Indonesia dikenal dengan Negara agraris. Namun kenyataannya, yang menonjol dan berkembang bukan pengembangan teknologi pertanian. Justru tampaknya ‘teknologi’ blantik sapi lah yang dikembangkan dengan canggih oleh orang-orang tertentu. Sehingga tidak sekadar mampu menggiring sapi, menggiring petani pemilik sapi, dan menggiring pembeli sapi; namun ahli teknologi tingkat dunia pun dapat digiring, tanpa terasa bahwa dirinya telah terseret jauh ke mana-mana, dan tidak tahu bahwa itu termanfaatkan atau bahasa kasarnya tertipu.
Blantik sapi yang biasanya lihai “menekuk” petani pemilik sapi dan pembeli sapi demi keuntungan tinggi bagi sang blantik, kini ‘ilmu’ itu lah yang dikembangkan sebagian orang di negeri agraris ini. Sehingga bukan hanya sapi yang jadi bahan dagangannya, dan bukan hanya petani yang jadi sasaran untuk ditekuk, tetapi merambah aneka macam bahkan yang sensitive dan tingkatnya penuh syubhat sedang skalanya internasional pun dapat diblantiki (dimaklari, dicalo’in).
‘Ilmu’ blantik sapi itu bila disandang oleh pemimpin suatu rombongan ataupun gerombolan, maka tega juga sang pemimpin itu mencalo’i atau memblantiki gerombolannya sendiri hanya demi keuntungan diri sendiri, sambil seakan memberi pelayanan kepada gerombolannya. Seandainya materi pelayanan itu sesuatu yang benar-benar dibutuhkan karena besar manfaatnya dalam kebaikan, maka pantas anggota gerombolannya itu berterimakasih. Namun bila sebaliknya, yakni sudah tidak bermanfaat bahkan merupakan salah satu pembelokan –hanya demi keuntungan sang blantik–, masih pula mereka (anggotanya atupun rakyatnya) hanya dijadikan sebagai ‘barang dagangan’, maka celakalah yang begini.
Ketika keadaannya seperti itu, lantas… salah siapa?
Pertanyaan itu, entah jawaban mana yang benar. Karena dalam prosesnya, yang kini mereka hanya ‘jadi barang dagangan’ itu tadinya mereka ternyata sengaja memilih pemimpin gerombolan yang bermental calo’. Akibatnya, setelah si bermental calo itu terpilih, maka yang jadi korban pertama justru para pemilihnya itu.
Waduh, celaka benar.
Sebaliknya, ketika ada pemimpin ataupun orang terkemuka, sedang pada dirinya tidak ada pengalaman sama sekali bahwa di Indonesia yang negeri agraris ini yang paling berkembang adalah ‘ilmu’ blantik sapi alias calo, maka sampai berkali-kali ditekuk oleh calo-calo pun masih tidak ngerti-ngerti juga. Contohnya adalah ahli teknologi terkemuka di dunia yakni Habibie. Sampai meresmikan Ma’had Al-Zaytun sarang aliran sesat NII KW IX pun dia mau karena tidak tahu.
Pada tanggal 27 Agustus 1999, Habibie meresmikan Ma’had Al-Zaytun di Indramayu, Jawa Barat. Ketika itu Habibie sama sekali tidak tahu bahwa Al-Zaytun adalah bagian permukaan dari gerakan NII KW9 yang sesat menyesatkan dan mempraktikan aneka penipuan berkedok doktrin agama (Islam).
Belakangan, di tahun 2011, ketika marak kasus cuci otak untuk mengumpulkan dana yang disinyalir dilakukan NII KW9 yang bermuara ke Al-Zaytun, Habibie merasa menyesal telah meresmikan Al-Zaytun. Kepada detik.com edisi 10 Mei 2011 Habibie mengatakan, “…Kalau tahu, bukan hanya saya datang. Tapi saya larang…”
Demikianlah gambarannya.
Lebih jelasnya, silakan membaca artikel berjudul Habibie, Ya Habibie… Waspadalah ya Habibie Itu baru contoh kasus. Bagaimana pula bila sebenarnya justru negeri ini hakekatnya memang dikuasai oleh para ‘blantik sapi’?
(nahimunkar.com)