JAKARTA (Arrahmah.com) – Pemerintah seharusnya memberikan upah kepada para penyalur zakat (amil), hal tersebut dilakukan sebagai upaya ‘pencegahan’ agar amil tidak mengambil keuntungan dari zakat tersebut, demikian pendapat yang diungkapkan Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dr. H. M Asrorun Niam.
Saat peluncuran buku Himpunan Fatwa Zakat MUI di Jakarta, Rabu (24/8/2011), Asrorun lebih lanjut mengemukakan tentang perlunya pengawasan dan audit syariah mengenai keuangan, pengelolaan, dan pendistribusian zakat, supaya penyampaian kepada orang yang menerima zakat (mustahik) dapat disalurkan dengan tepat.
Asrorun menjelaskan, kalaupun pemerintah tidak memberikan upah untuk amil, maka amil tersebut dapat memperoleh honor dari bagian zakat yang dikelolanya dengan sewajarnya.
“Mengenai besarnya upah, tidak dapat diukur dengan persentase, namun bayarannya itu sebesar posisinya amil pada saat dia mengelola zakat,” tambahnya.
Selain adanya audit dan pengawasan yang diperuntukan buat amil, amil itu sendiri harus bisa memberikan panduan mengenai zakat kepada masyarakat. Terkait hal tersebut Asrorun mengatakan bahwa buku Himpunan Fatwa Zakat MUI tersebut dapat dijadikan sebagai rujukan.
Pada dasarnya amil memegang kunci yang sangat sentral dalam mendayagunakan dana zakat dalam menyalurkan ke mustahik guna menjadi rakyat yang sejahtera. Sehingga posisi amil sebagai jembatan antara pemberi zakat dan mustahik, maka diharapkan amil juga harus bisa mendiagnosis keperluan yang dibutuhkan oleh calon mustahik.
Asrorun mencotohkan, jika mustahik membutuhkan modal usaha, jadi amil memberikan bantuan dalam bentuk uang guna membangun usaha mustahik. Namun, bila mustahik tersebut putus sekolah, amil menyalurkan dana bantuannya dalam bentuk beasiswa. (ans/arrahmah.com)