JAKARTA (Arrahmah.com) – Indonesia tidak akan kebal dengan arus industri pornografi yang semakin gencar, karena itu Indonesia memerlukan rambu-rambu yang tegas tentang pornografi, yang saat ini menjadi bagian agenda global.
“Bisnis pornografi, apakah melalui komik, VCD, HP, terutama melalui internet adalah bisnis yang nikmat keuntungannya dan pasarnya sangat luas, tanpa batas. Setiap orang termasuk anak-anak dapat mengaksesnya,” kata Sekjen Aliansi Selamatkan Anak (ASA) Indonesia Inke Maris dalam diskusi dan halal bihalal, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (16/10).
Dalam kesempatan itu, Inke mempertanyakan banyaknya pemberitaan media massa yang gencar memberitakan penolakan terhadap RUU tentang Pornografi, yang dapat menjadi rambu hukum yang jelas dan lugas untuk memberantas penyebaran pornografi di Indonesia.
“Ada agenda apa di balik ini, mari kita berprasangka baik mungkin karena RUU itu belum sempurna. Tapi dalam prosesnya sudah ada tahapan untuk menyerap masukan dari berbagai kalangan,” ungkap Inke.
Bahkan, Pengurus ASA Indonesia lainnya, Fera Ariefah yang terus memantau proses uji publik ulang terhadap RUU ‘P’ di daerah seperti Bali, Yogyakarta dan Manado. Kelompok yang pro terhadap RUU tersebut, cenderung tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Fetty Fajriati Miftach mengakui, industri pornografi memang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, tanpa disadari televisi juga banyak menanyangkan unsur seks dan pornografi.
“Propaganda kehidupan seks di televisi melalui sinetron dan infotainmen yang menayangkan gaya hidup para artis yang dicontoh oleh anak-anak muda,” ujarnya.
Karena itu, lanjut Fetty, tidak ada alasan bagi KPI untuk menolak RUU P, karena KPI saat ini masih mengalami keterbatasan dalam hal aturan perundang-undangan ketika akan memberikan sanski kepada media yang menayangkan unsur seks dan pornografi.
Senada dengan itu, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta mengaku, prihatin dengan dampak pornografi yang telah menyebabkan anak-anak kecanduan terhadap hal-hal yang berbau porno.
“Saya sudah pergi ke beberapa Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) anak, saya selalu melihat ada anak usia 12 tahun. Mereka dihukum karena melakukan pencabulan terhadap anak yang usia di bawahnya,” tuturnya.
Ia menyatakan, dampak pornografi itu bukan hanya terkait dengan kejahatan, tetapi otak generasi muda akan dibuatnya tidak mampu berfikir tentang masa depannya, karena sudah dicemari oleh hal-hal porno.
“Bagaimana sumber daya manusia di Indonesia, kalau kedepan otak mereka sudah terkena pengaruh itu,” tukasnya.
Oleh karena itu, Meutia menegaskan, bagaimana pun pengaturan terhadap produksi, distribusi, dan konsumsi pornografi itu harus dilakukan untuk menjadikan melahirkan generasi yang berahlak mulia.
Diskusi dan pertemuan itu dihadiri puluhan orang oleh berbagai organisasi kewanitaan, MUI, FUI, dan kalangan pemuda yang mendukung pengesahan RUU Pornografi. [Hanin Mazaya/eramuslim]