KASHMIR (Arrahmah.com) – Polisi Kashmir menuduh seorang perwira militer dan dua rekannya menyimpan senjata di tubuh tiga warga sipil Kashmir yang terbunuh. Tujuannya agar terlihat seolah-olah mereka adalah milisi bersenjata.
Kapten Bhoopendra Singh dituduh melakukan pembunuhan, konspirasi, dan pelanggaran lainnya. Dia kini dalam tahanan militer. Dua sumber sipil, yang bersamanya saat itu, berada dalam tahanan polisi.
Kematian ketiga warga sipil pada Juli lalu memicu kehebohan di Kashmir. Pada September, tentara India mengakui tentaranya telah melampaui kekuasaan di bawah Undang-Undang Kekuatan Khusus Angkatan Bersenjata (AFSPA) yang memberikan impunitas kepada tentara dalam pembunuhan warga sipil.
Tentara awalnya mengklaim bahwa ketiga pria itu tewas dalam baku tembak di desa Amshipora di Kashmir selatan dan tiga senjata ditemukan pada mereka. Mayat-mayat itu segera dimakamkan di daerah perbatasan yang terpencil.
Keluarga para pria di daerah pegunungan terpencil Rajouri mengidentifikasi ketiganya satu bulan kemudian dari foto-foto yang beredar di media sosial. Keluarga tersebut mengatakan ketiganya hanya mencari pekerjaan di kebun apel Kashmir.
Adik laki-laki dari salah satu korban tewas, Ibrar Ahmad, Javaid Ahmad (25) mengatakan bahwa keluarga mereka sangat kehilangan kedamaian dan akan mencari keadilan.
“Salah satunya adalah saudara laki-laki saya dan dua lainnya adalah sepupu. Kami tidak tahu apakah kami akan mendapatkan keadilan atau tidak,” kata Ahmad yang tinggal di distrik Rajouri di Jammu dilansir laman Al Jazeera, Selasa (29/12).
Kontroversi tersebut memicu penyelidikan terpisah yang jarang dilakukan oleh tentara India. Tentara mengatakan mereka hanya diberitahu tentang baku tembak setelah pembunuhan yang melanggar aturan normal keterlibatan.
Militer hanya mengatakan pekan lalu bahwa rekaman bukti dalam kasus tersebut telah selesai dan tindakan akan menyusul. Setelah penyelidikan, mayat ketiga pria itu digali pada September dan dikembalikan ke keluarga mereka setelah tes DNA.
Di bawah AFSPA, undang-undang darurat yang diterapkan di Kashmir sejak 1990 ketika pemberontakan bersenjata meletus melawan pemerintahan India, tentara India yang ditempatkan di wilayah tersebut tidak dapat diadili di pengadilan sipil kecuali New Delhi setuju. Aktivis hak asasi manusia di Kashmir menunjukkan di masa lalu tentara telah membunuh banyak warga sipil dalam pertempuran senjata setelah menyebut mereka “pemberontak” untuk mengeklaim keuntungan moneter dan medali.
Pada 2010, penyelidikan polisi mengungkapkan tentara membunuh tiga warga sipil dalam baku tembak di daerah Machil dekat Garis Kontrol di distrik Kupwara. Ketiga warga sipil itu dibujuk ke Machil dan dibunuh di sana sebelum diberi label “militan” oleh tentara. (hanoum/arrahmah.com)