JAKARTA (Arrahmah.com) – Demi menyelamatkan moralitas demokrasi di Indonesia agar tetap beretika dan bermartabat, Presiden Jokowi didesak untuk segera mengeluarkan Perppu tentang Pilkada agar calon kepala daerah yang berstatus tersangka harus mundur dari gelanggang pencalonan.
“Seorang tersangka penista agama tak pantas ikut Pilkada. Secara etika, seorang calon pejabat publik mestinya tidak boleh cacat moral,” kata anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil menanggapi status tersangka penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), di kantor PB HMI, Jakarta, Senin (21/11/2016), lansir Teropongsenayan.
“Soal etika ini sangat serius. Tidak ada yang lebih tinggi dari agama. Apalagi, ini yang dinista Ahok adalah agama mayoritas,” katanya.
Nasir mengaku tak habis pikir, jika masyarakat harus disuguhi calon pemimpin yang moralitasnya dipertanyakan.
“Ini yang mau kita pilih pemimpin Ibu Kota Negara lho, seorang pemimpin yang seharusnya menjadi panutan dan teladan. Apa jadinya bangsa ini jika dipimpin seorang penista agama,” tegas Nasir.
Lebih jauh, Nasir menyebut terdapat sejumlah alasan yang perlu menjadi pertimbangan mengapa Jokowi harus mengeluarkan Perppu tersangka.
“Benar kita menghargai asas praduga tidak bersalah, tapi dalam penyelenggaraan pemerintahan, kita pun harus membangun etika dan budaya malu. Sehingga semestinya setiap orang yang dijadikan tersangka apalagi terdakwa dan terpidana, haruslah mundur ataupun digugurkan pencalonannya dalam pilkada,” ujar Nasir.
Menurut Nasir, hal ini penting agar tidak timbul komplikasi politik, sosial dan hukum, jika tersangka memenangkan kontestasi pilkada, sementara kemudian diputus bersalah oleh pengadilan. “Apabila ini terjadi, jatuhlah martabat demokrasi kita,” katanya.
Nasir menjelaskan, UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, mengandung problem besar. Khususnya pasal 191 dan 192 yang menyebutkan, ancaman pidana penjara dan denda baik bagi pasangan calon yang mengundurkan diri ataupun terhadap parpol atau gabungan parpol yang sengaja menarik pasangan calon yang sudah ditetapkan KPU.
“Jika pengunduran diri ataupun penarikan dukungan, dilakukan pada putaran pertama, maka calon atau pimpinan parpol dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 bulan dan paling lama 60 bulan dan denda paling sedikit Rp25 miliar dan paling banyak Rp50 miliar.
“Kalau putaran kedua, ancaman pidana paling singkat 36 bulan dan paling lama 60 bulan dan denda paling sedikit Rp50 miliar, dan paling banyak Rp100 miliar,” kata politisi PKS asal Aceh ini.
Dijelaskan Nasir, problem besar dalam UU Pilkada tersebut harus ditafsirkan oleh Presiden Jokowi, yang memiliki kewenangan mengeluarkan Perppu. Yaitu, apabila dalam kondisi genting dan memaksa untuk mengeluarkan Perppu Penyelamat Demokrasi.
“Pasal 191 dan pasal 192 tersebut haruslah dilengkapi dengan ketentuan, apabila calon ditetapkan sebagai tersangka, terdakwa apalagi terpidana, maka harus mengundurkan diri atau digugurkan, dan bagi parpol dapat menarik dukungan tanpa harus dipidana,” ujar Nasir.
Menurut Nasir, kondisi saat ini sudahlah genting dan memaksa agar demokrasi menjadi bertanggung jawab dan tidak terjebak pada kebebasan yang tidak dibatasi oleh moral dan etika berbangsa dan bernegara.
“Kita berharap kontestasi penyelenggaraan Pilkada dapat mendorong iklim demokrasi yang kondusif, bermartabat dan beretika, demi pemerintahan yang berwibawa dalam mengemban amanah dan mensejahterakan rakyat,” ujarnya.
Nasir mengingatkan, pemimpin harusnya adalah sosok yang menjadi teladan, diikuti, dan malu jika dirinya bermasalah dengan hukum. Menurutnya, presiden bertanggung jawab untuk menyelamatkan para kepala daerah dan masyarakat dari kubangan demoralisasi demokrasi yang saat ini sudah ‘dilegalkan’ oleh segelintir orang yang duduk di kekuasaan dengan memanfaatkan posisinya sebagai pembentuk undang-undang.
Undang-undang yang ada, menurut Nasir, telah membuat calon kepala daerah dan partai pengusung disandera pragmatisme yang melabrak tatanan dan nilai nilai luhur budaya bangsa.
“Akhirnya, ini kan maju kena, mundur kena. Karena itu Perppu diharapkan bisa melepaskan beban politik dan mengembalikan agar demokrasi di negeri ini semakin beretika dan beradab,” pungkasnya.
(azm/arrahmah.com)