(Arrahmah.id) – ‘Israel’ tidak ingin mengecualikan Tepi Barat dari operasi militernya yang intensif, sehingga beberapa batalyon tentara ‘Israel’ menuju ke beberapa kota di Tepi Barat, yang disebut “Summer Camps” dalam agresi militer yang paling parah dan keras dalam hampir seperempat abad setelah Operasi Perisai Pertahanan pada 2002, pada Rabu malam (28/8/2024).
Operasi militer skala besar difokuskan pada kamp-kamp di Tepi Barat utara, terutama Jenin, Tulkarem dan Tubas, tetapi tidak berhenti di situ, karena menimbulkan kematian di daerah lain di Hebron, Nablus dan Yerusalem.
Penghitungan kematian dengan cepat mulai meningkat tajam, dengan sekitar 11 syuhada gugur, dan pasukan ‘Israel’ mengumumkan penangkapan sejumlah orang yang mereka sebut “dicari”, dengan penghancuran jalan, penghancuran infrastruktur dan penyebaran teror di kota-kota dan kamp-kamp.
Israel has launched a massive invasion on the occupied West Bank, at a scale unseen since 2002. pic.twitter.com/gdyndIYOVx
— BreakThrough News (@BTnewsroom) August 28, 2024
“Summer Camps” atau perang pendudukan baru?
Tepi Barat telah mengalami banyak serangan, penangkapan, dan serangan multifaset ‘Israel’. Selama sebelas bulan Operasi Banjir al-Aqsa, pasukan ‘Israel’ telah menangkap lebih dari 10.000 warga Palestina dari Tepi Barat, sebagai bagian dari penggerebekan malam yang terus-menerus mereka lancarkan sejak 7 Oktober.
Operasi terbaru ini menimbulkan pertanyaan dan kekhawatiran bahwa ‘Israel’ sedang menuju operasi yang lebih besar yang mencakup pemindahan dan penangkapan yang meluas seperti yang telah dilakukannya di Jalur Gaza selama hampir setahun.
Ketakutan ini didasarkan pada beberapa fakta berikut:
- Ribuan tentara ‘Israel’ diterjunkan dalam operasi ini, termasuk Brigade Kfir, yang merupakan brigade terbesar di korps infanteri tentara pendudukan, selain 4 batalyon penjaga perbatasan, unit tentara yang menyamar, pasukan elit, dan unit teknik militer, yang berarti kemungkinan menanam ranjau, meledakkan jalan dan bangunan, serta tindakan kekerasan ekstrem lainnya.
- Kerahasiaan ekstrem seputar arah dan konteks operasi ini, yang berarti kemungkinan kejutan dalam waktu dan tindakannya, dan upaya untuk mempersempit ruang gerak bagi faksi-faksi perlawanan di Tepi Barat.
- Kemudahan ‘Israel’ menembus pertahanan perlawanan di Tepi Barat, karena operasi ini berbeda dengan Operasi Tembok Pertahanan dalam hal ukuran jumlah penduduk kamp, yang mencapai 800 ribu orang dibandingkan dengan 70 ribu pada 2002, yang berarti peningkatan penetrasi ke Tepi Barat.
- Konteks spesifik untuk situasi Palestina di mana operasi baru ini dilakukan, dan keadaan dunia yang bungkam atas pembantaian harian yang dilakukan oleh pasukan ‘Israel’ di seluruh Palestina, Jalur Gaza, dan Tepi Barat.
Tujuan dan Konteks
Operasi ini termasuk dalam banyak operasi lain yang telah dipraktikkan ‘Israel’ selama hampir setahun untuk mencapai tujuan yang semakin jauh, sulit, dan mustahil dari hari ke hari. Mungkin yang paling menonjol di antaranya adalah:
- Mencari gambaran kemenangan, yang tidak dapat diraih di Jalur Gaza setelah 11 bulan perang, terutama karena skala kekerasan dan kehancuran yang diinginkan Netanyahu adalah skala yang ia butuhkan untuk meningkatkan popularitasnya yang menurun, yang dapat menyelamatkan pemerintahannya dari kejatuhan.
- Sebuah upaya untuk menyenangkan sayap kanan ekstrem, yang menjadi sandaran koalisi yang berkuasa, dengan tujuan menciptakan realitas keamanan baru sebagai persiapan untuk memaksakan kendali penuh ‘Israel’ atas Tepi Barat.
- Pembentukan beberapa front untuk mencegah faksi perlawanan berkoordinasi atau mengintegrasikan upaya di antara mereka sendiri, terutama mengingat keterlambatan respons Iran dan meredanya kekhawatiran mengenai front Lebanon, setelah respon yang dilakukan oleh Hizbullah dan dianggap oleh ‘Israel’ telah digagalkan, dan ‘Israel’ menghela napas lega sebagai hasilnya.
- Memotong duri perlawanan yang meningkat di Tepi Barat, yang menimbulkan ancaman yang semakin besar bagi entitas ‘Israel’ dan kota-kotanya yang berdekatan dengan Tepi Barat, karena tumpang tindih geografis, yang menggandakan bahaya Tepi Barat, yang dapat berubah menjadi banjir ketika gelombang perlawanannya bergerak.
- Pengakuan ‘Israel’ atas kesia-siaan operasi kilat dan penggerebekan, yang dapat berarti bergerak ke situasi yang lebih sewenang-wenang, berbahaya, dan ganas.
- Kampanye ini juga terjadi di tengah keadaan hiruk-pikuk yang telah mencengkeram sayap kanan ekstrem, dan ancaman terhadap Al-Aqsa, yang terbaru adalah ketika Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir mengumumkan niat untuk mendirikan sinagog di Masjid Al-Aqsa.
Pakar militer Irak, Dr. Muhannad Al-Azzawi, meyakini bahwa ‘Israel’ berupaya memanfaatkan penurunan kekhawatiran akan eskalasi dengan Hizbullah, atau setidaknya menurunkan tingkat ancaman sebelumnya terhadap kelompok tersebut, untuk memfokuskan diri pada ancaman yang dianggapnya telah meluas dari Jalur Gaza hingga Tepi Barat.
Bukan tidak mungkin akan ada keputusan baru ‘Israel’ untuk mengatur ulang situasi keamanan di Tepi Barat, sebagai tanggapan atas pengerahan sejumlah besar pasukan dan peluncuran operasi militer sebesar ini di sejumlah kota dan kamp di Tepi Barat.
Ia mengatakan bahwa jika operasi ini terus berlanjut dan meningkat, hal itu akan menyebabkan hasil yang sangat buruk, krisis pengungsian dan suaka yang serupa dengan yang kita lihat setiap hari di Jalur Gaza akan terjadi.
Al-Azzawi mengemukakan bahwa sifat lingkungan tempat berlangsungnya operasi tersebut mengindikasikan adanya risiko besar terhadap kelanjutan operasi tersebut, karena para pemukim telah dipersenjatai, dan ada pasukan ‘Israel’ di lapangan, dengan tidak adanya tanggapan dari Otoritas Palestina, dan mengingat adanya hasutan dan agitasi dari para menteri dan pemimpin sayap kanan ekstrem di ‘Israel’ untuk menyelesaikan permasalahan Tepi Barat.
Lebih Berbahaya Daripada Operasi Perisai Pertahanan
Meskipun belum ada yang tahu ke mana arah operasi ‘Israel’ yang baru ini, indikasi awal menunjukkan bahwa operasi ini berbeda dari operasi sebelumnya, dan beberapa bahkan memperkirakan bahwa operasi ini akan lebih parah daripada Operasi Perisai Pertahanan, di mana mantan Perdana Menteri ‘Israel’ Sharon kala itu menyerbu Tepi Barat.
Gubernur Jenin Kamal Abu al-Rab mengatakan kepada Quds Network bahwa ini adalah invasi ke-12 berturut-turut, tetapi yang berbeda kali ini adalah bahwa ini adalah pertama kalinya semua pintu keluar dan masuk ke kota dan kampnya ditutup dan akses masuk dan keluar dari sana dicegah.
Ia menambahkan bahwa tentara pendudukan telah menempatkan penghalang tanah dan kendaraan militer di dekat rumah sakit dan di jalan menuju rumah sakit, yang menyebabkan semua rumah sakit dan Bulan Sabit Merah tidak dapat beroperasi.
Israeli occupation forces inspect an ambulance near Nour Shams refugee camp in Tulkarm, obstructing medical teams from performing their duties within the camp. pic.twitter.com/dYuTpavf8Z
— Quds News Network (@QudsNen) August 28, 2024
Sementara itu, analis Azzam Abu Al-Adas menilai dalam sebuah unggahan di Telegram bahwa operasi militer ini lebih berbahaya daripada Operasi Perisai Pertahanan pada 2002, dan dalam penjelasannya, ia mengatakan bahwa hal ini disebabkan oleh beberapa alasan:
- Ketika Operasi Perisai Pertahanan dilaksanakan, faksi-faksi Palestina hadir di Tepi Barat dan memiliki infrastruktur, keuangan, dan militer yang memadai serta mampu menyusun kembali kekuatan mereka dan mengganti kerugian, tetapi sekarang faksi-faksi tersebut telah bubar secara finansial, militer, dan sosial.
- Operasi Perisai Pertahanan dilaksanakan pada masa ketika jumlah pemukim baru mencapai 70.000 orang dan sekarang jumlahnya telah mencapai 800.000 orang, yang berarti bahwa dengan melenyapkan perlawanan, maka akan semakin banyak tentara dan pemukim yang menyerbu.
- Netanyahu sangat membutuhkan kemenangan, dan karena ia tidak dapat meraih kemenangan di Gaza, ia akan memperoleh citra kemenangan di Tepi Barat yang akan menaikkan popularitasnya, terutama di kalangan para pemukim, dan dengan demikian, mengingat popularitas Netanyahu yang kembali meningkat, operasi ini akan meningkatkan peluangnya dalam pemilihan mendatang yang ingin ia ikuti.
- Pada 2002, pendudukan masih hidup dalam keterkejutan atas masuknya Sharon ke Masjid Al-Aqsa, dan Al-Aqsa sudah tidak ada lagi, tetapi sekarang jika ‘Israel’ berhasil melenyapkan perlawanan terakhir, ini berarti membangun sinagog yang dibicarakan Ben Gvir, dan kemudian menggusur penduduk Yerusalem akan terwujud.
Di antara berbagai kemungkinan dan konteks, serta perbandingan bukti-bukti yang ada menegaskan bahwa pihak perlawanan telah mempersiapkan kekuatan dan keteguhan hati bahwa Tepi Barat tidak akan menjadi tujuan wisata bagi tentara yang pariwisata di negaranya telah runtuh, dan harapannya untuk menang telah pupus akibat perang terbuka, di mana kemenangan ‘Israel’ bergantung pada sejauh mana jangkauan setiap peluru menembus tubuh, menghancurkan rumah, atau merobohkan menara. (zarahamala/arrahmah.id)
*Penulis adalah jurnalis Al Jazeera Net