JAKARTA (Arrahmah.com) – Berdasarkan yurisprudensi, kasus video Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Kepulauan Seribu sudah dapat disebut sebagai tindakan penistaan agama.
Dalam ilmu hukum, yurisprudensi adalah keputusan-keputusan dari hakim terdahulu untuk menghadapi suatu perkara yang tidak diatur di dalam UU dan dijadikan sebagai pedoman bagi para hakim yang lain untuk menyelesaian suatu perkara yang sama.
Menurut ahli hukum pidana, Teuku Nasrullah, sudah ada putusan hakim terdahulu terkait penistaan agama. Meskipun pelakunya meminta maaf atau berkilah tidak memiliki maksud atau sengaja menista agama.
Nasrullah memberi contoh pada kasus Arswendo Atmowiloto pada tahun 1990. Saat itu, Arswendo membuat survei di Tabloid Monitor, siapa tokoh idola menurut para pembaca.
Menurut hasil survei yang dirilis Tabloid Monitor, nama Presiden Soeharto berada di urutan pertama. Disusul kemudian dengan nama BJ Habibie, Soekarno lalu musisi Iwan Fals. Nama Arswendo masuk ke dalam urutan 10, sementara Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam berada pada urutan ke-11.
“Kemudian, saat itu muncul kemarahan dari ummat Islam. Mereka melaporkan
Arswendo atas tuduhan menghina Nabi Muhammad,” kata dosen Universitas Indonesia ini dalam ‘Diskusi Publik: Kasus Ahok Nista Islam dalam Perspektif Hukum Pidana’ di Rumah Amanah Rakyat, Menteng, Jakarta pada Kamis (10/11/2016), seperti dilaporkan reporter Jurnalis Islam Bersatu (JITU).
Ketika itu, Arswendo berkilah tidak punya maksud atau sengaja menghina Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam. Tapi dia tetap dijatuhi hukuman 4 tahun penjara.
“Kesengajaan di sini (dalam pasal penistaan agama-red) bukan kesengajaan dalam maksud. Tapi kesengajaan yang dapat diduga mengetahui bahwa perbuatannya menista agama dan mengganggu ketertiban umum,” lanjut Nasrullah.
Arswendo dihukum karena patut mengetahui perbuatannya mengganggu ketertiban umum.
“Sebab, pasal 156 ada di bawah Bab Ketertiban Umum. Penistaan agama tidak di bawah pasal agama tapi di bawah Bab Ketertiban Umum. Ini tentang ketertiban umum. Setiap orang harus menjaga ketertiban umum,” ujarnya.
Pria kelahiran Aceh ini melanjutkan, kalau seseorang sudah bersekolah dan bisa berpikir, sepatutnya tahu perbuatannya bisa mengganggu ketertiban umum atau tidak. (haninmazaya/arrahmah.com)