Rp500.000/orang.
Begitu juga usai sidang ketiga yang majelis hakim memutuskan menolak eksepsinya 27 Desember 2016, mulut mantan Bupati Belitung Timur yang nyaris tanpa prestasi itu kembali berulah. Seperti sebelumnya, dia tetap merasa tidak bersalah. Statusnya sebagai terdakwa, tidak membuat lelaki dari kalangan minoritas yang jadi penindas mayoritas ini sadar diri.
“Pengadilan akan panjang. Tiap Selasa saya duduk di kursi itu. Saya pikir ini kursi adalah singgasana. Kenapa? Saya enggak salah kok,” kata Ahok kepada para pendukungnya di markas pemenangannya di Rumah Lembang.
Pernyataan tetap tidak merasa bersalah dari gubernur yang gigih membela kepentingan aseng ini, tentu bertolak belakang dengan permohonan maafnya beberapa waktu lalu. Bukankah selama ini bersama pasukannya berusaha membangun opini, dia sudah meminta maaf kepada ummat Islam? Harapannya, ummat Islam akan memaafkan dan kasus penistaan agama yang dilakukannya berhenti sebelum sampai pengadilan.
Selain itu, mungkin dalam sejarah manusia modern, hanya seorang Ahok lah yang menerjemahkan kursi terdakwa sebagai singgasana. Rasanya sikap seperti ini hanya mungkin terjadi pada manusia yang superpede. Jangan-jangan karana pernyataan ini pula dia memang perlu diperiksa psikiater?
Sejarah mencatat banyak pejuang yang diadili. Soekarno, misalnya. Mereka memang tidak merasa bersalah. Para pejuang itu tetap pada keyakinannya, bahwa apa yang mereka lakukan adalah untuk kebaikan bangsa dan negaranya. Tapi, untuk menganggap kursi pesakitan sebagai singgasana…? Hmm…
Membandingkan apa yang Ahok lakukan dan para pejuang tadi, tentu seperti membandingkan langit dan dasar laut (bukan lagi dengan bumi; saking jauhnya…). Soekarno dan para pejuang membela kepentingan bangsanya. Mereka berjuang merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Mereka bercita-cita mengantarkan Indonesia ke gerbang kemerdekaan, yang disebutnya sebagai jembatan emas untuk membawa bangsanya menjadi sejahtera.
Sedangkan Ahok, yang dilakukannya tidak lebih dari satu gaduh ke gaduh lain yang bagai tak berkesudahan. Dia menggusur rumah-rumah tinggal rakyat. Dia mencerabut rakyat dari hidup dan sumber kehidupanya dengan ganas dan brutal. Basuki menerbitkan serenceng kebijakan dan diskresi ugal-ugalan untuk menyenangkan para taipan yang selama ini jadi bohirnya. Dan, jangan lupa, sebagai minoritas dia menistakan agama Islam, agama yang dipeluk mayoritas rakyat negeri ini.
Masih di hari dan tempat yang sama, usai pengadilan menolak eksepsinya, Ahok juga menyatakan, kalau menang Pilkada satu putaran, dia akan mempermalukan orang-orang yang selama ini menyudutkannya.
“Saya harap tetap berjuang untuk menang satu putaran. Kalau kita menang satu putaran, akan mempermalukan orang-orang yang selama ini menyudutkan saya,” kata Ahok kepada para pendukungnya.
Sebagai manusia normal dan bernalar, sulit memaknai sesumbar Ahok ini. Bayangkan, dia bermaksud mempermalukan pihak-pihak yang selama ini dianggapnya menyudutkan dirinya. Hebatnya lagi, ancaman itu dilakukan dengan catatan, ‘kalau’. Kalau menang satu putaran. Lalu, kalau menangnya dua putaran? Terus, jika tidak menang atau langsung terjungkal di putaran pertama,gimana, hayo?
Mungkin para psikiater bisa menjelaskan, bagaimana mungkin seorang terdakwa yang masih menjalani persidangan bisa mengancam pihak lain? Bahkan, ancaman itu pun disampaikan dengan prasyarat, kalau menang!
Apakah pernyataan ini memantulkan sifat sadis dan kejam yang ada pada dirinya? Pantas saja, dia tetap menggusur rakyatnya dengan ganas dan brutal, walau protes dan kecaman bertubi-tubi datang dari banyak kalangan. Bahkan walau pengadilan memenangkan warga Bukit Duri yang rumahnya digusur paksa. Pantas saja, dia bisa memaki dan menuduh seorang ibu sebagai maling di depan publik, hanya karena ibu tadi mempertanyakan Kartu Jakata Pintar (KJP) milik anaknya. Pantas saja…
Yang pasti, sikap Ahok ini sama sekali bertabrakan dengan pitutur luhur Jawa tadi. Nglurug tanpa bala, menang tanpo ngasorake. Menyerang tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan.
Menang tanpa merendahkan.
Ahok yang belum (tentu) menang saja, sudah mengancam akan mempermalukan. Bukan main…! (*)
Jakarta, 1 Januari 2017
(*/arrahmah.com)