Oleh : Abu Fikri*
(Arrahmah.com) – Sebuah forum yang diselenggarakan pada hari Sabtu, 24 Mei 2015, mulai Jam 08.00 sd 12.30 WITA di ruang Pola Balai Kota Makassar itu berjudul Pembahasan Materi Dakwah dan Khutbah Jumat 2015 seperti tertera dalam spanduk. Namun yang tertera dalam undangan berjudul Pandangan Islam terhadap Ekstremisme dan Radikalisme. Forum yang dibuka oleh Kabag Kesra mewakili Walikota Makassar itu juga diback up oleh Ketua Fraksi Hanura Makassar anggota DPRD Makassar yang sekaligus menjadi pengurus MUI Makassar.
Setelah ceremonial pembukaan dilakukan, acara inti diskusi pun dimulai dipandu seorang host dari Yayasan Yusuf Kalla. Hadir sebagai peserta memenuhi sebagian ruang tersebut utusan dari berbagai ormas, MUI kecamatan, pesantren, mubaligh mubalighoh, ta’mir masjid dan tidak ketinggalan para intel. Ada 3 materi dengan tiga pendekatan antara lain pertama, materi berjudul Kebangkitan Nabi Muhammad SAW sebagai rahmatan lil alamin (Suatu Kajian Sosiologi Agama) oleh Prof. Dr. M. Basir, M.Ag, kedua, Islam Rahmatan Lil Alamin dalam perspektif Al-Qur’an As Sunnah oleh Ketua MUI Makassar dan ketiga, tidak ada judul karena tidak dipersiapkan tetapi sebagaimana disampaikan oleh host, menjelaskan dalam tinjauan hukum positip oleh perwakilan Forum Komunikasi Penanggulangan Terorisme Sulawesi Selatan.
Nampaknya forum-forum sejenis ini menjadi bagian dari agenda nasional yang serius dilakukan. Bocoran dari ulang tahun salah satu lembaga strategis di negeri ini telah dilakukan sebuah rapat yang akan menjadikan : 1). Terorisme dan 2). Ekonomi sebagai prioritas kerja. Isu terorisme akan terus didulang untuk menghasilkan uang, pangkat, jabatan, dan prestise.
Yang menarik dari forum tersebut adalah pentingnya membangun kesadaran membentuk karakter Islam Rahmatan Lil Alamin sebagai upaya menyelesaikan persoalan ekstremisme, radikalisme termasuk terorisme. Sebuah karakter yang diwujudkan melalui pembentukan islam moderat sebagai lawan dari radikal, ekstrem, fundamentalis atau teroris. Sama persis dengan yang disampaikan oleh Jokowi pada (Senin, 20/4, Republika.co.id) “Sebagai negara Islam moderat Indonesia tidak ada kompromi dengan radikalisme dan ekstremisme”. Bahkan Jokowi menyebut dukungan Islam Moderat oleh ormas, “Bukan hanya (tanggung jawab) pemerintah, tapi juga masyarakat termasuk organisasi Islam moderat, organisasi massa seperti NU. Kita dapat banyak keuntungan dari keberadaan mereka, kalau negara lain akan sulit membendungnya, kita lihat mereka kesulitan,” katanya. Jokowi juga merasa bangga bahwa penanganan paham-paham radikalisme ekstremisme berhasil dilakukan bukan hanya dengan pendekatan keamanan tapi juga budaya. Menurut Jokowi, ini yang berbeda dengan negara lain. Dan jika kita melihat entah kebetulan atau direkayasa setiap kali ada statement Jokowi tentang radikalisme, ekstremisme dan terorisme selalu diiringi dengan penangkapan terduga teroris. Misalnya selang 4 hari dari statement Jokowi terjadilah kasus penangkapan terduga teroris Pimpinan Ponpes Tanfidzul Al Qur’an Ustadz Basri pada hari Jum’at, 24 April 2015 Jam 09.00 WITA di Sudiang, Makassar, Sulawesi.
Mainstream Islam Moderat secara historis jika kita cermati ternyata sudah disampaikan sebelumnya melalui mantan Menhan AS, Paul Wolfowits yang menyatakan : “Untuk memenangkan perjuangan yang lebih dahsyat ini, adalah sebuah kesalahan kalau menganggap kita yang memimpin. Tapi kita harus semaksimal mungkin mendorong suara-suara muslim moderat.” (Dari buku Siapakah Muslim Moderat ? (ed). Suaidi Asy’ari, Ph.D (2008). Dan perbicangan hangat tentang ekstremisme dan radikalisme mendapati momentumnya pada peristiwa WTC 9/11 di dunia dan di Indonesia terjadinya bom Bali diteruskan bom JW Marriot dan Ritz Carlton hingga sekarang dengan keberadaan IS (Islamic State) ala ISIS. Tiga tahun setelah peristiwa 9/11, Huntington menegaskan perlunya musuh baru bagi Amerika Serikat dan barat. Dan katanya, musuh itu sudah ketemu, yaitu kaum Islam militan. Dalam bukunya, Who Are We ? (2004), Huntington menempatkan satu sub-bab berjudul “Militant Islam vs America”, yang menekankan, bahwa saat ini, Islam militan telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama AS. Setelah itu terjadilah “perburuan Islam militan” atau “islam radikal”.
Pada tahun 2004, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta menerbitkan buku berjudul “Gerakan Salafi Radikal di Indonesia”. Ada empat kelompok yang mendapat stempel “salafi radikal” dalam buku ini, yaitu Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Hizbuttahrir. Nampaknya kerangka pemikiran inilah yang menjadi dasar pembahasan tentang ekstremisme, radikalisme dan terorisme di berbagai forum selama ini. Sebuah kerangka pemikiran bagaimana memunculkan Islam Moderat yang diidentifikasi sebagai wujud Islam Rahmatan Lil Alamin dan lawannya adalah Islam Radikal, Ekstrem, dan Teroris yang dianggap membahayakan.
Forum di ruang Pola Balai Kota Makassar tersebut selain membahas pentingnya membangun kesadaran Islam Rahmatan Lil Alamin melalui mewujudkan Islam Moderat, sebenarnya berisi beberapa point penting lainnya antara lain : Pertama, bahwa semua pemateri sepakat bahwa khilafah adalah ide utopis apalagi menyisakan masa kelam berbagai kasus pembunuhan yang mewarnai beberapa periode kekhalifahan. Kedua, adanya kesadaran bahwa Amerika Serikat di belakang kondisi semakin tercabik-cabiknya dunia Islam maka perlu waktu dan strategi yang lama untuk melawannya. Tidak dilawan dengan kekerasan. Ketiga, demokrasi dari aspek musyawarah adalah sistem yang pernah dicontohkan oleh Rasullullah SAW melalui piagam Madinah sebagai model negara demokratis. Jadi demokrasi sebagai sistem yang layak diterapkan di Indonesia. Keempat, pentingnya membangun karakter islam yang baik seperti persaudaraan, cinta kasih, tolong menolong dalam kebaikan, berlaku adil, mencegah manusia dari kezaliman, kemungkaran, kesombongan dan memaksakan kehendak. Akan tetapi, ketika agama disikapi dengan kesombongan relegius, prasangka dan inteleransi maka agama berubah menjadi alasan untuk memusuhi, memandang rendah kelompok dan pemeluk agama lain.
Sementara disisi lain terkait dengan isu ekonomi selain terorisme nampaknya ke depan semakin masif. Terutama jika kita melihat bagaimana nilai strategis geoekonomipolitik Indonesia. Setidaknya ada beberapa fenomena ekonomi yang semakin kental nuansanya. Trend MEA dan AFTA bukan malah menjadikan Indonesia memiliki keberdayaan ekonomi yang ditopang oleh keberdayaan politik yang kuat. Nampaknya Indonesia akan berada pada kondisi ketidak berdayaan akibat ketergantungan asing yang sedemikian menggurita. Masuknya investor asing terutama pada infrastruktur strategis di tengah situasi semakin melambungnya hutang dengan segala konsekuensinya adalah sebuah keniscayaan yang semakin menyulitkan. Apalagi konsesi investasinya selalu memposisikan Indonesia dalam daya tawar yang rendah. Akhirnya kita bisa memahami kemudian bahwa terorisme dan ekonomi sebagai agenda kerja nasional ibarat sebuah pisau bermata dua. Terorisme sebagai isu yang dikembangkan selain untuk kepentingan pragmatis namun digunakan sebagai jalan lapang mengeleminasi bahkan menghilangkan potensi ancaman kepentingan ekonomi asing melalui forum-forum pembahasan ekstremisme, radikalisme dan terorisme. Wallahu a’lam bis shawab.
*Penulis Aktivis Gerakan Revivalis Indonesia.
(*/arrahmah.com)