BOGOR (Arrahmah.com) – Ahmad Yasin baru memasuki usia yang kesembilan, namun perjuangannya dalam menghafal Qur’an telah membuat banyak orang di sekelilingnya tak kuasa menahan air mata; abi, umi, para ustadz hingga teman-temannya.
Jum’at (27/3/2015) lalu, Yasin menuntaskan hafalannya 30 juz. Ia menyetorkan hafalan juz terakhirnya kepada musyrif disaksikan puluhan hadirin dan teman seangkatan program Super Manzil. Tak sedikit hadirin yang menyeka air matanya, mengiringi ayat demi ayat yang mengalir syahdu dari bocah yang baru berusia sembilan tahun itu. Terutama kedua orangtuanya yang hadir di sana tanpa sepengetahuan Yasin.
Ketika Yasin selesai menyetorkan hafalannya dan tahu ada abi umi di sana, ia pun ikut menangis. Suasana menjadi sangat haru. Bocah kecil itu terisak-isak tanpa sanggup berkata apa-apa saat kedua orangtuanya diminta berbicara. Kini, cita-citanya memakaikan mahkota surga untuk kedua orangtuanya telah ia usahakan dan tentunya dengan mengharap ridha Allah yang akan mengabulkannya.
Bukan kali ini saja Yasin membuat haru abi dan uminya. Keharuan pertama telah ia persembahkan ketika berniat menjadi hafidz. Saat itu ia baru duduk di semester kedua kelas 1 SD, tapi ia berani jauh dari rumah untuk nyantri di Daurah Qabliyah Darut Tauhid Bandung. Waktu itu Yasin baru bisa Iqro’ jilid 3. Tapi Allah memberkahi kesungguhannya. Dalam tiga bulan Yasin sudah bisa baca Al Qur’an dan hafal juz 30. Siapa ibu yang rela jauh dari anaknya. Menangis saat berpisah, pasti. Rindu saat tidak bertemu, tentu. Namun demi cita-cita Yasin, keharuan itu berbuah manis pada masanya.
Pada pertengahan 2013 lalu, Yasin ikut Mukhayam Al Qur’an yang digelar oleh Al Hikmah Bogor. Ia menjadi peserta termuda. Satu hal yang sangat mengharukan dan menguras air mata orang-orang di sekitarnya terjadi saat sesi game perang-perangan. Yasin yang bertugas membawa bendera berusaha menjaga agar tidak direbut oleh ‘musuh’. Bendera akhirnya terebut. Dan saat itulah Yasin baru sadar bahwa darah telah membasahi sekujur lengannya. Ternyata tiang bendera dari bambu itu melukai tangannya.
Sejumlah santri senior bergegas membantu Yasin. Mereka panik karena luka Yasin cukup besar. Ustadz menggendong Yasin dan membawanya ke Posko. “Ustadz, jangan bilang orang tua saya, nanti mereka sedih,” pinta Yasin.
Yasin tidak menangis. Tetapi ustadzah yang ada di sana yang berkaca-kaca mendengar rintihannya. Dengan darah yang memenuhi sekujur lengan, Yasin berdoa, “Ya Allah… tolonglah aku… aku masih ingin menghafal…”
“Ya Allah… tolonglah aku… aku masih ingin menghafal…” Yasin mengulang-ulang doa itu. Membuat siapapun yang mendengarnya pasti terenyuh hatinya.
Yasin sempat dibawa ke Bareskrim untuk mendapat pertolongan pertama. Namun karena peralatannya kurang memadai, Bareskrim menganjurkan agar Yasin segera dilarikan ke rumah sakit. Di Rumah Sakit Ciawi, Yasin harus dijahit dengan 14 jahitan.
(bersamadakwah/arrahmah.com)