Oleh. Betty JN., S.Pd
(Praktisi Pendidikan dan Anggota Komunitas Menulis Revowriter)
(Arrahmah.com) – Maret seolah bulan bersejarah bagi perempuan sedunia. Pasalnya di bulan ini dikhususkan untuk memperingati hari perempuan sedunia yang dikenal dengan sebutan International Women Day (IWD).
Meski di tingkat dunia mengangkat tema Balance for Better, di Indonesia sendiri mengangkat tema “Panggung Politik Independen Perempuan” menyesuaikan dengan tahun politik 2019. Namun keduanya memiliki kesamaan visi, yaitu kesetaraan. Diantaranya tercermin dari delapan tuntutan yang dianggap akar permasalahan perempuan yaitu: perempuan dan ketenagakerjaan; perempuan dan pendidikan; perempuan dan kekerasan seksual; perempuan dan kesehatan; perempuan, identitas dan ekspresi; perempuan, ruang hidup dan agrarian; perempuan, kebijakan dan perlindungan hukum; perempuan, media dan teknologi (voaindonesia.com).
Gerakan semacam ini patut disayangkan. Pertama, karena apa yang mereka perjuangkan, sejatinya tidak menyentuh akar permasalahan. Apa yang menjadi tuntutan agar diselesaikannya persoalan perempuan, pada dasarnya menimpa manusia secara umum. Baik laki-laki maupun perempuan. Jelas akar masalahnya bukanlah pada kesetaraan.
Kedua, naiknya sejumlah perempuan menduduki posisi-posisi strategis, tidak berkorelasi positif pada naiknya tingkat kesejahteraan dan perlindungan terhadap perempuan. Lihat saja, Indonesia hari ini memiliki kaum perempuan terbanyak dalam kabinet pemerintahan. Termasuk syarat mewajibkan partai politik memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan, hanya sebatas “lips service” agar dapat mendaftarkan calon-calon anggota legislatif.
Ketiga, adanya ironi atas tuntutan kesetaraan yang diusung. Satu sisi memperjuangkan harkat dan martabat perempuan, di sisi yang lain melecehkan perempuan-perempuan yang memilih berkiprah di ranah domestik. Menganggapnya sebagai perempuan yang terkungkung dan tidak berkontribusi pada kemajuan peradaban.
Keempat, perlu menjadi bahan perenungan bahwa sejak dicanangkannya IWD pada tahun 1900-an hingga kini isu yang diangkat tidak jauh bergeser seputar tuntutan kesetaraan, namun hingga kini tidak mampu menghapus apa yang mereka sebut persoalan perempuan di dunia. Pun di Indonesia yang konon katanya telah dijalankan fungsi legislasi yang turut melindungi kaum perempuan. Diantaranya dalam pembentukan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menekankan perlunya pemberdayaan perempuan, serta Undang-Undang tentang Kesehatan yang menekankan pentingnya menjamin kesehatan reproduksi perempuan. Bahkan saat ini juga tengah dibahas RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (Tribunnews.com).
Agar perempuan tidak semakin jauh terjebak perjuangan semu kesetaraan gender, maka perlu memahami hal-hal sebagai berikut: Pertama, memahami hakikat penciptaan manusia. Yaitu sebagai hamba Allah SWT yang senantiasa harus tunduk dan patuh pada aturan-Nya. Senantiasa merasa dalam pengawasannya dan hanya berharap pada ridho-Nya. Ini berlaku baik bagi laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana telah Allah SWT firmankan dalam Alquran mulia.
”Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku (saja)” (QS. Adz-Dzaariyaat: 56).
Kedua, memahami peran masing-masing, baik laki-laki maupun perempuan, ketika menjalani kehidupan. Berbedanya peran diantara keduanya tidak boleh dipahami sebagai ketidaksetaraan. Tidak pula dianggap merendahkan salah satu dari keduanya. Adanya perbedaan peran adalah untuk saling melengkapi, sehingga tercipta harmoni. Allah SWT berfirman,
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS An-Nahl : 97).
Ketiga, perempuan memahami peran utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga serta mendidik generasi. Peran domestik yang tak boleh dipandang sebelah mata. Kelalaian perempuan terhadap peran utama ini akan berakibat fatal. Sebab dari rahim para perempuan lahirnya generasi. Ditangannya pertumbuhan bibit generasi akan unggul atau sebaliknya. Pun kesuksesan laki-laki tak jarang berawal dari kesuksesan perempuan mengemban peran utama ini. Peran utama ini akan sukses jika laki-laki menjalankan perannya sebagai pengayom dan pelindung, sebab dipundaknya dibebankan kepemimpinan.
Keempat, perempuan tak dihalangi berkiprah di ranah publik. Seperti membina masyarakat, menjadi pendidik, praktisi kesehatan, wirausaha dan melakukan muhasabah kepada penguasa sekalipun. Selama perempuan tidak meninggalkan peran utamanya. Peran utama harus menjadi poros dari setiap peran lain yang diambil oleh perempuan.
Jadi, permasalahan yang terjadi dan menimpa laki-laki dan perempuan saat ini tidak lain disebabkan oleh dijauhkannya aturan-aturan Allah SWT. Baik oleh individu, masyarakat, terlebih oleh negara. Semua ini terjadi karena cengkeraman paham pemisahan agama dari kehidupan yang sedang merebak. Dengan ‘cakahnya’ manusia membatasi hak Allah SWT hanya sebagai pencipta, kemudian merasa pandai mengatur sendiri kehidupannya. Padahal Allah SWT sudah mewanti-wanti dalam firman-Nya yang mulia,
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah : 50).
Saatnya kembali kepada syariat Islam kaaffah. Inilah satu-satunya jalan yang layak diperjuangkan bagi laki-laki dan perempuan yang menginginkan kebaikan dunia dan akhirat. Sejarah telah membuktikan, ketika syariat Islam diterapkan berabad lamanya, tak ada tuntutan kesetaraan gender. Sebab syariat Islam memang tidak bersifat diskriminatif. Wallahu’alam.
(ameera/arrahmah.com)