Arrahmah.Com – Insya Allah, beberapa Hari lagi kita semua akan memasuki bulan shaum, bulan yang penuh berkah, Bulan Ramadhan. Sepanjang bulan ini, kaum muslimin seluruh dunia yang berjumlah sekitar 1,3 milyar akan menunaikan kewajiban shaum Ramadhan. Kewajiban shaum Ramadhan jelas tersebut dalam al-Qur’an, dimana khitab (seruan) dari perintah puasa tsb ditujukan hanya kepada orang2 yg beriman. Mengapa orang yg beriman?
“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan kepada kamu sekalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelummu agar kamu bertaqwa” (al-Baqarah 183)
Sesuai Kemampuan
Bila kita renungkan, berdasarkan nash-nash al-Qur’an maupun al-hadits, sesungguhnya setiap perkara yang diwajibkan Islam tidaklah berat, bahkan sebenarnya cukup ringan. Artinya, semua aturan itu — yg memang telah dibuat Allah agar sesuai dgn kemampuan manusia — bisa dikerjakan oleh manusia biasa tanpa kesulitan yg berarti.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (al-Baqarah 286)
Bila kemampuan manusia utk mengerjakan kewajiban menurun, maka Allah memberikan rukhsah (keringanan/kemudahan). Bila utk shalat kita tak bisa mengerjakannya dgn berdiri, Allah membolehkan dgn duduk. Bila tdk bisa dgn duduk, boleh sambil berbaring. Dan bila tdk ada air utk berwudhu, boleh kita tayamum. Begitu juga dgn shaum Ramadhan. Bagi mereka yg sakit atau dlm perjalanan, Allah membolehkan utk tdk berpuasa, asal di hari lain puasa yg ditinggalkan itu diganti. Sedang buat mereka yg dlm kondisi yg berat utk berpuasa, seperti orang tua yg lemah fisik, perempuan hamil atau sedang menyusui, Allah juga membolehkan tdk berpuasa & tdk hrs mengganti di hari lain. Cukup ia memberi makan seorang miskin tiap hari dari puasa yg ditinggalkannya. Jika Anda miskin tdk wajib pergi haji yg memerlukan biaya besar. Dan juga tdk wajib membayar zakat, bahkan Anda akan diberi zakat. Sangat mudah, bukan? Kemudahan, dan bukan kesulitan, itulah yg memang dikehendaki Allah.
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tdk menghendaki kesukaran bagimu” (al-Baqarah 185)
Maka nyatalah bahwa dlm kondisi normal, setiap kewajiban/ibadah tidaklah terlalu berat. Shalat paling-paling menyita 5 menit dari waktu kita. Minus shalat sunnah, dzikr dan wirid, maka total jendral shalat wajib sehari semalam hanya memerlukan waktu sekitar 25 – 30 menit. Kurang dari satu jam dari 24 jam yang kita miliki. Sangat sedikit. Lebih banyak waktu yg mungkin kita buang utk nonton TV, baca koran, ngobrol atau jalan-2. Begitu juga dgn ibadah shaum,. Ibadah yg bagi sementara orang terasa sangat berat, bila dicermati sebenarnya hanyalah menarik sarapan pagi lebih awal beberapa jam dan minus makan siang. Bila hanya dikurangi satu dari tiga kali kesempatan makan, apanya yg berat? Dari pengalaman orang yg melakukan aksi mogok makan (tapi tdk mogok minum), ternyata bisa bertahan sekitar 35 hari. Sedang bila mogok minum mungkin hanya tiga atau empat hari. Sementara dlm ibadah shaum, Allah hanya meminta kita utk menahan diri tdk makan siang saja. Makan sahur yg bisa membuat tubuh kita cukup kuat hingga tengah hari, itupun sangat dianjurkan Rasulullah.
“Makan sahurlah kamu karena sesungguhnya dalam sahur itu ada keberkahan” (HR. Bukhari)
Maka dlm sejarah tdk pernah tercatat ada orang yg, misalnya sakit, terluka apalagi tewas karena shaum. Atau jadi miskin karena membayar zakat & patah tulang karena shalat. Yg lebih banyak terbukti bahwa shaum & shalat membuat orang sehat, jasmani dan rokhani, sementara zakat berdampak bagi pemerataan kekayaan. Blm lagi pujian dan ganjaran yg dijanjikan Allah bagi orang yg taat beribadah. Jadi tdklah benar bila dikatakan bahwa ajaran Islam itu berat. Yg benar, ajaran Islam sangat mudah & ringan. Khusus bagi mereka yg shaum Allah berjanji:
“Barang siapa berpuasa Ramadhan dengan landasan iman dan ikhlas, niscaya Allah mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Ahmad)
“Sesungguhnya bau busuk mulut orang yang berpuasa di sisi Allah pada Hari Kiamat lebih harum dari pada harumnya minyak kesturi” (HR. Ahmad dan Muslim)
“Bagi orang yang berpuasa terdapat dua kebahagiaan. Kebahagiaan pertama, ketika ia berbuka. Ia berbahagia lantaran bukanya itu. Kedua, ketika ia bertemu Allah nanti. Ia berbahagia lantaran puasa yang dulu dikerjakannya di dunia” (HR. Ahmad dan Muslim)
Bila utk mengerjakan kewajiban diperlukan kemampuan, tdk demikian halnya utk meninggalkan yg di-larang Allah. Sama sekali tdk diperlukan kemampuan. Anda tdk memerlukan uang utk tidak minum alkohol, tidak melacur atau berjudi. Anda juga tdk memerlukan kemampuan fisik utk tdk membunuh. Bahkan bila Anda tdk berjudi atau minum miras, bisa menghemat dana. Apalagi fakta membuktikan bahwa setiap pelanggaran thd apa yg dilarang Allah, pasti berdampak buruk. Siapa yg menyangkal dampak buruk alkoholisme, prostitusi, perjudian dsb?
Tapi mengapa, kendati kewajiban agama –seperti dijelaskan diatas– tidaklah berat, bahkan sangat ringan, banyak diantara kaum muslimin yg tdk mengerjakan kewajiban itu, padahal mereka sebenarnya mampu? Sebagian kaum muslimin, misalnya dgn ringan meninggalkan shalat; atau makan di siang hari bulan Ramadhan tanpa udzur, tdk mau membayar zakat & alpa menuaikan ibadah haji padahal kekayaannya melimpah. Sementara, utk yg haramkan –kendati hrs mengeluarkan ongkos– tdk sedikit juga orang Islam yg gemar melakukannya. Bila miras laku di pasaran, judi & pelacuran merajalela, tentu yg banyak membeli/menikmati adalah orang Islam.
Perlu Kemauan
Disinilah, bahwa disamping kemauan, utk melaksanakan ajaran Islam –mengerjakan kewajiban & meninggalkan larangan– ternyata diperlukan pula kemauan. Kemauan adalah keinginan yg muncul dari dalam diri manusia oleh karena berbagai dorongan. Baik itu bersifat material maupun bersifat non material (pujian, keinginan berprestasi guna menjaga eksistensi diri) dan spiritual (ganjaran, pahala dan pujian Allah). Dari sekian macam dorongan itu, yang tertinggi adalah dorongan iman. Tanpa kemauan yang muncul dari iman, kewajiban agama yang sangat ringan sekalipun, akan terasa berat dikerjakan. Apalagi kewajiban yang memang memerlukan pengorbanan harta atau bahkan nyawa, tentu akan lebih terasa berat. Dari situlah mengapa perintah berpuasa di bulan Ramadhan ditujukan kepada dan hanya kepada orang-orang yang beriman.
Iman di dada seorang muslim membuatnya tunduk kepada Allah. Yakni senantiasa siap sedia mengerjakan apa yang diperintahkan serta meninggalkan apa yang dilarang-Nya. Tidak ada yang lebih diinginkan dari seorang muslim yang beriman dalam hidup ini kecuali mendapatkan ridha Allah, yang dengan ridha itu ia merasakan kebahagiaan. Dan tidak ada pula yang ditakutkan kecuali murka Allah, yang akan terjadi manakala ia melanggar aturan-Nya. Ia yakin, di akherat nanti tidak akan luput dari peradilan Allah. Dan cara yang terbaik agar lulus dalam peradilan itu adalah hidup dalam taat kepada-Nya selama di dunia.
Iman semacam ini memberikan dorongan kuat utk berbuat kebaikan & meninggalkan keburukan. Dan dorongan semacam itulah yg menciptakan kemauan. Dgn kemauan seperti itu pula, dulu para shahabat berjihad kendatipun di bulan Ramadhan. Perang Badar, dimana 300 tentara Islam melawan sekitar 1000 orang kafir, terjadi pada bulan Ramadhan tahun 2 Hijriah. Perang Uhud juga terjadi pada bulan Ramadhan tahun 2 Hijriah. Dlm perang yg akhirnya dimenangkan tentara kafir itu, 1000 tentara Islam melawan 3000 orang kafir. Perang Ahzab terjadi pada bulan Ramadhan tahun 5 Hijriah, sedang penaklukkan kota Makkah terjadi pada bulan Ramadhan tahun 8 Hijriah. Perang Tabuk –perang pertama tentara Islam melawan kekuatan adikuasa Romawi ketika itu– terjadi pada tahun 9 Hijriah. Bahkan kisah penyerbuan Spanyol yg menandai awal masuknya Islam ke daratan Eropa yg dipimpin oleh panglima Thariq bin Ziyad, juga terjadi pada bulan Ramadhan tahun 92 Hijriah.
Kemauan yg bersumber dari iman inilah yg kini langka, bila tdk bisa dibilang tidak ada sama sekali, pada diri kaum muslimin. Maka jadilah sekian banyak kewajiban agama diabaikan dan sekian larangan agama dilanggar.
Ibadah shaum Ramadhan sebulan penuh sesungguhnya akan menempa kemauan umat Islam, yakni utk menahan nafsu dan taat pada perintah Allah. Tanpa kemauan, tdk mungkin kita dpt menjalankan shaum dgn baik. Banyak sekali celah bagi kita utk menipu orang lain dengan tetap berpura-pura puasa padahal tidak.
Penting bagi kita, bagaimana kemauan yg telah terbina selama puasa berdampak pada persoalan lain diluar shaum. Khususnya kemauan utk hidup dibawah naungan Islam dimana didalamnya diterpakan hukum Islam. Bila tidak, maka benarlah bahwa shaum atau ibadah pada umumnya tdk memberikan dampak positif bagi kemajuan umat. Maka jangan menyesal bila kita akan terus dirundung masalah, seperti saat ini. Juga, bagaimana kita bisa menciptakan negeri yg sejahtera, aman sentausa dan penuh dgn ampunan Allah (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur) bila didalamnya terdapat sekian banyak kewajiban agama ditinggalkan & larangan dilanggar, serta hukum Allah dicampakkan?
Ibdaur Rahman
Arrahmah.Com / Marhaban Ya Ramadhan