Oleh: Ust. Budi Ashari, Lc.
(Arrahmah.com) – Bukankah hari ini banyak orangtua yang mengeluh tentang kalimat-kalimatnya yang nyaris tidak bekerja pada anaknya? Mereka merasa telah banyak menasehati tetapi mengapa tidak ada yang sekadar singgah di hati anaknya. Apatah lagi mengubah mereka untuk lebih baik.
Di sinilah seharusnya kita semua belajar kepada Luqman dalam rangkaian kalimatnya. Karena sekali lagi, nasehat Luqman adalah nasehat yang mampu mengubah.
Jumhurahli tafsir berkata: Sesungguhnya anak Luqman dulunya musyrik. Luqman terus menasehatinya hingga ia beriman hanya kepada Allah saja.
Bisa jadi anak Luqman dahulunya beragama dengan agama masyarakatnya di Sudan. Ketika Allah memberikan kepada Luqman Al Hikmah dan Tauhid, anaknya tidak mau mengikutinya. Maka Luqman terus menasehatinya, hingga ia mau mengikuti tauhid. (Ibnu Asyur dalam At Tahrir Wat Tanwir)
Di mana rahasianya?
Mari kita perhatikan kalimat-kalimat ayat sebelum isi nasehat disampaikan, karena di situ kuncinya,
وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (12)
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (13)
(12) Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.
(13) Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.(Qs. Luqman)
Inilah dua ayat yang mengawali nasehat-nasehat Luqman. Ada dua pelajaran penting yang harus dilakukan orangtua, jika ingin nasehatnya memiliki dampak dahsyat pada anaknya.
- Orangtua memiliki hikmah dan pandai bersyukur
- Menasehati dengan nasehat yang sesungguhnya
Tulisan ini membahas poin yang pertama. Poin pertama ini ada dua hal:
Pertama, Hikmah
Kedua, Syukur
Kedua hal ini harus dimiliki orangtua sebelum menasehati anaknya. Ingat, sebelum menasehati anaknya!
Tapi apa itu hikmah?
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan,
“Pemahaman, Ilmu, dan kalimat bertutur.”
Siapapun yang menalaah kalimat-kalimat Luqman kepada anaknya, bisa mengetahui bahwa Luqman mempunyai ketiganya dengan sangat baik dan mendalam. Karenanya Luqman mempunyai modal besar untuk nasehatnya bekerja dengan dahsyat pada anaknya, hingga sang anak berubah menjadi manusia betauhid.
Pemahaman. Inilah pentingnya orangtua menjadi orang yang terus belajar dan mengasah otaknya agar memiliki pemahaman yang baik terhadap segala permasalahan. Sayangnya, kecerdasan orangtua hari ini hanya dibayangkan untuk pekerjaannya. Tidak untuk anak-anaknya. Karenanya, banyak para wanita yang merasa gagal ketika sekolah sampai jenjang tinggi tetapi ‘hanya’ mengasuh anak di rumah. Hingga muncul kalimat di masyarakat: buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya hanya di rumah.
Kini, dengan pembahasan ini kita paham di mana letak kegagalan rumah tangga. Mereka tidak memperlakukan keluarganya seperti memperlakukan pekerjaannya. Maksimal di pekerjaan, tetapi sekadarnya di rumah. Tampil paling cerdas dengan pemahaman istimewa di pekerjaannya, tetapi hilang logika dan kecerdasannya untuk mengasuh anak-anak.
Ilmu. Dengan pemahamanlah ilmu bisa terus berputar dan menghasilkan. Pemahaman dan ilmu saling menopang. Ilmu perlu pemahaman yang baik dan pemahaman bisa terus terasah jika berilmu terus menerus dengan baik. Semua ilmu yang baik, pasti dan harus bermanfaat untuk mendidik anak.
Jangan merasa rugi berilmu tinggi dalam rangka mendidik anak. Jangan bakhil belajar ilmu untuk mendidik anak.
Karena tanpa ilmu, kita merasa telah menasehati, padahal tengah membongkar aib anak. Tanpa ilmu kita merasa telah menyayangi, padahal tengah menuruti syahwat anak. Tanpa ilmu kita merasa telah mendidik dengan baik dan benar, padahal tengah lari dari tanggung jawab sebagai orang tua. Tanpa ilmu kita merasa telah menjadi orang tua yang sesungguhnya, padahal kita belum bergeser dari tempat kita duduk sebagai orang tanpa ilmu yang tak pantas menjadi ayah dan ibu untuk anak-anak peradaban.
Kalimat bertutur. Ini berhubungan dengan bahasa dan cara mengungkapkan. Lihatlah sekali lagi. Alangkah pentingnya kecerdasan berbahasa bagi orang tua. Sayang sekali, ketika kemampuan berbahasa yang baik, benar, dan santun hanya untuk klien pekerjaan saja. Tetapi semua kaidah bahasa itu tiba-tiba menjadi berantakan ketika bertemu anak-anak.
Orang tua harus menguasai benar cara mengungkapkan dan menyampaikan sesuatu. Dengan bahasa yang biasa digunakan untuk berkomunikasi di rumahnya. Jika harus dengan Bahasa Indonesia, maka berbahasa Indonesia lah yang benar dan baik. Jika dengan bahasa daerah, maka berbahasa daerahlah yang baik dan benar. Jika dengan bahasa lain, pun demikian. Cara bertutur, dalam bahasa kita tak hanya masalah kaidah, tetapi juga masalah intonasi. Kita harus paham, tema apa yang akan disampaikan dengan pilihan kata dan dengan intonasi seperti apa. Begitu seterusnya, kemampuan bahasa harus dimiliki oleh para orangtua agar nasehat bisa bekerja baik dalam kehidupan anak-anak.
Contoh aplikatif. Jika orangtua ingin menanamkan tentang kejujuran. Maka orangtua harus menguasai benar tentang tema kejujuran ini. Memahaminya dengan baik dari berbagai sisinya dengan ilmu. Bukan hanya definisi jujur. Tetapi berikut segala hal yang mungkin terjadi setelah orangtua menyampaikan dengan tutur bahasa yang baik dan benar. Contoh, ketika suatu hari anak menyampaikan dengan kejujurannya tentang keinginannya untuk melakukan sebuah dosa. Atau terbukti bahwa ia tidak jujur tetapi karena tekanan yang dialaminya. Semua ini memerlukan pemahaman, ilmu dan cara bertutur yang baik dan benar. Sehingga tidak salah dalam bersikap.
Itulah yang dikuasai Luqman sebelum memulai nasehatnya. Hal ini bisa dipahami dari kata (وإذ قال لقمان)huruf waw di awal ayat ini mengaitkan dengan kalimat di ayat sebelumnya. Sehingga maknanya adalah: Dan Kami telah memberikan kepada Luqman Al Hikmah, ketika itulah ia berkata kepada anaknya.
Hal ini menunjukkan bahwa Luqman mulai berkata kepada anaknya dalam rangka menasehati, setelah ia diberi Allah Al Hikmah. (Lihat tafsir At Tahrir Wat Tanwir)
Jika orang tua memiliki Al Hikmah dalam mendidik anak, maka sungguh ia telah mendapatkan anugerah sangat amat besar dalam hidupnya. Karenanya, kata setelahnya bagi Luqman adalah perintah kepadanya untuk bersyukur kepada Allah atas nikmat tersebut.
Ibnu Katsir –rahimahullah– berkata,
“Kami perintahkan untuk bersyukur kepada Allah azza wajalla atas pemberian dan anugerah Allah berupa keutamaan yang khusus diberikan kepadanya dan tidak diberikan kepada anak-anak negerinya dan masyarakat di zamannya.”
Luqman adalah contoh ideal untuk sebuah hikmah. Bagi yang bisa mencapai apa yang dicapai Luqman tentu sebuah kenikmatan yang sangat agung dari Allah. Tetapi setidaknya orang tua terus mencoba hingga memiliki pemahaman, ilmu dan cara bertutur sebelum menasehatkan sesuatu bagi anaknya.
“Ini adalah puncak hikmah, karena mencakup analisa terhadap hakekat dirinya sendiri sebelum menganalisa sesuatu yang lain dan sebelum memberi petunjuk bagi orang lain.” (Ibnu Asyur dalam tafsirnya)
Syukur. Sifat mulia yang menjadi kata yang menggabungkan semua makna hikmah yang telah diberikan Allah kepada Luqman. Menjadi orang tua, harus kaya dengan rasa syukur. Pahamilah tema syukur dan hiaskan itu pada diri kita.
Untuk memahami lebih jelas, maka ketahuilah lawan katanya. Kufur: ingkar nikmat. Mengingkari nikmat, sekaligus akan mengingkari Pemberinya. Nikmat yang sesungguhnya besar, tidak terasa nikmat. Sesuatu yang berkurang sedikit, padahal masih dalam batas kenikmatan besar jika dibandingkan dengan orang di bawahnya, tidak terasa nikmat. Apalagi musibah, padahal masih banyak kenikmatan lain dalam hidupnya. Hidup ini serba kurang, gelisah dan keluh kesah. Padahal jika melihat ke bawah, kita masih jauh lebih baik dari kebanyakan orang yang lain. Karenanya Nabi memerintahkan untuk melihat orang yang dibawah kita secara nikmat agar tidak mudah meremehkan nikmat Allah, sekecil apapun.
Bersyukur kepada Allah, kebaikannya tidak dikirimkan kepada Allah yang disyukuri. Tetapi kembali kepada hamba yang bersyukur itu sendiri. {وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ}
“Sesungguhnya manfaat dan pahalanya kembali bagi mereka yang bersyukur.” (Ibnu Katsir dalam tafsirnya)
Kata (فَإِنَّمَا) semakin menguatkan bahwa kebaikannya syukur itu benar-benar hanya kembali kepada hamba yang bersyukur.
Maka, teruslah memupuk rasa syukur agar ilalang keluh kesah itu perlahan layu dan mati. Untuk menumbuhkan berbagai pohon kebaikan yang lebih manfaat.
Hikmah dan Syukur.
Menjadi orang tua yang memiliki hikmah
Dan
Menjadi orang tua yang pandai bersyukur
Semua kebaikannya akan kembali kepada mereka yang memiliki hikmah dan pandai bersyukur. Di antara kebaikan itu adalah anak-anak yang terus bergerak menuju sebuah perubahan yang baik dari hari ke hari. Dengan panduan nasehat-nasehat.
Bukankah itu harapan kita semua?
(fath/parentingnabawiyyah/arrahmah.com)