DAMASKUS (Arrahmah.id) – Negara-negara Barat harus mencabut sanksi terhadap Suriah untuk memungkinkan jutaan pengungsi yang mengungsi akibat perang untuk kembali, pemimpin de facto negara itu, Ahmad Asy Syaraa, mengatakan pada Senin (16/12/2024) selama pertemuan dengan delegasi pejabat Inggris, menurut saluran Telegram HTS.
Asy Syaraa menegaskan kembali pesan tersebut dalam sebuah wawancara dengan harian Inggris The Times.
“Mereka harus mencabut semua pembatasan yang diberlakukan pada algojo dan korban—aljogo kini sudah tiada,” katanya, dalam wawancara pertamanya dengan media Barat sejak mengambil alih kekuasaan. “Masalah ini tidak bisa dinegosiasikan.”
HTS telah melakukan kontak dengan beberapa negara Barat sejak menggulingkan rezim Assad pada 8 Desember.
Meyakinkan mereka untuk meringankan sanksi rezim yang menghukum negara tersebut dan menghapus HTS dari daftar teroris merupakan salah satu prioritas utama pemerintah transisi.
Komentar tersebut mengisyaratkan pemimpin baru negara itu mengusulkan potensi imbalan berupa pemulangan pengungsi Suriah dengan imbalan keringanan sanksi.
Lebih dari 1,5 juta warga Suriah telah bermigrasi ke Eropa sejak perang meletus pada tahun 2011 sementara sekitar 5,5 juta warga tinggal di negara-negara tetangga Suriah.
Prospek bahwa negara-negara Barat dapat meringankan sanksi rezim menyusul penggulingan Assad sejauh ini telah diremehkan oleh pejabat AS dan Uni Eropa, yang menyatakan bahwa keringanan apa pun akan bergantung pada dukungan HTS terhadap pemerintahan yang sekuler dan inklusif.
Beberapa pemerintah Barat saat ini menganggap HTS sebagai organisasi teroris karena afiliasinya dengan al-Qaeda sebelumnya. AS dan Inggris telah menyarankan bahwa penunjukan tersebut dapat dibatalkan jika kelompok tersebut berkomitmen pada pemerintahan sekuler yang menghormati minoritas agama dan etnis di negara tersebut.
“Kami ingin melihat pemerintahan yang representatif dan inklusif,” kata Menteri Luar Negeri Inggris David Lammy pada Ahad (15/12) menjelang kunjungan delegasi Inggris ke negara tersebut. Ia juga mengumumkan bahwa Inggris akan memberikan bantuan kemanusiaan sebesar £50 juta untuk mendukung para pengungsi Suriah.
Sehari sebelumnya, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan bahwa Washington telah mulai terlibat dengan pemerintah transisi Suriah.
Sementara itu, dalam wawancara bersama sejumlah media yang juga berlangsung pada Senin (16/12), Asy Syaraa mengkritik kemajuan militer ‘Israel’ ke dalam dan ke luar zona penyangga. Ia mengatakan bahwa Suriah akan terus mematuhi perjanjian 1974 yang dibuat setelah berakhirnya perang Yom Kippur dan meminta masyarakat internasional untuk memastikan bahwa ‘Israel’ juga mematuhinya. ‘Israel’ tidak perlu lagi menguasai tanah itu untuk melindungi dirinya sendiri, katanya, karena penggulingan rezim Assad telah menghilangkan ancaman terhadap ‘Israel’ dari Hizbullah dan milisi lain yang didukung Iran.
Untuk wawancara tersebut, ia menanggalkan seragam militernya dan mengenakan setelan abu-abu serta kemeja biru, tanpa dasi. Ponsel dan alat perekam tidak diperbolehkan masuk. Ketika ditanya tentang perubahan pakaiannya, Asy Syaraa, mengatakan bahwa masa untuk urusan militer telah berakhir dengan jatuhnya Assad. Sekarang, katanya, sudah saatnya Suriah membangun kembali.
“Kami mengenakan seragam militer karena ada pertempuran,” katanya. “Saat kami mengadakan pertemuan sipil, kami mengenakan pakaian sipil.”
Asy Syaraa, berbicara dalam bahasa Arab dengan sembilan wartawan di ruang penerima tamu gedung pemerintahan yang luas yang hingga baru-baru ini menjadi kantor perdana menteri. Pemimpin baru Suriah tersebut menegaskan bahwa Suriah perlu memprioritaskan pembangunan negara dan menciptakan lembaga publik yang melayani semua warga. (zarahamala/arrahmah.id)