Oleh: Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc, MA*
(Arrahmah.com) – Setiap muslim pasti berdoa dan berharap kepada Allah ta’ala agar ibadahnya diterima. Ia ingin ibadahnya mendapat ridha Allah ta’ala dan bernilai pahala dari-Nya. Ia tidak ingin ibadahnya ditolak dan menjadi sia-sia. Karena untuk melaksanakan suatu ibadah, ia harus mengorbankan waktu dan tenaga, bahkan harta sekalipun. Walaupun demikian, ia rela melakukannya demi menggapai ridha Allah ta’ala dan pahala-Nya.
Namun, berapa banyak orang yang melakukan ibadah atau amal shalih akan tetapi mereka tidak mendapat apapun dan amalannya menjadi sia-sia saja, bahkan menuai murka Allah ta’ala sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi saw.
Shalat dikerjakan dengan rajin, puasa dijalankan dengan disiplin, sedekah dilakukan secara rutin dan haji dilaksanakan berkali-kali, namun semuanya tidak dilakukan dengan ikhlas, tapi semata karena mengharapkan suatu manfaat duniawi, baik materi berupa harta, pangkat, jabatan dan sebagainya, maupun pujian dan sanjungan manusia. Atau dikerjakan tidak sesuai dengan petunjuk Rasululah saw. Bila halnya demikian, maka sudah dapat dipastikan ibadah kita tidak diterima dan menjadi sia-sia. Karena melanggar rambu dan ketentuan syariat.
Oleh karena itu, agar ibadah kita diterima oleh Allah ta’ala maka kita perlu mengetahui ketentuan atau aturan beribadah yang benar, sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah Rasul saw. Karena, syariat ini milik dan bersumber dari Allah ta’ala dan Rasul-Nya Muhammad saw. Persoalannya, bagaimana ketentuan atau aturan agar ibadah kita diterima Allah ta’ala ? Apa saja syarat yang harus dipenuhi?
Tulisan ini bertujuan untuk menjawab persoalan di atas dan mengajak untuk introspeksi ibadah yang kita lakukan selama ini, apakah sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah atau tidak. Ibadah yang berdasarkan petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah sudah pasti diterima oleh Allah Swt. Sebaliknya, ibadah yang tidak sesuai atau bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah, maka sudah pasti tidak akan diterima oleh Allah ta’ala. Dalilnya, Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ ulama.
Definisi Ibadah dan Dalil Kewajibannya
Ibadah secara bahasa berarti kepasrahan dan kepatuhan serta kehinaan. Adapun definisi ibadah secara istilah sebagaimana dikemukakan oleh para ulama, ibadah adalah segala bentuk ketundukan dan kepatuhan kepada Allah ta’ala, mencintai-Nya, menyembah-Nya, mengharap-nya serta mengagungkan-Nya, baik dengan perbuatan maupun perkataan.
Menurut syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah definisi ibadah adalah suatu nama yang mencakup setiap apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah ta’ala dari perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan yang batin dan yang zhahir.
Tujuan utama Allah ta’ala ciptakan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Tugas dan kewajiban ini Allah ta’ala tegaskan dalam firman-Nya, “Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56).
Allah ta’ala juga berfirman, “Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar)”. (Al-Bayyinah: 5)
Syarat Diterima Ibadah
Menjawab persoalan di atas, berdasarkan tatabbu’ (penelitian) dan istiqra’ (kajian) para ulama terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka para ulama pun sepakat berkesimpulan bahwa secara umum suatu ibadah akan diterima oleh Allah ta’ala apabila memenuhi 2 syarat mutlak yaitu ikhlas dan mutaba’ah ar-Rasul saw (mengikuti petunjuk Rasul saw). Bila tidak, maka ibadahnya ditolak.
Kedua syarat ini mesti terpenuhi dan tidak bisa dipisahkan. Bila hanya ikhlas saja, namun tidak sesuai dengan petunjuk Rasul saw, maka ibadah kita tidak akan diterima. Begitu pula sebaliknya, bila ibadah yang kita lakukan sesuai dengan petunjuk Rasul saw, namun tidak ikhlas, maka juga tidak akan diterima. Suatu ibadah baru akan diterima bila dikerjakan dengan ikhlas dan sesuai dengan sunnah (tuntunan dan petunjuk) Rasul saw.
Di antara dalil yang memperkuat pernyataan diatas adalah firman Allah ta’ala, “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan dengan sesuatupun dalam beribadah kepada Tuhan-Nya.” (Al-Kahfi: 110).
Di dalam ayat tersebut Allah ta’ala memerintahkan agar amal kita lakukan itu hendaklah berupa amal yang shalih, maknanya adalah sesuai dengan apa yang ditetapkan di dalam agama, lalu Allah ta’ala memerintahkan kepada pelaku amal tersebut untuk mengikhlaskan karena-Nya dengan tidak mengharap selain-Nya.
Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut, ia berkata, “firman Allah: “maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih” maksudnya sesuai dengan syariat Allah.” Firman Allah, “dan janganlah ia mempersekutukan dengan sesuatupun dalam beribadah kepada Tuhan-Nya.” yaitu yang dimaksudkan karena Allah swt semata-mata dan tidak ada sekutu baginya. Inilah dua rukun amal yang diterima di sisi Allah ta’ala, yaitu harus dilakukan dengan ikhlas dan sesuai dengan syariat (petunjuk) Rasulullah saw.”(Tafsir Ibnu Katsir). Ungkapan ini juga diriwayatkan pula dari Fudhail bin ‘Iyadh dan lainnya.
Dalam kitabnya Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam, Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali menukilkan perkataan Fudhail bin ‘Iyadh yang menafsirkan firman Allah, “..untuk menguji kamu siapa di antara kamu yang paling baik amalnya..” (Al-Mulk: 2).
Fudhail bin Iyadh berkata, “Yaitu yang paling ikhlas dan benar. Suatu amalan jika dikerjakan secara ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima. Sebaliknya, jika dikerjakan secara benar namun tidak ikhlas maka tidak diterima pula. Amalan tersebut baru diterima jika dikerjakan dengan ikhlas dan benar. Ikhlas itu maknanya hanya semata-mata karena Allah ta’ala. Sedangkan benar itu jika sesuai dengan sunnah Rasul.” (Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam, 1/72)
Dalil lainnya, firman Allah ta’ala:
“Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan. (Al-Furqan: 23)
Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas, ia berkata, “Setiap amal yang tidak ikhlas dan tidak pula di atas petunjuk syariat yang diridhai oleh Allah ta’ala, maka amalan itu batil.” (Tafsir Ibnu Katsir: 6/10).
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata, “Amal yang diterima oleh Allah ta’ala adalah apa yang keluar dari seorang mukmin yang ikhlas dan yang membenarkan para rasul dan mengikuti mereka dalam amal itu.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman fii Tafsir Al-Karim Al-Mannan, hal. 808).
Syarat Pertama; Ikhlas
Ikhlas adalah memurnikan ibadah hanya kepada Allah ta’ala, tanpa ada keinginan untuk mendapat keuntungan duniawi, baik berupa harta, pangkat, jabatan maupun pujian dan sanjungan dari manusia.
Banyak ayat Al-Quran dan hadits yang memerintahkan kita untuk ikhlas dalam beribadah dan beramal shalih. Di antaranya, firman Allah ta’ala, “Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah Swt dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata “Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama…” (Al-Bayyinah: 5).
Allah ta’ala juga berfirman, “Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu…” (Al-Hajj: 37)
Adapun hadits Rasulullah saw, di antaranya sabda Rasul saw, “Sesungguhnya amal itu diterima dengan niat (ikhlas). Dan seseorang itu akan diberi balasan sesuai dengan niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuhmu dan tidak pula kepada rupa kamu, akan tetapi Allah melihat kepada hati kamu.” (HR. Muslim)
Oleh karena itu, ikhlas merupakan syarat mutlak diterima suatu ibadah. Ibadah yang dikerjakan tanpa ikhlas, maka tidak akan diterima Allah ta’ala.
Ibadah yang dikerjakan dengan tujuan selain Allah itu berarti tidak ikhlas. Ini adalah termasuk perbuatan syirik, namun syirik kecil atau syirik khafi (tersembunyi) yang tidak sampai mengeluarkan seseorang dari Islam. Meskipun demikian, menghilangkan pahala dann berdosa.
Perbuatan ibadah selain karena Allah Ini bisa berupa riya” (memperlihatkan ibadah kepada orang lain) dan bisa juga berupa sum’ah (memperderngarkan ibadah kepada orang lain). Tujuannya, agar dipuji atau diberi materi, pangkat, jabatan atau istri dan sebagainya. Bukan tujuannya kepada Allah ta’ala.
Perbuatan riya’ dan sum’ah termasuk dosa besar berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah. Allah ta’ala berfirman, “Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang berbuat lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya’..” (Al-Ma’un: 4-6).
Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang memperdengarkan amalnya (sum’ah), maka Allah akan memperdengarkan (aib) dirinya (dihari Kiamat), dan barangsiapa yang memamerkan amalnya (riya) maka Allah akan memamerkan (aib) dirinya (dihari Kiamat).” (HR. Bukhari dan Muslim).
Beliau juga bersabda, “Allah berfirman, “Aku adalah zat yang paling tidak membutuhkan sekutu, barangsiapa melakukan suatu amalan, di dalamnya ia menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan ia dan kesyirikannya.” (HR. Muslim)
Ibnu ‘Allan berkata, “Riya’ disebut juga syirik, karena ia merupakan syirik khafi (tersembunyi), meskipun tidak mencabut pokok keimanan seseorang tapi ia menghapus seluruh amalan yang disertainya.” (Nuzhatul Muttaqin Syarah Riyadhus Shalihin, 2/331).
Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin berkata, “Riya’ adalah dosa dari jenis syirik. Dan bisa saja menjadi syirik besar. Riya adalah sifatnya orang-orang munafik.” (Syarah Riyadhus Shalihin, 6/340).
Mengenai hal ini pula, Syaikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi berkata, “Sesungguhnya riya’ itu termasuk kedurhakaan hati yang sangat berbahaya terhadap diri dan amal, juga termasuk dosa besar yang merusak. Maka dari itu ancamannya juga diperkeras di dalam Al-Quran dan hadits”.
Ibadah atau amal shalih yang dikerjakan dengan riya’ (pamer) maka tidak akan diterima oleh Allah ta’ala dan menjadi sia-sia.
Allah ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena ria (pamer) kepada manusia..” (Al-Baqarah: 264).
Allah ta’ala juga berfirman, “Sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amal-amalmu dan tentulah engkau termasuk orang yang merugi.” (Az-Zumar: 65)
Syarat kedua; Mutaba’ah Rasul saw
Mutaba’ah Rasul saw maknanya mengikuti petunjuk Rasul saw dalam beribadah. Maknanya, apa yang dikerjakan oleh Rasul saw dalam ibadah, maka kita wajib kerjakan. Dan apa yang tidak dikerjakan oleh Rasul saw dalam ibadah, maka kita wajib kita meninggalkannya. Begitu pula, apa yang dilarang oleh Rasulullah saw, maka kita wajib meninggalkannya.
Ibadah yang dikerjakan tanpa petunjuk Rasulullah saw tidak akan diterima oleh Allah Swt. Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang mengada-adakan suatu urusan dalam agama yang bukan berasal dari petunjuk agama maka amalannya tersebut ditolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat yang lain,“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang bukan berasal dari petunjuk kami maka amalannya tersebut ditolak.” (HR. Muslim).
Maka, mengikuti sunnah atau petunjuk Rasul saw yang shahih merupakan syarat mutlak diterimanya amal ibadah kita. Maknanya, tidak akan diterima suatu ibadah tanpa mengikuti petunjuk Nabi saw yang shahih.
Seorang muslim wajib mengikuti petunjuk dan sunnah Rasul saw yang shahih dalam persoalan agama (aqidah dan ibadah). Adapun dalam persoalan dunia, maka boleh tidak mengikuti Nabi saw. Hanya disunnatkan saja. Rasulullah saw bersabda bersabda, “Kamu lebih tahu urusan duniamu.” (HR. Muslim).
Banyak ayat Al-Quran dan hadits yang memerintahkan kita untuk mengikuti Nabi saw. Di antaranya, firman Allah swt, “Apa yang diberikan oleh Rasul (Muhammad) maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7).
Allah ta’ala juga berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’: 59)
Allah ta’ala juga berfirman, “Katakanlah (Muhammad), “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul (Muhammad) itu hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu hanyalah apa yang dibebankan kepadamu. Jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Kewajiban Rasul hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan jelas.” (An-Nur: 54)
Rasulullah saw bersabda, “Setiap ummatku akan masuk surga kecuali orang yang enggan.” Lalu Rasulullah ditanya, “Siapakah orang yang enggan itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Barangsiapa yang mentaatiku niscaya ia enggan masuk surga, dan barangsiapa yang tidak taat kepadaku maka dialah yang enggan masuk surga.” (HR. Al-Bukhari)
Seseorang belum dianggap taat kepada Allah ta’ala sebelum taat kepada Rasul saw. Allah Swt berfirman, “Barangsiapa yang taat kepada Rasul (Muhammad) maka sungguh ia telah taat kepada Allah.” (An-Nisa’: 80).
Demikian pula seseorang belum dianggap mencintai Allah sebelum ia mengikuti sunnah Rasulullah saw. Allah Swt berfirman, “Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu sekalian mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosa kamu sekalian”. (Ali Imran: 31)
Tidak hanya memerintahkan untuk taat dan cinta kepada Rasul-Nya, namun Allah ta’ala juga mengancam bagi orang tidak mau mengikuti Rasul saw dengan ancaman tidak beriman, sebagaimana firman-Nya, “Maka, demi tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa’: 65).
Demikian pula Allah mengancam bagi orang yang menyelisihi perintah Rasul-Nya dengan cobaan dan azab yang pedih, sesuai dengan firman-Nya, “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An-Nur: 63).
Ibadah yang tidak sesuai dengan sunnah Rasul atau bertentangan dengannya diancam dengan neraka, sesuai dengan sabda Rasul saw, “Wajib kepada kamu mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafaurrasyidin. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham. Dan jauhilah oleh kamu perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap perkara yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmizi).
Dalam riwayat yang lain, “Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah kitabullah (Al-Qur’an). Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah, seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama), setiap perkara yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan (tempatnya) dalam neraka.” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i).
Sebagai penutup, mengingat persoalan ibadah merupakan persoalan tauqifiyyah (hanya berdasarkan petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah), maka kita wajib mengikuti ketentuan ibadah yang telah diatur dalam Al-Quran dan As-Sunnah, yaitu ikhlas dan mengikuti petunjuk Nabi saw, agar ibadah kita diterima oleh Allah Swt dan bernilai pahala. Selain itu, agar kita selamat dari ancaman neraka. Karena, ibadah yang dilakukan tanpa petunjuk Nabi saw (bid’ah) itu ditolak dan diancam dengan neraka.
Apapun alasannya, kita tidak dibenarkan untuk menambah atau mengurangi ibadah yang telah ditentukan oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya. Karena, syariat Islam telah sempurna sepeninggal Rasulullah saw. Syariat ini hanya milik Allah ta’ala dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, kita wajib mengikuti petunjuk Nabi saw dalam beribadah. Maka, mari kita beribadah sesuai dengan Sunnah Nabi saw. Semoga Allah ta’ala menerima ibadah kita.
*Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA, Dosen Fiqh dan Ushul Fiqh Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Ketua MIUMI Aceh, Ketua PCM Syah Kuala, dan Anggota Ikatan Ulama dan Da’i Asia Tenggara
(*/Arrahmah.com)